Latar Belakang

Perhutanan sosial merupakan salah satu skema yang ditawarkan negara untuk menangani konflik tenurial pada kawasan hutan. Melalui skema ini, para pihak yang berkonflik akan dapat memperoleh penguatan hak akses terhadap sumber daya hutan melalui hak komunal/adat, hak pengelolaan, izin pemanfaatan, dan/atau perjanjian kemitraan. Pemerintahan Presiden Jokowi dengan Nawacitanya sejak semula mencoba memposisikan masyarakat desa dan kelompok masyarakat di sekitar hutan sebagai pelaku penting dalam skema pembangunan nasional yang berkelanjutan. Hal ini diwujudkan dalam RPJMN 2014-2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar untuk masyarakat.

Untuk mewujudkan terealisasikannya 12,7 juta hektar areal perhutanan sosial sekaligus menangani resolusi konflik, tentu dibutuhkan data dan informasi geospasial yang handal, berkualitas dan terintegrasi serta fasilitasi kelembagaan. Salah satu contoh inisiatif akselerasi realisasi perhutanan sosial adalah Inisiatif Satu Peta Tingkat Tapak, yakni sebuah gerakan yang bertujuan menghadirkan proses dan cara baru yang inklusif, akuntabel, dan transparan dalam tata laksana penggunaan lahan di daerah guna menuju pemanfaatan lahan yang lebih produktif dan lestari, termasuk di dalamnya lewat skema perhutanan sosial. Inisiatif Satu Peta Tingkat Tapak dirancang sebagai usaha kolaboratif para pihak untuk mempercepat pengembangan database informasi geospasial yang terpadu, akurat, resmi, dan mutakhir yang diharapkan dapat menjadi dasar upaya manajemen konflik maupun perencanaan tata guna lahan yang lebih lestari di beberapa provinsi target. Melalui inisiatif ini, diharapkan operasionalisasi Kebijakan Satu Peta dapat menyertakan dimensi sosial termasuk hak-hak masyarakat di tingkat tapak untuk mencapai Satu Peta yang menjadi rujukan bagi semua pihak.

Pembelajaran dari Inisiatif Satu Peta Tingkat Tapak hanyalah sekelumit dari sekian banyak pembelajaran yang didapat di lapangan terkait dengan berbagai upaya yang didorong para pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil dan lembaga-lembaga mediasi didalam memfasilitasi resolusi dan transformasi konflik di Indonesia. Strategi, pendekatan, metodologi serta capaian yang beragam menjadi pengalaman yang sangat kaya untuk mendapatkan pembelajaran bagaimana kehadiran negara di dalam penanganan konflik tenurial kawasan hutan dengan pendekatan non litigasi. Oleh karena itu WRI Indonesia, ICRAF, Imparsial Mediator Network (IMN) dan Working Group Tenure mendorong Saresehan dengan tema “Saatnya Rakyat Bicara : Inisiatif Satu Peta Tingkat Tapak Sebagai Alternatif Resolusi Konflik Tenurial di Wilayah Hutan”.

Tujuan Pelaksanaan Saresehan

  • Mengumpulkan pembelajaran yang telah dilakukan oleh para pihak baik dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Organisasi masyarakat Sipil dan Lembaga-lembaga mediasi di dalam memfasilitasi resolusi dan transformasi konflik di Indonesia;

  • Mempertemukan dan membangun dialog antara aktor-aktor kunci terkait dengan resolusi dan transformasi konflik di Indonesia khususnya masyarakat sebagai aktor utama dengan para pihak baik Pemerintah, organisasi non pemerintah yang memfasilitasi resolusi konflik, pelaku usaha dan pihak lainnya; dan

  • Memperkaya pengetahuan dan pengalaman para pihak di dalam isu resolusi dan transformasi konflik di Indonesia.