Oleh Rakhmat Hidayat

Salah satu prinsip dalam melaksanakan kegiatan penelitian lapangan adalah memahami budaya setempat. Hal ini perlu setidaknya untuk memberikan konteks atas obyek amatan penelitian dan mengakrabkan peneliti dengan masyarakat tempatan untuk membuka ruang inkuiri yang lebih luas.

Melaksanakan kegiatan lapangan dalam inisiatif Satu Peta di Tingkatan Tapak di Riau sungguh menarik ketika dihadapkan pada budaya Melayu masyarakatnya yang sangat kental. Tim WRI Indonesia di Riau saat ini bekerja pada dua wilayah fokus yaitu Desa Batu Sanggan dan Desa Gajah Bertalut di Kabupaten Kampar.

Dalam berbagai forum pertemuan dengan masyarakat setempat yang terhimpun dalam masyarakat adat Kekalifahan Batu Sanggan, kegiatan berbalas pantun adalah sarana untuk mendekatkan peneliti secara kultural dengan masyarakat untuk membangun kepercayaan, keakraban dan membuka ruang inkuiri dan observasi yang lebih luas. Bahkan saat musyawarah dikampung dan terkadang bisa “macet”, para Ninik Mamak selalu berpegang pada pepatah “bulek air dek pembuluh, bulek kato dek mufakat”, atau kusuik bulu paruh nan manyalasaikan, kususik banang cari ujung pangkalnyo, kusuik sarang tampui api nan manyalasaikan” yang menggambarkan pentingnya musyawarah untuk mufakat serta berbagai pilihan strategi untuk menyelesaikan masalah. Bahkan untuk penandaan batas wilayah, masyarakat juga memakai pepatah “air berkecucuran dan tanah berketelengan”.

Saya diberi amanat untuk memandu tim WRI Indonesia di Riau. Saya adalah warga Sumatera yang sangat akrab dengan budaya Melayu, termasuk berpantun. Saya biasanya berpantun ketika bertemu dengan masyarakat pada pertemuan-pertemuan untuk menghimpun data, informasi, pengetahuan, juga menggalang kerjasama dan berbagi rasa. Simak pantun berikut ini yang saya sampaikan pada penghujung pertemuan antara Tim WRI Indonesia dengan masyarakat Desa Batu Sanggan beserta Kepala Desa, ninik-mamak, Datuk Pucuak, Datuk Kalifah Batu Sanggan, dan tetua lainnya:

Mambali balam di Kuala Tungkal

Ke Pekanbaru membeli ragi

Sedihlah sedih sanak yang tinggal

Lebih rindu kami yang pergi

Kalau tuan pai ka ladang

Jangan lupa ambil melati

Bila masa kami kan datang

Ikatlah cinta didalam hati

Poi ka mudiak naiklah sampan

Memetik mawar terkena duri

Salam hormat untuk sanak famili di Sanggan

Terima kasih banyak dari WRI

Kedekatan para peneliti dan masyarakat setempat adalah kunci untuk dapat secara sensitif mengenali isu-isu terkait dengan penyatuan-peta, pengumpulan fakta dan transformasi konflik atas ruang dan tapak. Memang benar terasa ‘lebih rindu kami yang pergi’ walaupun para peneliti pasti akan kembali ke lapangan di Desa Batu Sanggan untuk meneruskan kegiatannya.