Oleh Anindita Prabawati, Peneliti Muda WRI Indonesia.

Sebagai peneliti, saya mengetahui beberapa intervensi sosial yang dibuat oleh lembaga riset atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ketidakberhasilan ini biasanya disebabkan oleh niat baik yang tidak dilandasi dengan pengertian mendalam tentang interaksi, kebutuhan, dan struktur sosial masyarakat yang ingin kita bantu. Terkadang kita meluangkan sedikit waktu untuk menelaah masalah dan tergesa-gesa untuk langsung memberikan solusi. Untuk menghindari kecenderungan tersebut, WRI Indonesia mendedikasikan sumber daya manusia dan waktu untuk mengerti kebutuhan masyarakat dan masalah sosial yang ingin kita pecahkan. Saat ini WRI Indonesia sedang mempertimbangkan untuk mengembangkan aplikasi pelaporan kebakaran hutan dan lahan gambut (karhutla) serta pengumpulan data tentang restorasi gambut.

Tentunya para LSM, termasuk WRI Indonesia telah mempunyai asumsi tentang teknologi yang dianggap baik untuk mengentaskan masalah karhutla. Namun, apakah itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat? Untuk menjawab hal tersebut, WRI Indonesia bersama dengan beberapa konsultan mengadakan kajian kebutuhan (Need Assessment) untuk mengetahui kondisi kebutuhan masyarakat terhadap aplikasi tersebut. Beruntungnya, saya menjadi bagian dari tim yang ditugaskan dalam kajian awal ini. Kajian kebutuhan dilaksanakan di desa Bangsal dan Belanti, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan pada 7-13 Mei 2018. Dua desa ini dipilih karena lokasinya di dalam kesatuan hidrologis gambut (KHG) dan pernah terdampak kebakaran hebat tahun 2015. Selama satu minggu ini, saya belajar bagaimana menggali informasi mengenai realita di tingkat tapak dan kondisi ideal yang diharapkan dalam upaya pemantauan restorasi gambut dan penanggulangan kebakaran hutan.

Dari masyarakat di dua desa yang kami temui, ada perbedaan yang cukup signifikan dan bertentangan dari asumsi kami. Sebelumnya, kami berasumsi bahwa desa yang tidak berdekatan dengan lokasi karhutla tahun 2015 tidak akan terlalu merasakan dampak kebakaran dibanding dengan desa yang lebih dekat dengan titik api. Namun, ternyata asumsi kami terbalik. Kami menemukan fakta bahwa justru masyarakat di desa yang jauh dari lokasi kebakaran merasakan dampak kebakaran dari kabut asap yang terbawa angin, hingga mereka harus mengenakan masker yang dibagikan secara gratis oleh bidan desa. Sebaliknya, desa yang berdekatan dengan lokasi kebaran tidak mengalami kabut asap. Bahkan, tidak semua masyarakat mengetahui bahwa di dekat tempat tinggal mereka sedang atau telah terjadi kebakaran.

Dari pengamatan ini, kami menyimpulkan bahwa informasi mengenai karhutla 2015 belum tersebar merata di masyarakat. Masyarakat memerlukan informasi mengenai kebakaran yang terjadi di sekitar mereka dengan tepat. Selain itu, penting bagi masyarakat untuk dapat melaporkan karhutla melalui media atau aplikasi yang efektif. Pelaporan dari masyarakat diperlukan agar mendapat tanggapan dan/ atau tindakan dari pihak terkait dengan tepat dan cepat. Persebaran informasi dan pemahaman akan tindakan yang harus dilakukan saat terjadi karhutla juga menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan restorasi gambut dan penanggulangan karhutla di tingkat tapak.

Kami menemui berbagai informasi, termasuk yang tidak secara langsung menjadi fokus utama dari kajian kami. Tetapi, data dan informasi yang terus bertambah memiliki keterkaitan satu-sama lain. Benang merah penghubung data dan informasi yang terus berkembang ini menjadi pengetahuan baru, khususnya bagi saya. Benang merah yang saya maksud adalah pola-pola yang menunjukkan gambaran umum dan kebutuhan masyarakat. Misalnya, mobilitas sehari-hari akan diceritakan secara rinci oleh partisipan penelitian walau sekilas tidak nampak keterkaitannya dengan kebutuhan aplikasi pelaporan kebakaran. Namun, ternyata informasi tentang mobilisasi sehari-hari, kita dapat mengetahui intensitas masyarakat dalam menggunakan aplikasi di telepon pintar mereka. Selain itu, kita dapat mengetahui bagaimana mereka menggunakan telepon pintar mereka saat terjadi karhutla.

Para peneliti sedang mengajak seorang warga untuk mencoba aplikasi pelaporan langsung di lapangan. Kredit foto: Penulis.

Melalui kajian kebutuhan ini, rekan-rekan banyak mengajari saya hal-hal teknis yang sangat berguna dalam pengambilan data, dokumentasi, dan analisis. Saya juga dapat berkontribusi pada proses sintesis data yang diperoleh. Proses sintesis ini sangat penting untuk melepaskan diri dari belenggu asumsi pribadi. Proses ini mengajarkan saya membangun dialog komprehensif, mendiskusikan temuan-temuan yang diperoleh, mempelajari, dan memperluas sudut pandang untuk temuan kami. Sebagai peneliti muda, saya masih sering terpaku pada asumsi awal yang terlanjur terbentuk sebelum penelitian dimulai. Asumsi ini dapat membiaskan data karena data yang diperoleh akan dikaitkan dengan asumsi pribadi. Inilah saat untuk saya belajar bahwa menjadi peneliti berarti harus memahami bahwa kondisi di setiap tempat berbeda. Terutama, kondisi dan kebutuhan masyarakatnya.

Ternyata menjadi peneliti tidak hanya perlu memiliki kemampuan mengumpulkan dan merangkai data serta informasi menjadi pengetahuan, tetapi juga harus dapat mengolah ego. “Ego peneliti” menjadi tantangan kedua bagi saya. Saat fakta yang ditemui benar-benar berbeda dari asumsi awal, bagaimana saya dapat rendah diri dan mengakui bahwa saya salah? Penyerahan diri terhadap fakta berarti sama dengan menghancurkan asumsi pribadi. Dengan pengolahan ego yang baik, peneliti dapat berpegang teguh pada pengetahuan dan kebaikan untuk semua, tidak hanya bagi diri peneliti, tetapi juga masyarakat sebagai subjek dinamis.

Pengalaman ini mengingatkan saya pada nasihat yang pernah diberikan oleh bapak Bambang Setiadi, Ketua Dewan Riset Nasional, pada waktu pertama kali saya diterima sebagai Peneliti Muda Wahana Riset Indonesia di WRI Indonesia. “Peneliti boleh salah, tetapi tidak boleh bohong,” ujar beliau pada saat itu. Nasihat ini saya tanam terus dalam diri saya sebagai bekal belajar dan berkarya.