Indonesia dikenal dengan produsen utama minyak sawit (crude palm oil, CPO) global dan eksportir sawit terbesar di dunia. Sebagai salah satu komoditas ekspor andalan, industri sawit setidaknya melibatkan 16,2 juta tenaga kerja dan menyumbang sekitar 3,5% dari PDB Indonesia. Bersama dengan Malaysia, keduanya menyumbang sekitar 80% hingga 90% dari total produksi minyak sawit dunia.

Saat ini, Tiongkok merupakan salah satu tujuan ekspor terbesar minyak sawit Indonesia. Sebanyak 4,7 juta ton minyak sawit Indonesia diekspor ke Tiongkok pada 2021, 52,2% lebih banyak dari jumlah ekspor ke India sebesar 3,08 juta ton pada tahun yang sama. Hal ini membuat Tiongkok memegang posisi strategis bagi industri sawit nasional, terutama dengan kemungkinan penambahan kuota ekspor ke Tiongkok dalam jangka pendek maupun panjang. Impor minyak sawit Tiongkok diperkirakan akan meningkat menjadi 7,2 juta ton pada 2021/2022 sebagai dampak pemulihan ekonomi.

Di sisi lain, Tiongkok menunjukkan bahwa mereka sedang menyongsong industri minyak sawit yang lebih hijau. Berbagai inisiatif telah diluncurkan, seperti Aliansi Minyak Sawit Berkelanjutan Tiongkok 2018, Proposal Kebijakan Rantai Nilai Hijau dari China Council for International Cooperation of Environment and Development (CCICED) yang diajukan pada 2020 lalu, hingga pengembangan Panduan Konsumsi Minyak Sawit Berkelanjutan oleh China Chamber of Commerce of Foodstuffs and Native Produce (CFNA) pada 2022.

Dari aspek regulasi dan kebijakan, Tiongkok juga memiliki beberapa instrumen yang mendukung terciptanya industri yang berkelanjutan, seperti Fourteenth Plan Tiongkok (2021-2025) yang salah satunya membahas sistem perdagangan hijau dalam perdagangan luar negeri, peluncuran Pedoman Pembangunan Hijau Penanaman Modal Asing dan Kerja Sama, hingga target Dual Carbon Tiongkok.

Malaysia, sebagai produsen minyak sawit terbesar dan pemasok terbesar kedua bagi Tiongkok setelah Indonesia, sudah lebih dulu menerapkan pendekatan yang lebih agresif dalam mengadopsi praktik sawit berkelanjutan. Pada 2020, jumlah adopsi sertifikasi sawit berkelanjutan Malaysia, MSPO, lebih tinggi dari ISPO milik Indonesia. Sekitar 88% dari total area tanam kelapa sawit Malaysia telah tersertifikasi MSPO, sedangkan adopsi ISPO di Indonesia hanya sekitar 27%. Selain itu, melalui upaya pro-aktif Malaysia, MSPO juga sudah mendapat pengakuan dari Tiongkok. Pada tahun 2019, Malaysian Palm Oil Board (MPOB) menandatangani Nota Kesepahaman dengan China Green Food Development Center (CGFDC), yang bertujuan untuk memasukkan skema MSPO dalam sertifikasi label Makanan Hijau-nya (Green Food Label).

Cepat atau lambat, Tiongkok akan menerapkan praktik industri sawit yang berkelanjutan. Hal ini mendorong adanya langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan pemangku kepentingan industri sawit Indonesia, termasuk pemerintah untuk merespons panggilan hijau Tiongkok. Arah kebijakan Tiongkok dan pembelajaran dari promosi MSPO Malaysia dapat menjadi peluang bagi pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan minyak sawit nasional Indonesia untuk mendapatkan penerimaan yang lebih luas terhadap ISPO di tingkat internasional, dimulai dengan Tiongkok sebagai pasar ekspor terbesar.

WRI Indonesia dan Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan (Fortasbi) mengusulkan agar para pemangku kepentingan sawit nasional terlibat dalam diskusi multi-pihak untuk menanggapi situasi yang berkembang secara tepat waktu dan efektif. Forum diharapkan dapat memicu diskusi tentang pentingnya percepatan praktik sawit berkelanjutan untuk memastikan akses pasar ke Tiongkok di masa depan. Diskusi juga akan melihat berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh para pemangku kepentingan sawit Indonesia untuk mempertahankan daya saingnya di tengah meningkatnya permintaan minyak sawit berkelanjutan di Tiongkok dan seluruh dunia.

Untuk itu, Multistakeholder Workshop bertujuan untuk:

  1. Meningkatkan kesadartahuan dan keberterimaan pemangku kepentingan terkait perkembangan terkini Tiongkok dalam mendorong produk sawit berkelanjutan;
  2. Menyediakan platform untuk membahas respons yang tepat dan efektif dari pemangku kepentingan sawit nasional untuk memenuhi permintaan akan produk sawit yang lebih berkelajutan dalam rangka menjaga akses pasar ekspor minyak sawit ke Tiongkok dan seluruh dunia
  3. Membangun narasi bersama untuk memperkuat sinyal dari Tiongkok tentang perdagangan minyak sawit antara Indonesia dan Tiongkok.