Tulisan ini awalnya dipublikasikan di The Jakarta Post.

Harimau tidak hanya merupakan megafauna yang karismatik, tetapi juga merupakan ‘spesies payung.’ Sebagai predator yang berada di puncak rantai makanan, harimau menjaga keseimbangan jumlah herbivor dan tumbuh-tumbuhan yang menjadi santapan para herbivor. Maka, dengan melindungi dan melestarikan harimau, kita juga membantu menjaga keanekaragaman hayati dan seluruh proses ekologis di dalam habitatnya. Harimau juga merupakan satwa penyendiri, sehingga harimau membutuhkan wilayah yang luas untuk dapat bertahan hidup. Sayangnya, hilangnya habitat dan perburuan telah menurunkan jumlah populasi harimau secara signifikan. Menurut World Wildlife Fund, dunia telah kehilangan 97 persen harimau liar hanya dalam kurun waktu satu abad. Saat ini, jumlah harimau liar yang tersisa diperkirakan kurang dari 3,500 ekor.

Saat ini, terdapat 13 negara di dunia yang menjadi habitat harimau, termasuk Indonesia dengan enam Lanskap Konservasi Harimau prioritas, yakni wilayah yang dilindungi untuk melestarikan harimau, di Sumatera: Ulumasen-Leuser, Kampar-Kerumutan, Bukit Tigapuluh, Kerinci Seblat, Bukit Balai Rejang Selatan, dan Bukit Barisan Selatan. Selain harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Indonesia pernah menjadi rumah bagi harimau Bali dan Jawa, tetapi dua jenis harimau tersebut telah punah pada tahun 1960-an akibat aktivitas perburuan yang merajalela. Penelitian yang dilakukan oleh Smithsonian Institute pada tahun 2010 memperkirakan bahwa tidak lebih dari 400 harimau tersisa di Sumatera. Dengan hanya sedikit harimau tersisa di Sumatera, Lanskap Konservasi Harimau memainkan peran yang amat penting.

Seberapa Buruk Kehilangan Habitat di Lanskap Konservasi Harimau di Sumatera?

Sebuah penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Minnesota, RESOLVE, Universitas Stanford, Smithsonian, Universitas Maryland, dan World Resources Institute (WRI) menunjukkan bahwa harimau dapat diselamatkan dari ambang kepunahan selama lanskap yang tersisa dipantau dan dilindungi secara efektif. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kurang dari 8 persen dari total 76 Lanskap Konservasi Harimau (mencakup wilayah seluas hampir 79,600 km2) hilang antara 2001-2014. Kehilangan ini lebih rendah dari yang diantisipasi, mengingat habitat harimau yang secara umum tersebar di wilayah perekonomian yang berkembang dengan cepat. Berita menggembirakan lainnya adalah bahwa koridor Khata di Lanskap Terai Arc di Nepal, yang menghubungkan Taman Nasional Bardia di Nepal dan Cagar Alam Harimau Katerniaghat di India, mengalami peningkatan tutupan pohon sebesar 2.7 persen dari luas total wilayahnya dalam 14 tahun terakhir, yang kemungkinan telah berdampak pada munculnya 32 harimau antara 2009 dan 2013 di Bardia. Nepal dan India secara umum juga mengalami peningkatan populasi harimau sebesar 61 dan 31 persen pada 2001-2014 berkat program kehutanan berbasis masyarakat dan upaya anti perburuan.

Sayangnya, hasil penelitian tersebut untuk wilayah Asia Tenggara berbeda dari Nepal dan India. Sebagian besar (98 persen) kehilangan habitat harimau terjadi hanya di 10 Lanskap Konservasi Harimau di Indonesia dan Malaysia. Analisis terhadap data Global Forest Watch menunjukkan bahwa enam Lanskap Konservasi Harimau prioritas di Sumatera telah kehilangan 12.5 persen hutannya dalam 14 tahun terakhir. Kampar-Kerumutan mengalami kehilangan tutupan pohon tertinggi, yaitu seluas 3389.5 km2 (34 persen dari total luas wilayahnya), diikuti dengan Bukit Tigapuluh dengan kehilangan tutupan pohon seluas 2983.21 km2 (42 persen dari total luas wilayahnya), dan Kerinci Seblat dengan kehilangan tutupan pohon seluas 2361.60 km2 (8.35 persen dari total luas wilayahnya). Walaupun demikian, Bukit Balai Rejang Selatan, Bukit Barisan Selatan, dan Leuser mengalami kehilangan tutupan pohon kurang dari 270 km2 (kurang dari 9 persen total wilayah), dan Leuser hanya mengalami kehilangan tutupan pohon seluas 0.09 persen dari total luas wilayahnya. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga lanskap harimau tersebut masih relatif utuh dan masih ada harapan untuk melindungi habitat harimau Sumatera yang tersisa.

Analisis kami juga menunjukkan bahwa lebih dari 12,000 km2 konsesi kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) berada di dalam Lanskap Konservasi Harimau di Sumatera, yaitu seluas 16 persen dari total wilayah Lanskap Konservasi Harimau yang diamati. Hal ini menunjukkan bahwa konversi hutan alami menjadi perkebunan telah menjadi pemicu utama kehilangan habitat harimau di Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan bahwa tiga Lanskap Konservasi Harimau yang mengalami kehilangan tutupan pohon terluas juga banyak mengalami tumpang tindih dengan konsesi kelapa sawit dan HTI. Wilayah konsesi tersebut tumpang tindih dengan 48 persen lanskap Kampar Kerumutan, 42 persen lanskap Bukit Tigapuluh, dan 13.5 persen lanskap Kerinci Seblat.

Bagaimana Kita Dapat Menyelamatkan Habitat Harimau di Sumatera?

Kita tidak dapat lagi membiarkan punahnya harimau Sumatera. Banyak riset menemukan bahwa kehilangan habitat, perburuan terhadap mangsa harimau, dan perburuan harimau adalah tiga ancaman utama terhadap populasi harimau di Sumatera. Analisis kami menyoroti ancaman dari perkebunan kelapa sawit dan HTI terhadap Lanskap Konservasi Harimau di Indonesia, yang sebagian besar telah ditetapkan sebagai taman nasional atau suaka margasatwa. Oleh karena itu, penetapan habitat harimau menjadi kawasan konservasi saja tidaklah cukup. Dibutuhkan upaya kolaboratif untuk memastikan bahwa habitat spesies ikonis ini dapat tetap dilindungi dan dilestarikan.

Untuk melindungi habitat harimau Sumatera yang tersisa, diperlukan pemantauan secara terus menerus. Data berbasis satelit untuk memantau perubahan hutan hampir seketika seperti Global Forest Watch akan berguna untuk mendeteksi gangguan atau pengubahan Lanskap Konservasi Harimau untuk peruntukan lahan lainnya. Di lapangan, keterlibatan masyarakat setempat untuk melindungi habitat harimau dan memerangi perburuan liar sangat krusial. Pemerintah perlu mengintegasikan pengelolaan Lanskap Konservasi Harimau dengan perencanaan tata guna lahan wilayah di sekitarnya, termasuk mengatasi berbagai tantangan yang berkaitan dengan pertumbuhan populasi manusia. Terakhir, merestorasi wilayah yang terdegradasi atau terdeforestasi di dalam Lanskap Konservasi Harimau sangat penting. Pelajaran dari Nepal, yang berhasil meningkatkan jumlah harimau dengan melindungi dan memperluas tutupan pohon dalam Lanskap Konservasi Harimau, memberikan kita secercah harapan.