Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Harian Kompas.

Hakim Agung Takdir Rahmadi pada Juni 2016 memutuskan menolak permohonan kasasi PT Kalista Alam yang divonis ganti rugi sebesar Rp 366 miliar atas kerusakan lingkungan yang dilakukan di Rawa Tripa, Aceh. Hakim agung tersebut kemudian memenangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada November 2016 dan memvonis PT Merbau Pelalawan Lestari untuk membayar denda Rp 16 triliun atas kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan perusahaan tersebut. Jumlah denda yang luar biasa menjadi tonggak sejarah penegakan hukum atas kerusakan lingkungan di Indonesia.

Pedoman pengambilan kedua vonis tersebut adalah doktrin in dubio pro natura, atau dalam keraguan berpihaklah kepada alam lingkungan. Di Indonesia, doktrin ini telah digunakan sejak 2003, bahkan sebelum terbitnya UU Lingkungan Hidup Nomor 32/2009, ketika Pengadilan Negeri Bandung memutuskan memberikan ganti rugi pada korban akibat longsor bukit Mandalawangi di Garut. Tergugat pada kasus ini adalah pemerintah termasuk Perum Perhutani.

Mengacu kepada Statistik Kehutanan tahun 2015 serta hasil penafsiran citra Landsat 8 oleh Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK, diketahui bahwa sekitar 26,2 juta hektar hutan tetap pada Kawasan Hutan tidak lagi memiliki tegakan pohon. Sedangkan pada Area Penggunaan Lain (APL), area yang dikelola oleh pemerintah daerah, terdapat sekitar 7,6 juta hektar lahan yang berhutan dalam kualitas baik yang masuk klasifikasi hutan alam primer dan sekunder. Statistik dan tafsiran citra satelit tersebut juga menunjukkan bahwa terdapat 2,5 juta hektar hutan alam primer dan 4,1 juta hektar hutan alam sekunder yang berada pada Kawasan Hutan namun secara legal dapat dikonversikan menjadi lahan non-hutan. Konversi menjadi non-hutan secara legal dari Kawasan Hutan dan APL tersebut seringkali disebut sebagai planned deforestation. Terdapat 14,2 juta hektar hutan direncanakan untuk dideforestasi dengan besaran emisi gas rumah kaca sebesar sekitar 6,5 Gt CO2 eq atau lebih dari 2 kali lipat total emisi nasional Indonesia di tahun 2030.

Menggunakan doktrin in dubio pro natura dalam pengelolaan hutan – dengan pemikiran sederhana serta jika dalam keraguan—maka alangkah bijaknya jika 14,2 juta hektar hutan yang siap deforestasi tersebut ditukar dengan luasan lahan yang sama dari Kawasan Hutan tanpa tegakan yang berdasarkan Statistik Kehutanan 2015 mencapai luas 26,2 juta hektar. Jika dibutuhkan lahan untuk reforma agraria dari Kawasan Hutan, maka data statistik yang sama menyebutkan adanya 6,4 juta hektar Hutan Produksi Konversi dalam kondisi tanpa tegakan pohon yang dapat digunakan sebagai donor reforma agraria tanpa memperluas kerusakan lingkungan hutan.

Kasus Hutan Papua

Menggunakan doktrin in dubio pro natura untuk menyikapi Papua sebagai last frontier dalam konservasi hutan dan keanekaragaman hayati, maka untuk izin-izin konsesi perkebunan dan kehutanan di kabupaten Merauke, Mappi, dan Boven Digoel yang sampai saat ini telah lebih dari 3 tahun tidak dimanfaatkan, perlu segera ditetapkan opsi-opsi pengelolaannya yang lebih berpihak kepada lingkungan.

Untuk memberikan ilustrasi, dilakukan analisis geospasial atas data dan informasi dari Greenpeace Indonesia dan Yayasan Pusaka dari Papua yang dapat diakses oleh publik. Setidaknya melalui pencermatan atas dua kelompok usaha perkebunan dan kehutanan di kabupaten Merauke, Mappi dan Boven Digul, ditemukan beberapa hal. Sebanyak 424.633 hektar konsesi sawit dan kayu berada pada lahan yang secara legal dapat digunakan untuk kegiatan usaha tersebut. Sebanyak 62% dari luasan konsesi tersebut adalah berupa hutan primer dengan tegakan pohon dan keanekaragaman hayati yang sangat baik. Menggunakan analisis kehilangan tutupan pohon (tree cover loss) dan peringatan GLAD pada platform Global Forest Watch, sepanjang lima belas tahun terakhir hanya sekitar 13% dari tutupan pohon pada wilayah konsesi tersebut yang mengalami perubahan. Selebihnya tetap seperti semula berupa hutan dengan tutupan hutan yang tidak terganggu. Bisa jadi hal ini diartikan sebagai konsesi yang tidur (idle) atau terlantar (abandoned).

Dengan semangat keberpihakan pada lingkungan, setidaknya dapat dikembangkan dua opsi pengelolaan. Pertama, menciptakan skema transfer tunai ke daerah melalui dana transfer daerah (dapat berupa Dana Insentif Daerah, Dana Alokasi Khusus, dan sebagainya) terkait keberadaan tegakan hutan atau konservasi hutan. Dana ini akan memperluas kapasitas fiskal daerah dan memungkinkan kelompok masyarakat yang menjaga tegakan hutan mendapatkan kompensasi langsung. Skema ini menuntut tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengembangkan program matapencaharian berbasis hutan dan hasil hutan bukan kayu dengan memanfaatkan kapasitas fiskal tersebut. Dana ini juga akan memperkuat posisi tawar pemerintah daerah atas iming-iming pihak pengusaha untuk mengeluarkan konsesi diatas kawasan hutan. Skema ini juga akan memperkuat pergerakan dunia usaha menuju inisiatif usaha yang lebih lestari.

Kedua, menciptakan konsesi konservasi hutan untuk dipertukarkan/mentransformasi konsesi tidur dan/atau terlantar menjadi konsesi konservasi hutan. Dalam skema ini, pemilik konsesi selanjutnya akan mengembangkan program pemeliharaan tegakan hutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu bersama dengan masyarakat lokal. Namun demikian, skema ini memerlukan pembentukan pasar karbon nasional yang akan menjadi sumber pendanaan dan pendapatan berbasis pemeliharaan tegakan hutan.

Pada hakikatnya seperti yang dikemukan Presiden Joko Widodo pada berbagai kesempatan, memelihara hutan dan lingkungan harus berjalan seiring dengan penyejahteraan masyarakat yang hidup didalam dan disekitar hutan. Untuk pengelolaan hutan Indonesia, mari berpihak kepada lingkungan dengan menukar hutan terdegradasi di Kawasan Hutan dengan hutan primer di APL. Untuk Papua, mari berpihak kepada lingkungan dengan mengembalikan konsesi tidur dan terlantar kepada Pemerintah sebagai hutan untuk menyejahterakan rakyat Papua.