Moratorium hutan Indonesia, sebuah kebijakan yang betujuan untuk melindungi sebuah wilayah seluas Jepang dari pembangunan, mewakili salah satu skema konservasi paling ambisius yang pernah dibuat di Indonesia. Namun demikian apakah kebijakan ini benar-benar membuat kemajuan dalam memperbaiki sektor hutan?

Dokumen kerja WRI yang baru, Moratorium Hutan Indonesia: Implikasi dan Langkah Kedepannya, bertujuan untuk, salah satunya, menjawab pertanyaan tersebut. Analisis kami menemukan bahwa moratorium tersebut memiliki potensi untuk mencegah deforestasi dan memperkuat pengelolaan hutan – jika diterapkan secara efektif. Terlebih lagi, pemerintah Indonesia dapat melanjutkan moratorium yang sedang berlangsung untuk mencapai keuntungan ekologis dan sosial yang lebih besar – sebuah keuntungan bagi masyarakat Indonesia dan sumber daya hutan yang mereka miliki.

Di dalam Moratorium Hutan Indonesia

Indonesia memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia dan setengah dari rawa gambut tropis kaya karbon di dunia. Hutan-hutan yang sangat berharga ini memiliki beberapa ekosistem yang paling beragam di dunia dan menyediakan penghidupan bagi jutaan masyarakat di Indonesia. Namun demikian, pengelolaan yang salah dan permintaan yang tinggi terhadap komoditas seperti kelapa sawit dan pulpwood telah berkontribusi kepada tingkat deforestasi yang tinggi, yang terlihat dengan jelas pada kebakaran hutan musim kemarau yang lalu. Indonesia secara konsisten berada di dua besar negara tropis dengan tingkat kehilangan hutan tertinggi dan menjadi salah satu negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Secara kasar 80 persen emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari deforestasi dan lahan gambut.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan moratorium hutan pada bulan Mei 2011 untuk menanggapi masalah-masalah tersebut, lalu kemudian memperpanjangnya hingga 2015. Selain untuk melarang konsesi baru di hutan primer alami atau lahan gambut, moratorium ini berisi sejumlah reformasi kebijakan untuk mencegah deforestasi dan degradasi lahan. Reformasi ini bertujuan untuk mengubah cara Indonesia mengelola hutan, termasuk bagaimana Indonesia mengklasifikasi lahan, bagaimana memberikan izin untuk HPH dan pengembangan kelapa sawit, dan bagaimana Indonesia menggunakan data hutan untuk mendukung pembuatan kebijakan yang lebih baik.

Moratorium telah membantu memperbaiki sektor hutan Indonesia. Namun untuk benar-benar menciptakan masa depan yang lebih baik untuk hutan dan masyarakat Indonesia, moratorium ini harus melangkah lebih jauh. Kami menemukan dua hal yang sangat penting di dalam moratorium:

Gambar 1. Wilayah yang dilindungi oleh moratorium (Sumber: Satgas REDD+, pemerintah Indonesia, Peta Moratorium versi 4 | Mei 2013)

1. Moratorium tidak Terlalu Dimengerti oleh Sebagian Besar Pejabat-pejabat penting di Pemerintah

Di Indonesia, kewenangan regulasi dan administratif mengalami desentralisasi ke tingkat kabupaten, jadi moratorium hanya akan menjadi efektif apabila dimengerti, diimplementasi, diawasi, dan ditegakkan di tingkat lokal. WRI dan mitranya melakukan interview terhadap pejabat pemerintah daerah di delapan kabupaten untuk menilai seberapa jauh penerapan moratorium di lapangan. Interview ini menemukan bahwa hanya 60 persen pejabat yang mengerti lahan apa saja yang dilindungi oleh moratorium, sementara hanya 37 persen yang mengetahui wilayah mana saja yang dilindungi.

Untuk mengatasi keterbatasan pemahaman ini, pemerintah nasional harus menyediakan lebih banyak panduan teknis kepada badan-badan pemerintah lokal. Kami menemukan bahwa beberapa badan pemerintah lokal mengetahui tentang moratorium dari website Kementrian Kehutanan. Pejabat pemerintah yang bekerja dekat lapangan membutuhkan mandat yang spesifik – termasuk panduan prosedural dan alokasi dana yang mencukupi – untuk mengimplementasikan, mengawasi, dan menegakkan moratorium hutan secara efektif.

2. Moratorium Menghasilkan Kemajuan, namun Perlu Diperluas

Moratorium memberikan kesempatan untuk mereformasi bagaimana Indonesia mengelola hutan. WRI dan mitranya menganalisis status dari enam agenda reformasi kunci – termasuk bagaimana izin hutan diberikan dan apakah peta-peta tentang klaim lahan masyarakat diakui dalam proses perencanaan pemerintah. Kami menemukan bahwa meskipun terdapat kemajuan yang nyata, namun hanya terbatas kepada provinsi dan kabupaten yang dipilih oleh pemerintah sebagai proyek percobaan, seperti Kalimantan Tengah. Sebagian besar proyek percobaan hanya terpusat di tiga kabupaten – bagian yang sangat kecil dibandingkan 412 kabupaten di Indonesia, yang sebagian besar memiliki wilayah di bawah moratorium. Untuk benar-benar memperbaiki sektor hutan secara keseluruhan di Indonesia, kegiatan-kegiatan tersebut harus diperluas ke seluruh wilayah Indonesia.

3. Memanfaatkan Kesempatan

Presiden Yudhoyono mengambil langkah tegas dalam menghadapi berbagai tantangan di tahun 2013 ketika beliau memperpanjang moratorium hutan Indonesia untuk dua tahun kedepan. Hal tersebut membuat kesempatan reformasi tetap terbuka, memberikan kesempatan bagi pembuat kebijakan di Indonesia untuk terus meningkatkan pengelolaan hutan. Kita telah belajar banyak dari dua tahun pertama penerapan moratorium hutan di Indonesia. Sekarang saatnya Indonesia memanfaatkan sepenuhnya kesempatan ini – untuk hutan dan masyarakat Indonesia.

Pelajari lebih lanjut: Unduh dokumen kerja WRI yang baru Moratorium Hutan Indonesia: Implikasi dan Langkah Kedepannya.