Selama beberapa dekade, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah menjadi krisis lingkungan tahunan. Namun, kondisi kering akibat El Niño tahun 2015 menjadikan musim kebakaran di tahun itu sebagai yang terburuk dalam dua puluh tahun: di mana sekitar 2,6 juta hektar lahan terbakar antara bulan Juni dan Oktober, yang merupakan musim kemarau di Indonesia. Kebakaran tersebut banyak membakar lahan gambut kaya karbon, membuat jutaan orang di Asia Tenggara terpapar kabut beracun yang setara dengan tiga kali lipat emisi gas rumah kaca tahunan di Indonesia. Di tahun ini kami melihat jumlah kebakaran tidak sebanyak di tahun 2015 karena kondisi cuaca lebih basah. Meski demikian, sumber masalah kebakaran harus tetap ditangani.

Sebagian besar kebakaran di Indonesia disebabkan oleh manusia. Hutan negara dan lahan gambut —lanskap yang kaya karbon dan digenangi air menjadi pilihan populer untuk ekspansi pertanian— terlalu lembap untuk menjadi penyebab terjadinya kebakaran secara alami. Oleh karena itu, lahan seperti ini biasanya secara aktif dikeringkan dan dibakar untuk digunakan sebagai lahan pertanian atau untuk mengusir warga ketika terjadi sengketa lahan.

Analisis data riwayat kebakaran di Global Forest Watch Fires menegaskan bahwa kebakaran cenderung terkonsentrasi pada konsesi pertanian dan lahan gambut di Indonesia. Mengenali lokasi kebakaran di masa lalu dapat membantu memberi masukan terhadap upaya-upaya penanggulangan kebakaran, seperti komitmen antipembakaran oleh beberapa perusahaan, strategi pemanfaatan dan restorasi lahan milik pemerintah, atau program pencegahan kebakaran di tingkat desa, yang merupakan kawasan yang paling membutuhkan bantuan.

Data ini menunjukkan konsentrasi peringatan titik api tahunan yang terdeteksi oleh satelit MODIS NASA antara tahun 2001 dan 2015. Konsentrasi tinggi peringatan kebakaran ditunjukkan oleh titik merah, sedangkan konsentrasi tingkat rendah ditunjukkan oleh titik biru.

Klik provinsi pada peta interaktif untuk melihat jumlah peringatan titik api dan lokasi kebakaran di provinsi tersebut. Anda juga dapat mengarahkan kursor ke grafik batang untuk melihat detail peringatan titik api per tahun.

Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Riau adalah Provinsi Rawan Kebakaran Karena Pertanian

Selama 15 tahun terakhir, sebagian besar kebakaran di Indonesia terjadi di Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Riau. Total kebakaran di ketiga provinsi ini mencapai 44 persen dari semua kebakaran yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2001. Di tahun 2015, jumlah peringatan titik api di Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan mencapai lebih dari 27.000 peringatan, yang mana merupakan peningkatan signifikan dibandingkan dengan rata-rata 5.500 peringatan di setiap provinsi pada lima tahun sebelumnya. Di Riau, tingkat kebakaran secara keseluruhan menurun, tetapi ada 4.058 kebakaran yang terdeteksi di tahun 2016, meskipun tahun itu adalah tahun basah. Jumlah ini lebih banyak empat kali lipat daripada jumlah kebakaran yang terdeteksi di Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan, dua wilayah yang juga rawan kebakaran.

alt textMeskipun 2016 adalah tahun basah, provinsi Riau memiliki jumlah kebakaran empat kali lipat lebih tinggi daripada Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan yang secara historis rawan kebakaran.

Pertanian adalah satu-satunya penyebab terbesar kebakaran tersebut. Lebih dari 60 persen kebakaran tahun 2015 di Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan terjadi pada lahan gambut. Di Sumatera Selatan, 50 persen kebakaran tahun 2015 juga terjadi pada konsesi akasia dan serat kayu. Data peringatan titik api 2016 menunjukkan bahwa pola ini berlanjut di Riau; di tahun itu, 47 persen kebakaran berada pada konsesi serat kayu. Melihat lebih jauh ke belakang, Kalimantan Tengah memiliki lebih banyak peringatan titik api di konsesi perkebunan kelapa sawit daripada jenis lahan lainnya setiap tahun sejak 2001.

Data ini juga menunjukkan bahwa riwayat pola api mungkin berubah. Provinsi Papua, misalnya, memiliki sedikit peningkatan jumlah titik api dalam beberapa tahun terakhir. Di tahun 2015, peringatan titik api melonjak ke angka 14.500, bandingkan dengan rata-rata 3.200 peringatan titik api setiap tahun antara 2001 dan 2015. Dengan adanya lebih dari 35 persen kebakaran yang terdeteksi sejak tahun 2001 di kawasan lindung serta meningkatnya pembakaran ilegal, hutan yang relatif belum tersentuh kini semakin terancam.

Mencegah Kebakaran di Masa Depan

Data riwayat kebakaran ini memberikan petunjuk arah dan jenis penanggulangan kebakaran yang paling efektif dalam membantu Indonesia menghindari musim bencana kebakaran di masa depan, seperti:

  1. Memprioritaskan komitmen antipembakaran dan kebijakan konservasi di provinsi dengan kebakaran kronis melalui pembatasan pembukaan hutan dan lahan gambut untuk ekspansi pertanian. Selain itu, perusahaan yang telah mengumumkan komitmen tidak hanya wajib menegakkannya pada batas-batas konsesi mereka, tetapi juga harus mengembangkan strategi guna memastikan bahwa komitmen tersebut selalu dipatuhi di seluruh rantai pasok mereka.
  2. Mengawasi secara ketat provinsi yang akhir-akhir ini mengalami pembakaran intens , seperti Papua. Moratorium baru seluruh lahan gambut akan menjadi sangat penting untuk mencegah kebakaran di hutan yang relatif belum tereksploitasi.
  3. Memfokuskan upaya restorasi di provinsi-provinsi yang memiliki riwayat kebakaran panjang. Badan Restorasi Gambut, sebuah upaya baru pemerintah yang bertujuan memulihkan hidrologi lahan gambut, akan dimulai di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Selain itu, pelaksanaan dan penegakan moratorium lahan gambut baru, yang mengharuskan perusahaan memulihkan lahan gambut yang telah mereka keringkan, harus diterapkan terutama di propinsi-propinsi tersebut.
  4. Menganalisis kebakaran di Sumatera dan Kalimantan secara lebih terperinci untuk membantu memutuskan lokasi pengembangan inisiatif tingkat desa, seperti Aliansi Desa Bebas Kebakaran. Aliansi ini telah bekerja terutama di program patroli Riau, pengelolaan air, dan pencegahan kebakaran di desa-desa tertentu di Riau.

Menelaah masa lalu dapat membantu Indonesia menghindari berulangnya sejarah musim kebakaran tahunan yang menghancurkan. Sejalan dengan data dari internet yang semakin akurat dan real-time, data riwayat kebakaran dapat membantu memutus siklus tersebut.