Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Koran Tempo pada 1 Februari 2019.

Pemerintah Indonesia menargetkan 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025, dan pada tahun ini Indonesia telah mencapai 12,5 persen. Salah satu kontribusi bauran energi terbarukan berasal dari biogas, yakni hasil fermentasi kotoran hewan dan manusia, limbah domestik, dan limbah organik lainnya. Menurut riset Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, biogas dapat memenuhi 13,3 persen kebutuhan bahan bakar memasak dan listrik di Indonesia. Strategi desentralisasi melalui biogas mendukung ketahanan dan kemandirian energi daerah untuk mendukung pembangunan rendah karbon, membantu capaian target elektrifikasi, serta mengembangkan energi dan ekonomi desa hingga Rp 64,3 triliun per tahun.

Namun, saat ini, pemanfaatan dan penyebaran biogas masih di angka 1,24 persen meskipun potensi limbah organik mencapai 39 juta ton per hari. Padahal, optimalisasi pemanfaatan biogas penting untuk membantu transisi energi lokal untuk mengurangi impor elpiji. Sementara itu, subsidi pemerintah untuk elpiji terus bertambah setiap tahunnya, mencapai 6,6 miliar metrik ton pada 2018.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melaporkan bahwa pencapaian penyebaran reaktor biogas yang hanya sekitar 50 persen dari target 49,6 juta meter kubik pada 2017. Tahun 2018 mencatat tingkat pencapaian yang lebih rendah, yaitu sekitar 30 persen dari target 69 juta meter kubik. Menurut Kementerian, kendala penyebaran reaktor biogas adalah tidak adanya dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk program tersebut. Saat ini, program biogas sebagian besar menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK). Kendala lain, Kementerian mengaku, adalah kurangnya kordinasi lintas lembaga pemerintah dan sinergi antarprogram. Program-program biogas pemerintah tersebar di sejumlah kementerian seperti Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Desa, dan sejumlah pemerintah daerah.

Di luar hal itu, kendala tata kelola program biogas sebenarnya lebih kompleks. Pertama, Indonesia tidak memiliki rencana biogas nasional seperti di Cina. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian ESDM menyebutkan bahwa target penyebaran biogas tergabung dengan target bioenergi di Rencana Umum Energi Nasional dan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Namun, dalam implementasinya, tidak ada kordinasi dan sinergi yang jelas antara BAPPENAS, ESDM, dan kementerian lain.

Target penyebaran biogas bisa disebut tidak pasti karena sebagian besar program biogas bergantung pada minat warga dan pemerintah daerah dalam mengirim proposal ke pusat untuk mendapatkan biogas. Pembiayaan proposal ini pun bergantung kembali pada persetujuan dari Kementerian Keuangan. Selain itu, koordinasi pemerintah dengan target program biogas lain dari Lembaga swadaya masyarakat juga terbatas. Hal ini membuat target penyebaran biogas di Indonesia semakin tidak jelas dan tidak terintegrasi.

Kedua, ada kendala dalam tata kelola rantai biogas, dari produksi sampai konsumsi. Di level produksi, ada masalah biaya instalasi yang tinggi dan kurangnya bahan baku biogas, seperti kotoran ternak. Di sisi konsumsi, sebagian masyarakat kurang tertarik karena prosedur penggunaan biogas lebih rumit daripada elpiji.

Ketiga, dari sisi pendanaan, skema hibah dan subsidi penuh pada sebagian besar program biogas pemerintah kontraproduktif bagi skema semikomersial dari program biogas LSM. Banyak masyarakat tidak mau membeli reaktor biogas dari LSM karena cenderung menunggu hibah gratis dari pemerintah.

Untuk memperbaiki itu semua, perlu dilakukan koordinasi dan kerja sama banyak pihak. Penelitian dari Wageningen University menunjukkan bahwa peningkatan kerja sama lintas lembaga di Indonesia selama 2010-2016 meningkatkan jumlah sebaran reaktor biogas, dari dari 16 ribu menjadi 37 ribu reaktor. Perluasan kerja sama tersebut menggunakan pendekatan tata kelola polisentris, yakni program biogas LSM berkolaborasi dengan pemerintah, swasta, kelompok petani, dan lembaga keuangan.

Kesuksesan pendekatan ini sayangnya tidak dilanjutkan pemerintah. Tahun 2017, kebijakan Satu Data membuat program-program biogas dipusatkan ke Kementerian ESDM. Hal ini menurunkan intensitas kerja sama banyak pihak dan mengurangi capaian sebaran reaktor biogas menjadi 36 ribu. Kebijakan sentralisasi ini perlu dikaji ulang. Desentralisasi melalui pendekatan banyak pihak penting untuk mendorong distribusi sumber daya otoritas, keuangan, dan keahlian tentang biogas. Dari sisi pembiayaan, pada 2019, biogas tidak masuk ke perencanaan DAK. Hal ini semakin mengancam optimalisasi penyebaran biogas. Pemerintah perlu memikirkan solusi pendanaan lain di luar skema hibah, seperti kerjasama lebih intensif dengan program biogas dari LSM. Hal ini dapat mendukung sektor bisnis pengembangan teknologi biogas sehingga nanti tidak bergantung pada APBN.

Regulasi juga diperlukan untuk memperkuat dorongan menggunakan biogas. Pemerintah bisa mempertimbangkan untuk mengurangi atau memindahkan subsidi elpiji ke biogas, khususnya di daerah yang memiliki potensi limbah pertanian.


Daftar Pustaka

Budiman, I (2019). Fragmented biogas governance in Indonesia. Wageningen University and Research.

https://fapet.ugm.ac.id/new/id/potensi-ekonomi-kotoran-sapi-rp-643-triliuntahun/

https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/10/1364/persentase-rumah-tangga-menurut-provinsi-dan-bahan-bakar-utama-untuk-memasak-tahun-2001-2007-2016.html

https://m.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180425101643-282-293362/riset-24-persen-sampah-di-indonesia-masih-tak-terkelola

https://kompas.id/baca/utama/2018/11/21/pemanfaatan-biogas-masih-minim/

http://www.ije-pyc.org/index.php/IJE/article/view/25

https://europa.eu/capacity4dev/file/65246/download?token=qLcM4dPk