Tulisan ini awalnya dipublikasikan di harian Kompas.

Emisi gas rumah kaca Indonesia 2015, menurut perkiraan Bappenas, akan mencapai 1.636 juta ton setara CO2. Menurut Global Fire Emissions Database yang menganalisis citra satelit NASA Modis Active Fires Data, sampai 20 Oktober 2015, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah menghasilkan emisi gas rumah kaca 1.354 juta ton setara CO2.

Berdasarkan perhitungan World Resources Institute (WRI), emisi harian akibat kebakaran hutan dan lahan selama 26 hari dalam 44 hari terakhir-dihitung pada 14 Oktober 2015-telah melewati emisi harian rata-rata seluruh kegiatan ekonomi Amerika Serikat yang mencapai 15,95 juta ton setara CO2. Untuk perbandingan, besaran ekonomi Amerika Serikat 20 kali lebih besar daripada ekonomi Indonesia. Dalam perbandingan lain, seperti termuat pada laman Global Fire Emissions Database, emisi total pada 26 hari tersebut juga telah melampaui emisi tahunan Jerman.

Artinya, kebakaran hutan dan lahan sampai tanggal tersebut telah mencapai hampir 83 persen dari perkiraan total emisi Indonesia tahun 2015 dari semua sektor sumber emisi. Masih berdasarkan perkiraan Bappenas, tahun 2015, share atau proporsi emisi dari kebakaran gambut diperkirakan hanya 18 persen.

Sampai Desember

Bulan kering yang sangat bersahabat dengan keberadaan api kebakaran hutan dan lahan masih akan berlangsung setidaknya sampai awal Desember 2015. Kebakaran masih akan terjadi dan emisi masih akan terakumulasi dalam jumlah besar. Dengan kecenderungan ini, bisa jadi perkiraan emisi Indonesia 2015 akan terlampaui dalam beberapa hari ke depan.

Indonesia mengatakan dalam dokumen Intended Nationally Determined Contributions (INDC, istilah untuk kontribusi suatu negara dalam pengendalian perubahan iklim yang akan disepakati pada COP 21), sebagai negara berkembang, emisinya masih akan meningkat. Namun, berbagai tindakan pengurangan, baik melalui mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim, juga secara bersamaan dilakukan.

Angka perkiraan Bappenas pada dasarnya mencerminkan kehendak itu. Secara matematis, akibat emisi tambahan dari kebakaran hutan dan lahan, Indonesia pasti akan mempunyai trajektori emisi baru yang lebih buruk dibandingkan sebelumnya. Apakah Indonesia masih menargetkan pengurangan emisi sebesar 29 persen pada 2030 seperti yang termuat dalam INDC?

Kiranya perjalanan Indonesia menuju Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP 21) di Paris menjadi perjalanan berat. Dalam sisa waktu lima minggu menjelang COP 21, penting bagi pemerintah untuk bertindak struktural dan sistematis dalam menangani kebakaran hutan dan lahan. Tindakan tersebut harus dapat dibaca sebagai tindakan mitigasi dan adaptasi atas pemanfaatan hutan dan lahan yang mampu secara signifikan dan pasti mengurangi emisi dampak kebakaran hutan dan lahan, yang termasuk gas rumah kaca. Inilah bekal yang dapat menyelamatkan wajah Indonesia.

Empat tindakan

Penting untuk memastikan semua tindakan penegakan hukum yang saat ini dilaksanakan pemerintah tetap berlangsung dengan intensitas tinggi. Aparat penegak hukum kiranya perlu mempertahankan sense of urgency and crisis dalam menangani tindakan melawan hukum yang telah menyengsarakan jutaan manusia di Indonesia dan negara tetangga.

Eksekusi hukum yang segera dan adil terhadap siapa pun yang terbukti melanggar hukum dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan akan memberikan momentum bagi pelaksanaan langkah jangka panjang yang struktural dan sistematis.

Langkah pertama, menerbitkan Peraturan Presiden tentang Prosedur Operasi Standar Nasional Pengendalian dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan yang drafnya sudah siap di Kantor Menko Polhukam sejak tahun lalu. Peraturan ini akan memudahkan reaksi cepat, otomatis, dan terkoordinasi manakala terjadi kebakaran hutan dan lahan.

Langkah kedua, melengkapi basis data perizinan berbasis lahan secara lintas sektor/kementerian sebagai bagian dari Kebijakan Satu Peta. Basis data ini akan memungkinkan pemerintah memantau dinamika penggunaan lahan dan perizinan lahan secara lebih akurat. Artinya, penataan ruang yang dilaksanakan pemerintah daerah akan mendapatkan referensi data spasial yang lebih akurat untuk menghasilkan rencana tata ruang yang dapat diandalkan untuk menghasilkan kepastian hukum.

Audit kepatuhan

Langkah ketiga, sejalan dengan langkah kedua, melakukan audit kepatuhan pada pemegang izin atau konsesi berdasarkan peraturan yang ada serta syarat-syarat yang termuat dalam izin dan konsesi. Audit ini akan menggambarkan, antara lain, poligon wilayah izin/konsesi, termasuk batas-batasnya; kelengkapan administrasi perizinan, termasuk NPWP; rencana kerja tahunan (RKT), termasuk penggunaan lahan dalam wilayah izin/konsesi; laporan pelaksanaan RKT; serta kesiapan perlengkapan penanggulangan dan pencegahan kebakaran.

Hasil yang diperoleh dari langkah kedua dan ketiga akan menunjukkan diskrepansi dari lahan yang telah terdaftar secara administratif dan memiliki legalitas dengan lahan yang masih belum memiliki kejelasan legalitas di lapangan. Ini adalah langkah awal untuk melakukan intervensi dukungan khusus pada petani/peladang kecil serta melakukan penertiban pada spekulan dan penyerobot lahan.

Empat langkah tersebut sudah barang tentu akan memerlukan dasar peraturan dan memicu gelombang perbaikan tata kelola. Namun, jika dilaksanakan, hal itu akan memberikan sinyal kuat bahwa kebakaran hutan dan lahan akan tertangani secara lebih struktural dan sistematis.