You can also read this blog in English.

Hutan gambut, atau lahan basah, adalah beberapa ekosistem paling penting bagi Indonesia dan perubahan iklim. Indonesia merupakan rumah bagi lahan gambut tropis terbesar di dunia, yang berfungsi sebagai penyerap karbon dalam jumlah besar. Pada saat yang sama, emisi karbon dari dekomposisi dan kebakaran gambut berkontribusi sebesar 42 persen dari total emisi Indonesia, dan kebakaran gambut pada tahun 2015 telah menggeser posisi Indonesia dari peringkat keenam ke peringkat keempat sebagai produsen karbon terbesar di dunia.

Walaupun lahan gambut di Indonesia memegang peranan penting dalam mengontrol emisi, kita memiliki pemahaman yang tidak memadai tentang gambut. Informasi yang tersedia tentang luasan, ketebalan, dan bagaimana gambut berubah dari waktu ke waktu seringkali tidak akurat. Sangat penting bagi kita untuk mengetahui rincian lebih lanjut tentang gambut untuk membantu pemangku kepentingan melindungi ekosistem tersebut dan juga untuk mencapai target pengurangan emisi Indonesia.

Apa yang Tidak Kita Ketahui: Peta Lampau

Indonesia memiliki beberapa peta gambut yang diterbitkan oleh Program Perencanaan Fisik Regional untuk Transmigrasi (Regional Physical Planning Programme for Transmigration/ RePPPRoT) (1989), Wetlands International (2004), dan Kementerian Pertanian (2011). Peta yang diterbitkan oleh RePPPRoT khususnya telah dijadikan referensi oleh banyak institusi pemerintahan seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan non-pemerintahan untuk mengembangkan dan memperbaharui peta-peta mereka. Hanya saja, walaupun peta-peta tersebut mengandung informasi tentang luasan dan ketebalan gambut, peta-peta ini tidak memiliki informasi penting yang dibutuhkan untuk mengelola lahan gambut dan membatasi emisi secara tepat. Khususnya:

1. Peta-peta tersebut tidak memiliki resolusi tinggi: Peta gambut nasional yang dimiliki oleh Indonesia saat ini memiliki skala 1:250.000, yang berarti 1 sentimeter di atas peta setara dengan 2,5 kilometer di lapangan. Peta dengan skala ini dapat digunakan sebagai referensi untuk membuat perencanaan skala nasional, seperti mengembangkan peta moratorium hutan nasional yang menunjukkan wilayah-wilayah yang dekat dengan konsesi baru sebagai bagian dari rencana Presiden Joko Widodo untuk membatasi deforestasi. Namun, untuk kebijakan perencaan di skala daerah seperti pengelolaan permukaan air, kita membutuhkan peta yang lebih rinci dengan resolusi yang lebih tinggi. Peta dengan skala 1:50.ooo (1 sentimeter di peta setara dengan 500 meter di lapangan) dibutuhkan untuk perencanaan dan pengelolaan seperti ini.

2. Peta-peta tersebut tidak mengandung informasi akurat tentang ketebalan gambut. Informasi tentang ketebalan gambut sangat penting bagi pengelolaan lahan gambut, misalnya dalam menentukan wilayah mana saja yang berpotensi untuk dilestarikan dan dimanfaatkan. Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut menyatakan bahwa wilayah fungsi lindung ekosistem gambut harus ditentukan dengan keberadaan gambut dengan ketebalan 300 sentimeter atau lebih. Makin tebal gambutnya, maka makin besar pula karbon yang tersimpan. Peta-peta yang ada saat ini tidak menyediakan informasi yang akurat tentang ketebalan gambut, sehingga melemahkan upaya pengelolaan gambut dan menyulitkan pelacakan perubahan ketebalan gambut.

3. Tidak ada metodologi yang disepakati bersama untuk mengukur ketebalan gambut. Selama ini, para ilmuwan telah menggunakan penginderaan jarak jauh, radar, dan pengukuran lapangan untuk mengukur perkiraan luasan dan ketebalan gambut. Walaupun demikian, tidak ada metode yang disepakati bersama untuk mengukur gambut, khususnya untuk mengukur ketebalan gambut. Tidak adanya kesepakatan ini telah menghambat upaya untuk membuat peta yang paling bagus, tepat waktu, dan kredibel yang dapat melacak perubahan luasan dan ketebalan gambut, serta emisi karbon terkait.

Metode yang Lebih Baik untuk Memetakan Gambut

Menanggapi isu yang mendesak ini, Badan Informasi Geospasial (BIG), bekerja sama dengan WRI Indonesia dan organisasi lainnya baru-baru ini meluncurkan kompetisi Indonesian Peat Prize. Kompetisi ini mengajak para ilmuwan dari seluruh dunia untuk mengembangkan metode pemetaan luasan dan ketebalan gambut di Indonesia yang lebih akurat, cepat, dan ilmiah. Pemenang kompetisi ini akan diumumkan pada musim panas 2017.

Kompetisi ini diharapkan akan menghasilkan metodologi pemetaan luasan dan ketebalan gambut di Indonesia yang transparan, kredibel, dan tanpa mengenal lokasi, yang juga akan berkontribusi pada revisi standar nasional Indonesia untuk pemetaan gambut di Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr Siti Nurbaya Bakar di sela peluncuran kompetisi, hasil dari kompetisi ini diharapkan dapat menyelesaikan ketidakpastian metodologi dan menyediakan data yang akurat yang dibutuhkan untuk mengelola lahan gambut di konteks ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dengan informasi yang akurat dan terbaru, konservasi lahan gambut dapat berkontribusi pada agenda nasional untuk mengurangi emisi karbon.