"Kok Pakai Baju Merah Muda?"

"Nggak boleh nangis, cengeng!

"Kok bawel, laki bukan?"

"Kapan punya anak?"

"Kapan menikah?"

"Kok nggak pernah pake rok dan nggak pernah dandan?"

Kalimat demi kalimat yang terpampang di papan tulis kaca sebelah kanan pada pagi itu membuat nafas saya sedikit sesak. Sulit juga melangkah dengan rongrongan berbagai pertanyaan dan komentar macam itu.

Hari itu adalah hari pertama dari rangkaian pelatihan gender wajib bagi seluruh karyawan WRI Indonesia untuk memastikan kami semua punya pemahaman yang tidak sekadar diatas kertas terkait gender. Beruntungnya kami dapat bantuan sukarela dari seorang ahli gender yang amat berpengalaman, Prof. Leslie Dwyer.

Bicara gender, seringkali pikiran kita - setidaknya saya sendiri - secara otomatis akan mengaitkan dengan perempuan dan kesetaraan hak yang perlu ditegakkan. Hari itu saya belajar membenahi cara pikir, mulai dari prinsip dasar perbedaan antara istilah seks dan gender. Istilah seks digunakan untuk merujuk profil biologis seseorang - umumnya berkaitan dengan alat kelaminnya. Sedangkan istilah gender mengacu pada sikap dan perilaku yang dikaitkan dengan jenis kelamin tertentu. Contohnya, anggapan bahwa lelaki harus maskulin, tidak boleh cengeng dan perempuan harus feminin dan berdandan ayu.

Konsep dan pendekatan yang digunakan untuk pelatihan kali ini memang unik. Papan tulis tadi contohnya, dia meminta semua karyawan perempuan dan karyawan lelaki untuk menuliskan berbagai komentar terkait gender yang pernah mampir di telinga masing-masing. Perempuan di papan kiri dan lelaki di papan kanan.

Lalu dada kami sesak semua.

Begitu banyak harapan perilaku yang dikaitkan dengan jenis kelamin. Tidak boleh ini dan harus itu.

Mata kami makin terbelalak ketika berbagai fakta diungkap tentang tingkat bunuh diri anak lelaki muda di Amerika amat tinggi karena depresi akibat tekanan untuk anak lelaki yang harus berani, tidak boleh mengeluh dan tidak boleh cengeng. Lebih kaget lagi melihat statistik di Indonesia yang menunjukkan cukup banyak perempuan yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang lumrah kalau istri tidak 'menurut' pada suami.

Di akhir materi sebuah video pendek menjadi angin sejuk yang menunjukkan pada kami bahwa nilai tradisional Indonesia sesungguhnya amat menjunjung kesetaraan gender secara nyata. Video itu berkisah tentang filosofi suku Bugis, Sulawesi Selatan. Suku Bugis mayoritas beragama Islam dan tetap menjaga kearifan lokal dan ritual tradisional. Dalam Suku Bugis diakui lima jenis gender yaitu Makkunrai (perempuan), Oroane (Lelaki), Calabai (Lelaki yang 'feminin'), Calalai (perempuan yang 'maskulin'), dan Bissu (meta-gender yang merupakan kombinasi dari empat gender lainnya). Dijelaskan bahwa Suku Bugis meyakini bahwa seluruh gender harus mendapatkan hak yang sama dan dilindungi untuk memastikan keseimbangan alam terjaga.

Bersama kami juga mulai belajar mengenali cara berpikir yang sensitif terhadap gender. Lagi-lagi pendekatan yang digunakan amat kena di pikiran dan hati. Kami diminta menggunakan pendekatan 'Theatre of the Oppressed' untuk mengenali prinsip dasar gender. Bergantian kami menjadi patung hidup dan saling mengarahkan untuk memeragakan berbagai kata sifat seperti 'power' atau kekuatan dan 'submission' atau menyerah. Betapa kagetnya kami ketika menyadari bahwa mulanya pose patung 'power' hampir seluruhnya mencerminkan ciri maskulin dengan posisi tubuh layaknya seperti binaraga. Tampak seluruh ruangan manggut-manggut saat Prof. Leslie menjelaskan dan kesempatan berikutnya kami mencoba lebih sensitif dengan gender pada saat memilih pose patung.

Selanjutnya, kami diajak menggunakan pola pikir 'tercerahkan' ini untuk melihat kembali rancangan program kami. Tentunya banyak ide baru yang muncul untuk pengembangan program yang lebih sensitif pada gender. Salah satu contoh adalah program komoditas berkelanjutan dengan fokus pekebun swadaya yang punya ide untuk menggabungkan komponen analisa penggunaan pendapatan dari perspektif perempuan. Perempuan umumnya mengambil keputusan dalam alokasi anggaran rumah tangga sehingga biasanya lebih paham berapa besaran yang digunakan untuk kepentingan perkebunan dan berapa besaran yang digunakan untuk kepentingan rumah tangga. Dari situ, program bisa memperhitungkan dengan lebih akurat terkait daya beli dan bahkan insentif yang diharapkan pada saat mendorong perkebunan pekebun swadaya untuk lebih lestari.

Hari-hari saya bersama WRI Indonesia sejak Oktober tahun lalu memang unik dengan pengalaman baru yang tidak terduga dan selalu penuh warna.

Satu hal yang pasti, semua orang disini boleh memakai baju warna merah muda.

Kapanpun ia mau.