Gajah berperan penting dalam menjaga kelestarian hutan dan seluruh keseimbangan ekosistem di dalamnya. Sebagai satwa herbivor, gajah menyebarkan biji yang akan tumbuh menjadi pohon-pohon baru. Di musim kemarau, gajah memenuhi kebutuhan air bagi seluruh makhluk hidup di sekitarnya dengan menggali tanah untuk mencari air menggunakan gadingnya. Keberlangsungan hidup gajah dengan demikian perlu dipertahankan. Di Sumatera, misalnya, terdapat subspesies gajah Asia yang hanya hidup di Pulau Sumatera, berjenis Elephas maximus sumatranus.

Walaupun telah ditetapkan sebagai spesies payung di Taman Nasional Gunung Leuser, hingga saat ini populasi gajah sumatera belum terlindungi dengan baik. Menurut World Wildlife Fund (WWF), populasi gajah Asia telah menyusut sebanyak 50 persen sejak tahun 1900-an. Saat ini, 50.000 ekor gajah Asia tersebar di tiga belas Negara dan 2.400 ekor di antaranya berada di Pulau Sumatera. Namun, menurut data the International Union for the Conservation of Nature (IUCN), 69 persen habitat gajah di Pulau Sumatera telah hilang akibat deforestasi dalam 25 tahun terakhir. Dengan penurunan populasi gajah yang terus berlangsung, penyelamatan habitat gajah harus menjadi prioritas utama.

Deforestasi: Penyebab Nyata Konflik Manusia dan Gajah

Konflik manusia dan gajah telah berlangsung cukup lama. Menurut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, sepanjang 2012-2017 tercatat 68 ekor gajah mati, 55 ekor (81%) di antaranya diakibatkan oleh konflik dengan manusia. Selain kematian gajah, konflik ini juga mengakibatkan setidaknya 11 orang terluka dan delapan orang meninggal. Konflik gajah yang terus meningkat dari tahun ke tahun di Aceh berdampak pada penurunan populasi gajah dari sekitar 800 ekor di tahun 2003 menjadi 500-535 ekor di tahun 2015. Jika konflik ini terus berlangsung, gajah Aceh dapat punah dalam 30-40 tahun ke depan.

<p>Grafik 1. Kasus konflik manusia dan gajah di Aceh tahun 2012-2017.</p>

Grafik 1. Kasus konflik manusia dan gajah di Aceh tahun 2012-2017.

Hilangnya Habitat Gajah Akibat Deforestasi

Menurut data satelit yang diambil dari Global Forest Watch dan dianalisis lebih lanjut, Provinsi Aceh telah kehilangan 216.818 hektar (ha) tutupan hutan primer selama tahun 2001-2016. Menurut data BKSDA Aceh, 77,463 ha (35,7%) di antaranya merupakan habitat penting gajah.

Habitat gajah dengan tingkat deforestasi paling tinggi berada di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Jaya, di mana angka korban jiwa akibat konflik tercatat paling tinggi sepanjang tahun 2012-2017.

<p>Grafik 2. Perbandingan deforestasi di habitat gajah tahun 2001-2016 dengan jumlah gajah mati akibat konflik tahun 2012-2017.</p>

Grafik 2. Perbandingan deforestasi di habitat gajah tahun 2001-2016 dengan jumlah gajah mati akibat konflik tahun 2012-2017.

Upaya Pencegahan Hilangnya Habitat Gajah dan Konflik dengan Manusia

Untuk mengatasi perambahan gajah ke pemukiman manusia, deforestasi sebagai sumber permasalahan utama harus ditangani secara menyeluruh. Langkah pertama yang dapat ditempuh adalah pemberlakuan moratorium perizinan konsesi di kawasan dengan nilai konservasi tinggi (high conservation value; HCV). Kawasan HCV mencakup kawasan konservasi, kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, bentang lahan yang penting bagi proses dan dinamika ekologi, kawasan yang memiliki sumber air penting serta habitat satwa yang terancam punah dan dilindungi.

Akibat perubahan fungsi kawasan konservasi ke kawasan pemukiman, agrikultur, atau pembangunan infrastruktur, sekarang 85 persen habitat gajah sumatera berada di luar kawasan konservasi. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperluas cakupan moratorium hutan ke luar kawasan konservasi agar dapat menjangkau seluruh habitat gajah. Semangat untuk melindungi kawasan HCV juga harus tercermin dalam penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk menghindari kerugian ekonomi masyarakat lokal dan penurunan populasi gajah akibat konflik antara manusia dan satwa liar. Peran gajah dalam menyebarkan biji dan membuat kolam air di musim kemarau juga sangat penting bagi keseimbangan ekosistem di hutan dan penghidupan masyarakat di sekitarnya.

Kedua, pemerintah dapat melakukan pengayaan hutan dengan menanam tumbuhan pakan alami satwa agar satwa herbivor seperti gajah tidak perlu mencari makan di luar hutan. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan juga dapat menanam tumbuhan yang tidak disukai gajah, seperti lemon, kopi, cabe, lada dan kemiri.

Ketiga, pemerintah perlu membentuk tim patroli yang efektif. Patroli dengan berjalan kaki atau menunggang kuda tidak optimal dalam menyisir area hutan hujan yang luas dan memiliki medan yang sulit. Penjagaan hutan juga perlu didukung oleh teknologi atau sistem yang memudahkan pemantauan kawasan, misalnya drone yang yang dapat menjangkau area yang lebih luas dan medan-medan yang sulit.

Terakhir, memerangi deforestasi memerlukan data yang akurat, khususnya data yang dapat disebarkan melalui sistem peringatan dini. Salah satu contoh teknologi yang berguna bagi pegiat lingkungan adalah aplikasi Forest Watcher yang memberikan data perubahan tutupan hutan bagi penggunanya, bahkan di area tanpa jaringan internet. Forest Watcher dapat mengirim data deforestasi langsung ke perangkat seluler sehingga tim patroli dapat segera meninjau lokasi tersebut. Aplikasi bebas biaya ini juga dapat digunakan oleh masyarakat yang bermukim di sekitar hutan untuk memantau dan melaporkan deforestasi.

Hilangnya hutan tidak hanya berdampak pada gajah, tetapi juga menyebabkan konflik antara manusia dengan satwa liar lainnya, seperti harimau, orangutan, beruang madu dan ular. Solusi sementara seperti pemasangan pagar listrik di area perkebunan tidak akan dapat mencegah konflik manusia dengan satwa dalam jangka panjang. Pemerintah, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat harus berkolaborasi untuk mencegah hilangnya hutan yang merupakan habitat dan sumber pangan bagi fauna di dalamnya.