Daily life in a peatland area in Indonesia. Two thirds of this summer's forest fires appear to have been on peatland. Photo Credit: CIFOR/Flickr
Daily life in a peatland area in Indonesia. Two thirds of this summer's forest fires appear to have been on peatland. Photo Credit: CIFOR/Flickr

Postingan ini awalnya dipublikasikan di the Jakarta Post.

Sejak adanya polusi udara yang memecahkan rekor di Indonesia, Singapura, dan Malaysia, para menteri dari lima negara Asia Tenggara akan bertemu di Kuala Lumpur minggu ini untuk segera membahas pemberantasan kabut asap.

Analisis baru mengenai pola dan penyebab kebakaran di Sumatera yang mengakibatkan kabut asap menjadi permasalahan yang serius pada pembukaan pertemuan ke-15 Komite Pengarah Menteri Sub-Regional sehubungan dengan Polusi Kabut Asap Antar-Batas.

Analisis baru dari World Resources Institute (WRI), yang sudah memantau kebakaran dengan cermat sejak awal mula terjadinya, menyoroti empat tantangan utama yang bisa membantu para Menteri dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand dalam menyusun agenda.

1. Pertama, konsesi akasia dan kelapa sawit memiliki peran yang lebih signifikan dalam kebakaran dari pada yang kita bayangkan sebelumnya.

Analisis WRI menunjukkan bahwa jumlah peringatan kebakaran per hektare, dalam kata lain tingkat kepadatannya, mencapai tiga hingga empat kali lipat lebih tinggi di dalam batas kawasan konsesi akasia dan kelapa sawit dibandingkan di luar batas kawasan tersebut.

Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan dan lahan mereka memainkan peran penting dalam episode kebakaran dan kabut asap kali ini, dan mereka harus bertanggung jawab lebih untuk membantu mencegah kebakaran di masa depan.

Kesimpulan ini didasarkan pada analisis atas data peta Kementerian Kehutanan Indonesia, yang digabungkan dengan data peringatan kebakaran NASA yang diamati dari ruang angkasa.

2. Kedua, meskipun demikian, ada perbedaan yang signifikan antara peta Kementerian Kehutanan dan peta yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan.

Batas-batas izin Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan, yang tersedia bagi WRI, pada umumnya terletak di dalam dan lebih kecil daripada batas-batas konsesi yang digunakan oleh pemerintah.

Hal ini menimbulkan kebingungan terkait tanggung jawab akan kebakaran yang ditemukan di lahan-lahan yang dianggap berada di dalam wilayah konsesi namun di luar wilayah dimana perusahaan sepenuhnya memegang kendali dan secara langsung melakukan pengembangan.

3. Tiga, sekitar dua per tiga dari kebakaran muncul di lahan gambut.

Hal ini semakin meningkatkan kekhawatiran karena kebakaran pada gambut, yang kaya akan bahan organik yang mudah terbakar yang berada dalam di bawah tanah, jauh lebih serius baik dari segi kesehatan manusia maupun perspektif lingkungan, dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi pada tanah non-gambut. Kebakaran pada gambut melepaskan lebih banyak asap, kabut, polutan lain, dan gas rumah kaca. Kebakaran tersebut bisa bertahan hingga mingguan atau bahkan bulanan.

4. Empat dan yang paling penting, ada risiko yang tinggi terkait berulangnya krisis kebakaran dan kabut asap dalam beberapa bulan dan tahun ke depan.

Kebakaran yang terjadi pada bulan Juni 2013 bukanlah kejadian yang tidak biasa. Kita bisa melihat dari catatan sejarah bahwa walaupun banyak peringatan kebakaran terjadi di bulan Juni, terdapat dua periode kebakaran yang lebih parah dalam satu dekade belakangan, yaitu tahun 2005 dan 2006.

Rekor kabut asap di Singapura dan Malaysia tahun ini merupakan hasil dari perpindahan pola angin, bukan dikarenakan oleh banyaknya kebakaran hutan yang tidak biasa.

Dengan kata lain, kebakaran hutan di Indonesia merupakan bagian dari permasalahan yang sudah lama ada dan endemik – sehingga membutuhkan solusi yang terkoordinasi dan komprehensif.

Apa yang bisa dilakukan oleh para menteri untuk mengatasi tantangan-tantangan ini?

Menariknya, mereka sepertinya sudah tahu jawabannya. Menurut berita pers resmi dari pertemuan mereka yang diadakan satu setengah tahun yang lalu di Bali, mereka telah sepakat bahwa, “peta konsesi digital dengan referensi geografis” harus tersedia antar pemerintah, “untuk bisa menuntut pertanggung jawaban dari perusahaan perkebunan dan pemilik lahan,” dan bahwa negara-negara anggota harus “mengambil langkah-langkah penegakan yang memiliki efek jera dan lebih efektif terhadap para pelaku kejahatan.”

Para menteri saat ini harus melipatgandakan upaya-upaya mereka dan menyepakati langkah-langkah selanjutnya yang lebih rinci dan mendesak, disertai capaian perkembangan yang jelas yang bisa dipantau oleh masyarakat.

Tindakan yang lebih spesifik ini mencakup memprioritaskan dan mempercepat “Inisiatif Satu Peta” yang sangat strategis dari pemerintah Indonesia.

Upaya ini akan menciptakan basis data yang memiliki kewenangan untuk mengklarifikasi batas-batas wilayah konsesi dan kepemilikan lahan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, upaya Satu Peta diperkirakan membuthkan waktu tiga tahun lagi untuk selesai.

Provinsi Riau di pulau Sumatera, dimana sebagian besar kebakaran terjadi, harus diprioritaskan dan dipetakan dengan segera.

Peta-peta yang dihasilkan juga harus tersedia bagi publik dalam format digital, sehingga dapat dengan mudah digunakan untuk analisis independen dan mengawasi kebakaran dan pembukaan hutan, juga untuk mendukung penegakan hukum.

Informasi serupa juga harus disediakan oleh negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Malaysia, dimana sejumlah peringatan kebakaran besar juga terlihat di Sarawak.

Sementara itu, peta pemerintah dan perusahaan yang ada saat ini, yang belum tersedia bagi publik, harus diterbitkan.

Di sisi penegakan hukum, para menteri dari Indonesia, Singapura, dan Malaysia harus berkomitmen untuk bekerja sama melakukan investigasi terhadap kejahatan-kejahatan apapun yang kemungkinan telah dilakukan.

Meskipun ada banyak tugas kepolisian yang perlu dilakukan di Indonesia, beberapa perusahaan besar yang saat ini sedang dicurigai memiliki hubungan yang kuat dengan Singapura dan Malaysia.

Pemerintah dari negara-negara tersebut harus mencari cara untuk meminta pertanggung jawaban perusahaan atas kerusakan yang ditimbulkan terhadap rakyat mereka.

Pemerintah negara tetangga juga dapat membantu Indonesia dalam menguraikan struktur kepemilikan yang rumit dari perusahaan-perusahaan tersebut karena banyak anak perusahaan yang tampaknya terlibat.

Para pejabat di tingkat nasional dan daerah, beserta para eksekutif perusahaan dan tokoh masyarakat juga harus bekerjasama untuk mencari langkah-langkah praktis yang bisa diambil secara serempak untuk segera mengatasi konflik lahan.

Untuk saat ini, mereka juga bisa menggabungkan kemampuan pemantauan dan pemadam kebakaran agar siap untuk merespon dengan lebih cepat ketika cuaca panas dan peringatan kebakaran muncul kembali.

Sementara itu, diperlukan berbagai upaya intensif jangka panjang untuk bekerja dengan pemilik lahan setempat dan masyarakat untuk memastikan bahwa pembukaan lahan secara mekanik, ketimbang membakar, adalah sarana yang lebih tepat untuk mempersiapkan lahan pertanian, sambil secara efektif mencegah perambahan dan pembakaran ilegal terutama di lahan gambut.

Pertemuan tingkat menteri di Malaysia merupakan suatu peluang untuk membuat perkembangan pesat. Para menteri harus menyepakati rencana yang lebih pasti, yaitu data konsesi yang sudah konsisten antara lembaga pemerintah dan perusahaan dipublikasikan, tindak kriminal pembakaran hutan diperiksa dan dihukum, dan praktik-praktik pengelolaan yang lebih baik dilakukan di seluruh lahan hutan di wilayah tersebut.

Saat ini, semuanya ada di tangan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut untuk memaksa para pejabat untuk benar-benar memperhatikan masalah kebakaran, untuk memastikan bahwa seruan mendesak ini tidak diabaikan.

  • UNTUK KETERANGAN LEBIH LANJUT: Silakan baca analisis WRI sebelumnya mengenai kebakaran hutan di Indonesia di sini.