Oleh Hendrika Tiarma Wulandari Samosir, peneliti Wahana Riset Indonesia.

Kali ini saya berkesempatan mendatangi Desa Tandun, Kabupaten Rokan Hulu, Riau untuk melakukan preliminary assessment terkait dengan tata kelola lahan di wilayah ini.

Mencari informasi awal dengan waktu yang cukup singkat menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti di lapangan, dan yang lebih menantang adalah bagaimana menemukan cara yang menyenangkan untuk mendapatkan informasi dan data sehingga penelitian tidak terkesan monoton dan membosankan. Transek desa dapat menjadi jawaban.

Transek desa adalah metode untuk mengamati secara langsung lingkungan dan sumber daya dengan berjalan menelusuri wilayah atau kawasan tertentu menggunakan pola lintasan yang disepakati. Metode ini dapat digunakan untuk beragam topik, dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran terkait penggunaan lahan, jenis tanaman, status kepemilikan lahan hingga permasalahan terkait dengan lahan.

Blusukan Pertama

Untuk mempermudah proses transek desa, Thowi dan saya ditemani oleh Bapak I dan Bapak E yang merupakan warga desa setempat dengan kisaran usia 35 hingga 40 tahun. Pertimbangan usia dan jenis kelamin sangat penting karena akan mempengaruhi informasi yang akan mereka berikan. Hal pertama yang harus disepakati adalah jalur yang akan ditempuh. Kali ini kami memilih untuk memulainya dari jalan utama kabupaten kemudian menuju jalan desa yang berujung pada PTPN V. Dari jalan kabupaten hingga jalan desa, pemandangan kebun kelapa sawit tidak dapat lepas dari pelupuk mata, entah sawit dengan jarak tanam yang rapih maupun sawit dengan jarak tanam yang tidak teratur. “Biasanya yang teratur itu lahan milik perusahaan atau lahan plasma” ujar Pak E.

Ketika berjalan, kami melihat sepasang suami istri yang tengah mengumpulkan brondolan buah sawit. Sang Ibu, yang saya sebut sebagai Ibu A, ternyata juga merupakan penjaga di kebun ini.

Suami Ibu A yang sedang istirahat di atas karung isi brondolan sawit. Foto oleh Hendrika Tiarma Wulandari Samosir.

Kesan pertama yang saya dapatkan, lahan ini memiliki jarak tanam yang cukup rapih dan teratur. Ternyata pengalaman bekerja di perkebunan dan perusahaan sebelumnya telah mengajarkan Ibu A untuk bertani kelapa sawit termasuk, melakukan pembibitan, cara tanam, memupuk, hingga memanen.

Ketika meneruskan perjalanan, kami menemukan gubuk yang cukup ramai. Lahan dan gubuk ini milik Ibu M. Berbeda dengan lahan yang sebelumnya, lahan milik Ibu M cenderung tidak teratur banyak tanaman yang disisipkan di antara pohon sawit. Saat berbincang, kami disuguhi aktivitas langsir yang dilakukan oleh salah satu kerabat Ibu M. Dari aktivitas langsir ini, saya bisa mendapatkan informasi mengenai jumlah buah dalam sekali panen, harga sawit, hingga hama yang paling ditakuti oleh petani.

Kerabat Ibu M sedang melangsir hasil panen sawit. Foto oleh Hendrika Tiarma Wulandari Samosir.

Kami meneruskan perjalanan menuju Sungai Tapung.

Jalan Desa menuju Sungai Tapung. Foto oleh Hendrika Tiarma Wulandari Samosir.

Sesampainya di Sungai Tapung, terdapat aktivitas penambangan pasir tradisional. Ternyata masyarakat di wilayah ini berupaya memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di sekitaran desa.

Perempuan melakukan penambangan pasir tradisional. Foto oleh Hendrika Tiarma Wulandari Samosir.

Sungai Tapung. Foto oleh Hendrika Tiarma Wulandari Samosir.

Lokasi Penambangan Pasir Tradisional. Foto oleh Hendrika Tiarma Wulandari Samosir.

Transek desa kami lanjutkan menuju kawasan PTPN V untuk melihat bagaimana wilayah perkebunan sawit milik perusahaan.

Blusukan Kedua

Perjalanan menuju Kawasan Hutan Lindung Bukit Suligi. Foto oleh Hendrika Tiarma Wulandari Samosir.

Pada hari selanjutnya, kami menentukan rute yang berbeda dari hari yang sebelumnya. Rute kali ini akan berawal dari jalan kabupaten kemudian Desa Kumain dan Kawasan Hutan Lindung Bukit Suligi. Rute ini cukup jauh sehingga kami memutuskan menggunakan sepeda motor dan ditemani dengan tiga warga desa Pak Z, Pak W, dan Pak E. Selama perjalanan, Pak Z menjelaskan siapa saja pemilik lahan yang kami lewati. Ketika memasuki Desa Kumain yang sebagian besar merupakan lahan plasma perusahaan, pokok kelapa sawit tertata rapi dan teratur serta kebun yang bersih, berbeda dengan yang dihasilkan oleh pekebun swadaya.

Perkebunan Plasma PTPN V. Foto oleh Hendrika Tiarma Wulandari Samosir.

Salah satu hasil panen Lahan Plasma. Foto oleh Hendrika Tiarma Wulandari Samosir.

Selain itu kami juga melihat bagaimana masyarakat menggunakan tangkos atau tangkai kosong sawit untuk dijadikan pupuk.

Tangkos yang dijadikan masyarakat sebagai pupuk. Foto oleh Hendrika Tiarma Wulandari Samosir.

Sekitar empat puluh lima menit kami berjalan, akhirnya sampai di perbatasan Kawasan Hutan Lindung Bukit Suligi dengan lahan masyarakat. Saya. tidak mengetahui dimana batas hutan lindung tersebut, sebab sama sekali tidak ada patok atau pengumuman bahwa ini merupakan kawasan hutan lindung.

Pak W mengatakan bahwa dahulu hutan ini masih lebat dan air yang ada dalam hutan masih dapat diminum langsung. Saat ini, warga tidak berani meminum air di hutan karena khawatir akan pencemaran air dari unsur kimia pupuk dan racun rumput. Perjalanan kami mengarah ke suara gemuruh air terjun kecil yang berada di dalam hutan lindung.

Sungai Kukun di dalam Hutan Lindung Bukit Suligi. Foto oleh Hendrika Tiarma Wulandari Samosir.

Ketika sudah sampai di lokasi air terjun, kami kesulitan berjalan karena keberadaan kayu-kayu besar yang malang melintang di antara bebatuan. Menurut Pak W, biasanya orang di atas akan menggunakan aliran air ini untuk menghanyutkan kayu dari hulu sungai ini.

Kayu-kayu besar yang menghalangi aliran Sungai Kukun. Foto oleh Hendrika Tiarma Wulandari Samosir.

Menyebrangi Sungai Kukun di Hutan Lindung Bukit Suligi. Foto olehThontowi Suhada.

Metode transek desa yang kami lakukan belum cukup sempurna, dibutuhkan perbaikan lebih lanjut ketika kami datang ke desa ini. Pada kesempatan berikutnya, transek desa yang dilakukan akan berusaha mengikutsertakan kelompok lain seperti kelompok perempuan, pemuda, dan masyarakat adat.

Mengajak warga sekitar untuk melakukan transek desa sangat menguntungkan, selain dapat menjadi informan bagi peneliti, masyarakat setempat juga mampu menjadi penunjuk arah bagi peneliti yang tidak mengetahui situasi dan kondisi wilayah desa. Hubungan kepercayaan juga dapat dibangun menggunakan metode ini agar informasi yang diberikan dapat diutarakan tanpa rasa cemas dan khawatir. Metode ini memberikan ruang belajar bagi diri kita untuk lebih peka terhadap situasi sekitar dan yang lebih penting, saya belajar untuk menjadi pendengar yang baik sebab penelitian tidak melulu soal pulpen dan kertas.