Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Koran Tempo pada 6 Maret 2019.

Pesta demokrasi Indonesia tahun ini tidak hanya menentukan arah bangsa Indonesia untuk lima tahun ke depan, tapi juga dunia. Indonesia menempati peringkat ke-5 sebagai emiten karbon terbesar di dunia, sehingga negara ini menjadi salah satu aktor kunci yang menentukan keberhasilan dunia dalam memerangi perubahan iklim.

Debat calon presiden seri kedua yang digelar Februari lalu,kedua calon sama-sama mengajukan strategi untuk memaksimalkan bioenergy. Bahkan Joko Widodo menargetkan penggunaan bahan bakar wajib biodiesel 100 persen (B100). Namun sesi debat tersebut tidak menyentuh masalah utama pencapaian target energi terbarukan Indonesia, yaitu sistem ketenagalistrikan yang saat ini masih berbasis batu bara.

Dari penghitungan cepat World Resources Institue (WRI) Indonesia berdasarkan data statistik perkebunan, laporan lembaga Koaksi Indonesia dan outlook kelapa sawit Indonesia, diproyeksikan bahwa dengan adanya program B100, pada 2025 akan dibutuhkan minyak kelapa sawit sejumlah 56,98 juta ton pertahun. Jika tidak ada peningkatan produktivitas kebun, permintaan tersebut bisa mendorong pembukaan lahan seluas 7,2 juta hektare. Pembukaan lahan hanya bisa dicegah jika produktivitas kebun dapat ditingkatkan melalui intensifikasi.

Pencapaian target bauran energi terbarukan pada bioenergi oleh kedua calon seyogianya dilihat dalam kacamata intensifikasi, bukan ekspansi perkebunan kelapa sawit sebagai bahan baku bioenergi.

Fokus peningkatan bauran energi terbarukan pada bioenergi oleh kedua calon presiden nyatanya belum sejalan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang rencana peningkatan bauran energi terbarukan dari bioenerginya jauh lebih kecil dibandingkan dengan ketenagalistrikan. Berdasarkan RUEN, target peningkatan bauran energi terbarukan menjadi 23 persen pada 2025 atau sejumlah 92,2 juta ton setara minyak akan dicapai melalui peningkatan listrik terbarukan sejumlah 75 persen dan sisanya dari bioenergi dan gas metana batu bara.

Walaupun target pencapaian listrik itu sangat tinggi, ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil justru berada pada tahap yang mengkhawatirkan dari sisi emisi, apalagi jika memperhitungkan rencana proyek 35 ribu megawatt yang didominasi oleh pembangkit batu bara. Dengan rencana tersebut, WRI Indonesia memproyeksikan pada tahun 2030 emisi tahunan dari sektor energi akan mencapai 1,516 juta ton CO2, melampaui emisi dari sektor tata guna lahan yang diprediksi akan mencapai 1,342 juta ton CO2.

Pencapaian target energi terbarukan pada 2025 tentu bukanlah hal yang mudah. Jadi, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan bioenergi untuk mencapainya, tapi juga harus serius mengelola strategi peningkatan energi terbarukan lainnya. Saat ini, pengembangan energi terbarukan masih terpusat di PLN, yang memiliki sumber daya keuangan dan manusia yang terbatas. Pemusatan tanggung jawab pada satu institusi dikhawatirkan akan memperlambat perkembangan energi terbarukan.

Permintaan dari sektor rumah tangga, industri, dan komersial juga harus dipertimbangkan. Misalnya, seiring dengan menurunnya harga teknologi energi terbarukan, seperti panel surya, permintaan dari konsumen rumah tangga untuk memasang panel surya semakin besar, yang dapat menghemat biaya listrik.

Selain itu, saat ini mulai banyak sektor industri dan komersial yang ingin menggunakan energi terbarukan untuk bisnisnya. Contohnya, perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Clean Energy Investment Accelerator (CEIA), sebuah inisiatif gabungan yang diprakarsai oleh WRI. Permintaan besar ini perlu dibarengi dengan kebijakan yang mendukung.

Peluncuran Peraturan Menteri ESDM tentang Penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap pada akhir tahun 2018 memang patut diapresiasi. Namun peraturan tersebut belum mampu mendorong minat investasi pelanggan PLN untuk memasang panel surya atap karena hanya 65 persen kelebihan listrik yang diekspor ke sistem PLN yang akan dihargai. Padahal, dalam Peraturan Direktur PLN, yang sebelumnya menjadi dasar sistem ekspor-impor listrik surya atap, PLN akan menghargai 100 persen listrik yang diekspor ke sistemnya.

Tidak hanya rumah tangga, penggunaan energi terbarukan untuk sektor industri dan komersial juga masih mengalami kendala pembiayaan karena adanya biaya kapasitas dan biaya paralel. Adapun pilihan lainnya seperti skema power wheeling belum memiliki mekanisme yang jelas sehingga masih cenderung dilakukan secara antarbisnis.

Pemerintah masih menyinergikan kebijakan energi terbarukannya. Hanya enam tahun tersisa untuk mencapai target energi terbarukan 2025 sehingga dibutuhkan strategi yang inovatif dan berkesinambungan. Pelibatan konsumen sudah seharusnya didukung dengan regulasi yang lebih inklusif untuk mendukung pengembangan berbagai potensi energi terbarukan.

Ketercapaian target tersebut akan sangat bergantung pada pemimpin terpilih yang akan menjabat hingga tahun 2024 nanti. Siapa pun yang akan memimpin negara kita selama lima tahun ke depan, semoga bisa menyadari bahwa Indonesia butuh lebih dari sekadar bioenergi.