This event is fully conducted in Indonesian.

Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi yang kuat telah menjadi dasar penting bagi pencapaian pembangunan Indonesia. Selama tahun 2010-2017, Indonesia telah mengalami kemajuan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional sebesar 5.5% dengan tingkat kemiskinan kurang dari 12% (BPS, 2018). Namun, bergantung pada pembangunan yang berorientasikan pertumbuhan ekonomi ekstraktif dapat membawa Indonesia berada di jalur pembangunan yang sulit untuk dipertahankan. Eksploitasi sumber daya alam secara tidak berkelanjutan hingga penggunaan energi yang tidak efisien dapat berakibat pada tingginya kerusakan lingkungan yang berujung pada menurunnya kualitas hidup masyarakat. Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu kunci dalam mewujudkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Dalam Perjanjian Internasional Paris tahun 2015, Indonesia menargetkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 sebesar 29 hingga 41% dari sektor kehutanan, pertanian, energi, industri, dan limbah. Komitmen yang tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) ini kemudian digunakan sebagai salah satu landasan dalam penyusunan strategi pembangunan rendah karbon. Pada tahun 2018, Indonesia meresmikan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) sebagai upaya untuk menerjemahkan konteks pembangunan berkelanjutan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Kontribusi daerah sangat penting dalam mencapai target nasional NDC dan PRK Indonesia. Sebagai salah satu wilayah dengan luas hutan terbesar di Indonesia, provinsi Papua Barat memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian kawasan hutan dan ekosistem di dalamnya. Pada kontribusi daerah, sektor pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan) berkontribusi terhadap 45% penyerapan tenaga kerja lokal atau sebesar 160.000 pekerja, dengan kontribusi terhadap perekonomian daerah menduduki peringkat keempat dari total PDRB yakni sebesar 7,8 milyar rupiah (BPS Provinsi Papua Barat, 2017). Manajemen pertanian yang tidak berkelanjutan dapat mengakibatkan berkurangnya hutan berharga yang dapat berakibat terhadap menurunnya pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan lapangan pekerjaan.

Memiliki luas kawasan hutan lebih dari 90% dari total luas daerah, provinsi Papua Barat sering disebut sebagai benteng terakhir hutan tropis Indonesia. Namun, dengan skenario pembangunan saat ini yang melepaskan ijin-ijin perkebunan skala besar di Papua Barat, dikhawatirkan berpotensi mengonversi 20% tutupan hutannya -yang mencakup lebih dari 1.9 juta Mha. Pembukaan lahan hutan ini berpotensi dapat melepaskan 1,3-1,9 GtCO2 ke atmosfer, yang jika terjadi, Indonesia kemungkinkan besar tidak dapat memenuhi target NDC untuk mengurangi target emisi nasional pada tahun 2030 (WRI Indonesia, 2018).

Selain itu, banyak inisiatif dan arah-arah pembangunan strategis nasional yang direncanakan di Papua Barat. Industri-industri perikanan, petrokimia, pertambangan semakin meningkat terutama di Bintuni dan Sorong. Proyeksi pembangunan untuk pertumbuhan industri-industri tersebut perlu diantisipasi dampaknya terhadap sektor-sektor lain, seperti ketersediaan dan kesesuaian lahan dan kesejahteraan masyarakat Papua.

Sebagai bentuk partisipasi dalam kontribusi pemerintah nasional, pemerintah Provinsi Papua Barat juga telah menunjukkan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan. Melalui Deklarasi Manokwari yang ditandatangani bulan Oktober 2018, pemerintah daerah berkomitmen untuk mengarusutamakan pembangunan berkelanjutan ke dalam peraturan daerah untuk mewujudkan visi Indonesia yang lestari. Saat ini, rancangan peraturan daerah sebagai wujud komitmen pembangunan lestari telah direncanakan. Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) Papua Barat juga sedang dalam tahap revisi. Perkembangan tersebut membuka jendela peluang untuk menentukan prioritas dan arah kebijakan yang selaras dengan visi pembangunan hijau yang sesuai untuk Provinsi Papua Barat.

Program TASCA “Melacak dan Memperkuat Aksi Iklim”

Berdasarkan pada uraian di atas, WRI Indonesia melalui program ‘Melacak dan Memperkuat Aksi Iklim’ (TASCA) berupaya untuk mendukung pemerintah provinsi Papua Barat dalam melacak kemajuan aksi iklim serta potensi kontribusi daerah terhadap pemenuhan komitmen iklim nasional. Sebelumnya, program TASCA di tingkat nasional telah membantu pemerintah Indonesia dalam mengidentifikasi intervensi kebijakan yang rendah karbon. Analisis skenario kebijakan ini digunakan dalam perencanaan PRK Indonesia yang akan diintegrasikan dalam RPJMN 2020-2024 sebagai dokumen RPJMN pertama di Indonesia yang mempertimbangkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan ke dalam pembangunan nasional. Melihat pentingnya kontribusi provinsi terhadap pencapaian target iklim nasional, WRI Indonesia melalui program TASCA berencana untuk menerjemahkan inisiatif nasional ini di tingkat provinsi. Adapun opsi kegiatan yang ditawarkan TASCA untuk Papua Barat meliputi:

Tahap 1: Analisa kontribusi Papua Barat terhadap komitmen iklim dan pembangunan nasional

Tahap 2: Pengembangan kapasitas dan pembangunan model iklim bersama

Tahap 3: Visualisasi model, data, analisa melalui platform online Papua Barat (Climate Watch Indonesia)

Melalui ketiga tahap tersebut, Provinsi Papua Barat dapat diperlengkapi dengan analisa dan data-data yang lengkap untuk mendukung kontribusi Provinsi kepada komitmen nasional. Menghitung kontribusi Papua Barat terhadap aksi iklim nasional menjadi sangat penting sehingga dapat membantu pemerintah provinsi Papua Barat dalam menyusun aksi prioritas pembangunan daerah serta sebagai alat komunikasi yang penting kepada pemerintah nasional.