Tulisan ini awalnya dipublikasikan di TEMPO

Penyanderaan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merupakan bentuk pelecehan negara yang merendahkan wibawa negara. Mereka disandera ketika sedang menyegel lahan yang terbakar di kawasan PT Andika Permata Sawit Lestari (APSL) di Rokan Hulu, Riau, awal bulan ini. Wajarlah jika Menteri Siti Nurbaya marah dan memprioritaskan penyelidikan atas PT APSL sebagai terduga pemrakarsa penyanderaan dalam kaitan dengan perambahan kawasan hutan, pembakaran lahan, dan penyanderaan aparat negara.

Kejadian tersebut mencerminkan lemahnya tata kelola penggunaan lahan kita. PT APSL sudah diketahui bermasalah sejak Juni 2014, ketika DPRD Riau menuduh mereka membuka kebun sawit di wilayah hutan lindung seluas 2.000 hektare di sana sejak 2009. Bahkan, pada Agustus 2015, di depan majelis hakim Pengadilan Tinggi Rokan Hilir, PT APSL mengaku tidak memiliki izin usaha perkebunan sawit di kawasan hutan yang berkategori hutan produksi itu. Perusahaan tersebut juga tidak terdaftar di dinas perkebunan setempat.

Pencatatan kegiatan penggunaan lahan merupakan bagian dari tata kelola yang saat ini sedang diperbaiki, antara lain melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta. Salah satu hasil dari pelaksanaan peraturan itu adalah terbitnya peta pertanahan skala luas di bawah tanggung jawab Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Izin usaha perkebunan seperti yang seharusnya dimiliki PT APSL akan termuat dalam peta tersebut. Jika izin usaha tersebut berasal dari bekas kawasan hutan yang dikonversi statusnya menjadi non-hutan, seharusnya tercatat pada KLHK dan termuat dalam peta kawasan hutan.

Kasus penyanderaan di atas setidaknya mengangkat tiga isu tata kelola lahan. Pertama, Indonesia masih belum memiliki basis data informasi geospasial terpadu yang memungkinkan pencatatan dan pemutakhiran data serta informasi konsesi dan perizinan lahan secara lintas sektor atau kementerian. Kawasan hutan yang dikonversi menjadi non-hutan seharusnya tercatat dalam lajur pengurangan luas kawasan hutan di KLHK. Lahan non-hutan hasil konversi tersebut segera dicatat dalam lajur penambahan luas lahan non-hutan di KATR. Rekonsiliasi kedua catatan itu di kedua kementerian masih belum mulus. Peta-peta yang digunakan masih perlu dibuat sinkron untuk meniadakan lahan-lahan tak bertuan. Ini adalah celah yang selama ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk mengambil keuntungan tanpa peduli akan dampaknya terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Kedua, Dinas Perkebunan, yang secara de facto merupakan perpanjangan tangan dari Kementerian Pertanian, tidak selalu mencatat dengan baik izin yang telah terbit, termasuk letak, luas, dan bentuk-ukuran lahan yang ada, apalagi memverifikasi di lapangan. Bantuan pemerintah untuk peningkatan produktivitas pekerja kebun kecil jadi sulit dilakukan. Ini adalah celah yang dimanfaatkan orang untuk tidak membayar pungutan non-pajak. Catatan Kantor Wilayah Pajak Riau menyatakan 1,1 juta hektare lahan sawit terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak. Padahal, data resmi Dinas Perkebunan Riau menyatakan ada 2,3 juta hektare lahan. Penelitian UKP4 (2014) di sembilan kabupaten untuk tiga provinsi menunjukkan bahwa ketidakcermatan pencatatan semacam ini merugikan daerah sebesar 60-300 persen.

Ketiga, perambahan hutan untuk perkebunan selama bertahun-tahun tanpa penertiban dan penegakan hukum menunjukkan telah mengerasnya persepsi pihak-pihak tertentu soal penegakan hukum. Ketiadaan pencatatan yang baik, peta tunggal untuk rujukan semua pihak, komunikasi horizontal lintas sektor, serta komunikasi vertikal lintas lapisan pemerintahan mengakibatkan kontrol yang lemah atas lahan dan penggunaan lahan. Peta-peta pembuktian kepemilikan lahan berseliweran tanpa referensi geometrik serta kadastral yang akurat dan benar. Akibatnya, hukum yang terkait dengan penggunaan lahan dipandang ringan. Hal ini tecermin dari adanya penyanderaan terhadap aparat negara.

Pelaksanaan kebijakan satu peta akan menghasilkan data dan informasi geospasial yang kokoh, akuntabel, dan berintegritas. Peraturan ini memuat klausul tentang sinkronisasi peta-peta untuk menuju satu peta. Hal itu akan mempermudah penggunaan data dan peta secara lintas sektor serta tingkatan pemerintahan.

Namun perlu dipastikan bahwa peta-peta tersebut telah melalui proses sinkronisasi dengan melibatkan segenap pemangku kepentingan. Dalam kasus di atas, pemangku kepentingan meliputi KLHK, KATR, Dinas Perkebunan di provinsi dan kabupaten, pemerintah desa, pengusaha besar, serta pekerja kebun kecil dan masyarakat setempat. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 telah menyiratkan kebutuhan untuk melibatkan semua pihak, tapi masih belum secara kuat mendorong proses sinkronisasi pada tataran tapak.

DIperlukan peran bijak pemerintah untuk menciptakan kesimetrisan posisi para pihak. Tanpa hal itu, dialog dan komunikasi akan buntu serta memberikan harapan kosong atas penyelesaian berbagai aspek dan urusan pengelolaan lahan yang tumpang-tindih.