
Menimbang Ulang Pemberian Susu Sapi pada Program MBG
Pemberian makanan bergizi dan susu sapi kepada siswa sekolah melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG) bertujuan untuk mengurangi angka malnutrisi pada siswa sekolah (Nota Keuangan RAPBN 2025). Namun, sejak program MBG berjalan pada Januari 2025 lalu, pemberian susu sapi gratis ternyata tidak dilakukan setiap hari dan tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan alokasi anggaran, yaitu sebesar Rp10.000/anak/hari untuk satu kali porsi makan program MBG di sekolah (Kementerian Keuangan, 2025).
Selain masalah alokasi dana, masalah keterbatasan produksi susu sapi juga menjadi kendala untuk penyediaan susu program MBG. Produksi susu sapi segar di Indonesia pada 2024 hanya mencapai 637.318 ton/tahun, sementara kebutuhan susu sapi untuk program MBG diproyeksikan mencapai 741.000 ton pada 2025 (USDA, 2024). Artinya, produksi susu sapi nasional saja belum cukup untuk memenuhi program MBG. Guna mengisi ketimpangan antara produksi dan permintaan susu sapi tersebut, pemerintah mengupayakan impor sapi perah hidup sebanyak satu juta ekor secara berkala dari Amerika Serikat, Australia, Brasil, dan Selandia Baru (Kompas, 2025). Namun, kebijakan impor sapi perah ini menimbulkan pertanyaan: seberapa pentingkah susu sapi untuk memenuhi gizi siswa sekolah?
Susu saja tidak cukup memenuhi kebutuhan makronutrien
Menurut Pedoman Makanan Bergizi Seimbang “Isi Piringku” yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan, susu bukanlah unsur yang harus ada dalam satu porsi makanan. Telah terjadi pergeseran pandangan dari Pedoman 4 Sehat 5 Sempurna yang diperkenalkan pada 1952, yang menganggap susu sebagai penyempurna gizi. Lalu, mengapa susu disebut unsur yang menyempurnakan?

Susu sapi disebut menyempurnakan karena mengandung mikronutrien, seperti mineral dan vitamin. Mineral yang terkandung dalam susu sapi meliputi kalsium, fosfor, magnesium, natrium, kalium, besi, selenium, dan iodine . Selain mineral, susu sapi juga mengandung bermacam-macam vitamin seperti vitamin A, D, E, K, serta vitamin B-complex yang berperan penting untuk menjaga keseimbangan metabolisme tubuh manusia (Cimmino et al., 2023). Walaupun susu sapi memiliki mikronutrien yang lengkap, susu saja belum cukup untuk memenuhi makronutrien siswa sekolah. Kandungan makronutrien pada susu terdiri atas karbohidrat, protein, dan lemak dengan proporsi yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan kandungan makronutriennya, susu sapi dapat digantikan oleh lauk dan makanan pokok. Hal ini dikarenakan kandungan susu sapi lebih didominasi oleh air dengan kadar protein dan karbohidrat yang rendah. Karena itu, pemerintah perlu mengkaji ulang pemberian susu pada program MBG, khususnya terkait kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan gizi siswa sekolah. Adapun beberapa masalah yang menjadi pertimbangan pemberian susu sapi gratis pada siswa sekolah:
Elemen kesehatan pada susu
Menurut penelitian Hegar & Widodo (2015), seiring perkembangan usia biologis, tubuh anak-anak akan semakin inefisien dalam mencerna laktosa karena tidak lagi bergantung pada satu sumber makan saja, yaitu ASI (Air Susu Ibu). Kondisi ini umumnya dikenal dengan malabsorpsi laktosa, yakni inefisiensi tubuh dalam mencerna laktosa karena berkurangnya produksi jumlah enzim laktase di usus halus yang berfungsi untuk mencerna laktosa menjadi glukosa. Angka prevalensi malabsorpsi laktosa pada anak-anak usia 3-12 tahun di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.

Selain pengaruh biologis, malabsorpsi laktosa dapat dipengaruhi juga oleh pola makan dan kebiasaan konsumsi susu dan produk susu (keju, yoghurt, dan lain-lain). Di negara-negara Asia, seperti Indonesia, prevalensi malabsorpsi laktosa lebih tinggi karena pilihan makanan dengan kandungan susu yang terbatas pada menu sehari-hari. Hal ini berbeda dengan negara-negara Eropa, seperti Swedia, yang memiliki angka prevalensi malabsorpsi laktosa sangat rendah, sekitar 2%. Hal ini dikarenakan pola makan dan konsumsi produk susu yang dimulai sejak masa penyapihan hingga dewasa (Vandenplas, 2015).
Walaupun malabsorpsi laktosa tidak berbahaya, kondisi ini dapat menyebabkan diare, nyeri perut, mual, dan perut kembung dengan efeknya dapat dirasakan 1-2 jam setelah minum susu (Hegar & Widodo, 2015). Hal ini berpotensi menurunkan produktivitas siswa sekolah untuk mengikuti pembelajaran karena mengalami gangguan pencernaan setelah minum susu.
Susu ultra proses dan gula tambahan pada susu
Susu sapi gratis yang diberikan kepada siswa sekolah oleh pemerintah melalui program MBG adalah susu sapi kemasan UHT (Ultra Heat Treatment) yang sudah melalui tahap sterilisasi UHT. Walaupun keamanan susu sapi terjamin, proses produksi susu sapi UHT tidak luput dari ultra proses . Susu sapi UHT tidak selalu diproduksi dari 100% susu sapi segar, susu ini sering kali dibuat dari susu bubuk skim yang dicampurkan dengan air, kemudian ditambahkan lemak, penstabil, dan pengemulsi agar produk terlihat seperti susu sapi asli. Penambahan zat aditif, seperti penstabil dan pengemulsi, dapat meningkatkan risiko peradangan usus serta perubahan komposisi mikrobiota usus (Sellem et al., 2024) yang berdampak buruk bagi kesehatan siswa sekolah.
Selain penambahan zat aditif, susu sapi UHT yang beredar di pasaran umumnya mengandung gula tambahan, seperti glukosa, fruktosa, dan sukrosa. Kandungan gula ini dapat mencapai hingga 13 gram dalam satu sajian (Asri et al., 2023). Padahal, batas harian konsumsi gula dalam satu hari yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan adalah 50 gram/hari (Kemenkes, 2024). Kandungan gula tambahan pada susu sapi UHT berpotensi meningkatkan risiko diabetes melitus pada siswa sekolah.
Skala Prioritas Pemberian Susu Gratis pada Program MBG
Dengan anggaran Rp10.000 per porsi makan (Kementerian Keuangan, 2025), pemberian susu sapi UHT telah mengambil sekitar 30% dari total anggaran untuk satu sajian (125 ml). Padahal, pemerintah dapat mengoptimalkan anggaran untuk menyediakan menu makanan berbasis pangan lokal yang terjangkau dan sesuai dengan kebutuhan gizi siswa sekolah. Sebagai alternatif, pemerintah dapat mencontoh menu berbasis pangan lokal dari Panduan Gizi Seimbang Berbasis Pangan Lokal (PGSPL) yang diteliti oleh SEAMEO RECFON (Southeast Asian Ministers of Education – Regional Centre for Food and Nutrition) untuk mendukung penurunan kasus stunting di Indonesia.
Oleh sebab itu, para pelaksana program MBG di berbagai wilayah diharapkan dapat mengoptimalkan kerja sama dengan para petani, nelayan, dan peternak lokal yang ada di wilayah masing-masing untuk mengoptimalkan pemanfaatan pangan lokal. Ahli gizi yang ditugaskan pada setiap wilayah pelaksanaan MBG dapat mengembangkan menu-menu yang sesuai dengan kearifan dan budaya lokal setempat untuk memenuhi kebutuhan gizi siswa sekolah. Hal ini tentu dapat membantu memberikan alternatif makanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan serta lebih terjangkau selain susu.