Oleh: Dwiki Ridhwan, GIS Regional Riau

Aku berkesempatan menjelajahi salah satu Kawasan Hutan di Riau. Terlepas dari kata hutan dalam terminologinya, sejauh mata memandang yang kulihat selalu kelapa sawit.

Sebenarnya tidak selalu sawit, masih ada hutan tersisa kurang dari 30 persen. Tugasku kala itu ialah survey biofisik di daerah 30 persen tersebut melalui sampling data di beberapa titik. Sebelum mengambil data, aku dan rekan-rekan di lapangan perlu mencari hutan tersisa tersebut melalui peta kontur dilengkapi citra satelit.

Kenyataannya, banyak hutan dalam peta merupakan lahan kelapa sawit yang baru ditanam, semak sisa pembakaran, atau hutan yang baru ditebang. Aku tidak mengatakan peta itu salah, tetapi perlu pembaruan lebih intensif agar sesuai dengan keadaan aktual lapangan. Maklum, peta yang kugunakan menggunakan citra satelit pada Desember 2017, sedangkan aku turun ke lapangan pada Desember 2018 dan Maret 2019.

Di peta masih hutan, di lapangan ternyata hutannya baru ditebang. Kredit foto: Dwiki Ridhwan/WRI Indonesia

Dalam kurun waktu tersebut, aktivitas manusia mengakibatkan perubahan tutupan lahan pada peta, atau dalam kenyataannya merupakan perubahan kondisi lapangan. Dari sekian banyak titik yang kukunjungi, dalam tulisan ini kucoba klasifikasi temuanku berdasarkan dua titik sampling yang representatif. Titik A berada di hutan yang terganggu sedangkan Titik B relatif tidak terganggu.

Titik A: Dia yang akan segera pergi

Suara bising terdengar dari jarak kira-kira 500 m dari tempatku berdiri. Sepertinya itu suara mesin gergaji yang sedang memotong batang sebuah pohon. Suara dari pohon rebah pun terdengar menggelegar setelah raung mesin berhenti.

Aktivitas penebangan kayu tersebut bukanlah aktivitas yang diperkenankan secara hukum karena dapat dikategorikan sebagai Penebangan Liar di atas lahan berstatus kawasan Hutan Lindung bernama Bukit Suligi.

Hal menarik lainnya di Titik A ini adalah akses yang relatif mudah karena tersedianya jalan setapak yang dikerjakan secara ‘gotong royong’ oleh para pembalak kayu. Jalan setapak dalam hutan ini sudah menyebar hingga mencapai 350 km membelah Hutan Lindung.

Untuk mencapai hutan yang dimaksud, kami pasti menghadapi para pembalak kayu. Aku heran ketika si pembalak justru ramah. Mereka menawarkan kopi dan tempat istirahatnya yang disusun dari terpal dan kayu-kayu kecil hasil tebangannya, bahkan membantu pengambilan data tanpa mau dibayar. Salah satu di antaranya pernah menyampaikan:

"Itulah… siapo lah ndak obe kegiatan ko melanggar hukum, tapi bakpolah artinyo untuak mencari makan.”

(Ya.. siapa yang tidak tahu kegiatan kami melanggar hukum, tapi apa artinya itu untuk mencari makan.)

Titik B: Dia yang masih ada, suatu saat nanti mungkin pergi

Titik kedua ialah Hutan Lindung bernama Rokan yang berjarak lebih dari 50 km dari titik sebelumnya. Titik ini terpencil dan termasuk dalam golongan Hutan Primer. Kami memerlukan mobil gardan ganda selama satu hari satu malam, motor trail, pongpong (perahu lokal), dan berjalan kaki dua hari satu malam untuk mencapai area ini lantaran akses belum ‘manusiawi’. Ini sesuai dengan ekspektasi orang awam mengenai hutan rimba, kontras dengan hutan di Titik A.

Meski demikian, lelahnya raga tergantikan dengan rasa tentram dan teduh di bawah kanopi hutan ini, tanpa sinyal telepon genggam dan diiringi lantunan irama alam. Sensasinya berbeda dengan sekadar mendaki gunung-gunung yang sudah dikenal sebagai objek wisata.

Memancing ikan untuk cadangan makan malam.Kredit foto: Dwiki Ridhwan/WRI Indonesia

Entah kenapa, hutan terpencil ini ada sugesti sunyi yang lebih senyap, gelap malam lebih pekat dan sedikit ‘mencekam’. Untuk bermalam, kami perlu mendirikan terpal, menyusun 'tembok’ dari dedaunan lebar, dan turun ke lembah mengambil air. Warga lokal yang mendampingi kami menyarankan agar tidak ambil air di malam hari karena bisa saja giliran Datuk (harimau) minum.

Boleh berasumsi bahwa akses sulit membuat hutan terjaga. Ada pula yang percaya bahwa hutan ini angker sehingga tidak ada yang berani ‘masuk’.

Pemandangan dari titik pengambilan data di Hutan Primer. Kredit foto: Dwiki Ridhwan/WRI Indonesia

Ternyata oh ternyata, pembalak mulai ada baru-baru ini. Kami menemui mereka tepat di pinggir hutan di Titik B. Ketika kami permisi lewat, pembalak tersebut agak segan, meski akhirnya berhasil disampaikan bahwa kami hanya bermaksud mengambil data, bukan menangkap mereka.

Pembalak yang mulai memasuki pinggiran Hutan Primer. Kredit foto: Dwiki Ridhwan/WRI Indonesia

Apa benang merah dari 2 titik ini?

Perbedaan perilaku pembalak di Titik A dan B ini menarik. Titik A yang mengalami deforestasi sejak tahun 1999 (menurut citra satelit) mungkin membuat pembalak terbiasa melakukan kegiatan ilegal yang tak kunjung ditindaklanjuti. Sementara Titik B bisa dikatakan pembalaknya masih pemain baru sehingga masih waspada.

Dari kedua titik ini aku belajar artinya ironi;

Ironi ialah ketika hutan yang kami data mungkin akan segera pergi menghilang. Satu titik sampling yang tergolong Titik A dipastikan hilang hutannya, smeentara titik lainnya mungkin sebentar lagi. Titik B kelilhatan baik-baik saja, setidaknya sekarang. Mungkin hutan di titik-titik lainnya sudah hilang ketika saya menulis ini, atau ketika Anda membaca tulisan ini.

Seluruh data yang diperoleh kemudian diproses untuk penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan yang baru disusun oleh pengelolanya setelah sekian lama. Jika hutan yang kami data itu sudah hilang, apakah yang kami kerjakan sia-sia? Bisa jadi ya, bisa juga tidak.

Untuk memahami hutan diperlukan pendekatan panjang, lagi berliku. Perjalanan ini semakin sulit lantaran peta yang ada tidak lagi sesuai dengan keadaan lapangan, dan keterjangkauan hutan yang sulit. Namun, kegigihan ini tak sia-sia karena ketika berada di dalamnya, dengan bantuan dari pendekatan ilmiah, kudapat memahami dengan baik segala potensi dan permasalahan yang dialami hutan. Namun, tepat pada saat ini dia bisa jadi telah menghilang.

Aku merasa beruntung pernah coba dekati hutan, terutama yang dapat meneduhkan dan menentramkan hati (hutan primer), yang mungkin orang lain tidak akan pernah bisa. Bagi yang penasaran, cobalah berani dekatinya, sebelum terlambat.