Sebelum ada Kebijakan Satu Peta (KSP), Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki data, peta, dan informasi geospasial masing-masing. Akibatnya, makin banyak terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan dan mengakibatkan konflik lahan di Indonesia.

Presiden Joko Widodo mempercepat pelaksanaan KSP melalui Peraturan Presiden No. 9/2016. Hasilnya, telah diluncurkan geoportal KSP sejak 2018 lalu. Selain peta dasar, geoportal berisi berbagai peta tematik hasil kompilasi dan integrasi dari berbagai instansi pemerintah agar dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan konflik lahan.

Menariknya, Presiden Jokowi berseloroh bahwa banyak pihak yang takut jika KSP dilaksanakan. Seperti apakah nyatanya "ketakutan" itu di lapangan? Berikut adalah tiga contoh konflik lahan di Provinsi Riau, yang menyumbang konflik lahan tertinggi di Indonesia (42 kasus dari total 410 kasus (807.177,6 Ha) di Indonesia).

Kasus 1: Konflik Batas Desa

KSP telah selesai mengompilasi dan mengintegrasikan 83 dari 85 target peta tematik. Salah satu yang belum diselesaikan adalah peta batas desa. Presiden Jokowi telah menekankan mengenai pentingnya penyelesaian batas desa oleh Kepala Daerah. Banyak batas desa yang belum disepakati dikarenakan keberadaan sumber daya alam tertentu, lahan pertanian/perkebunan individu yang terpencar, dan salah kaprah tanah ulayat sebagai batas desa.

Di Kabupaten Rokan Hulu, misalnya, konflik batas desa diwarnai dengan keberadaan perkebunan kelapa sawit masyarakat di Kawasan Hutan Lindung. Upaya resolusi konflik pernah dicoba melalui penerapan Perhutanan Sosial (PS) pada beberapa desa. Melalui PS, masyarakat yang terlanjur mengelola lahan di Kawasan Hutan diberikan izin meneruskan aktivitasnya dengan menerapkan sistem pengelolaan hutan lestari. Akan tetapi, legalisasi lahan-lahan PS tersebut dilaksanakan tanpa melalui proses kesepakatan batas dengan desa-desa tetangganya. Bahkan ada desa penerima sertifikat PS yang lahannya berada di desa lain.

Ilustrasi Konflik Lahan antara kepentingan perkebunan kelapa sawit (kanan) dan Kawasan Hutan (kiri) di Kabupaten Kampar 2018. Kredit foto: Dwiki Ridhwan/WRI Indonesia

Kasus 2: Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan

Temuan pada satu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di perbatasan Kabupaten Kampar dan Rokan Hulu menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit masyarakat telah merambah hingga mencapai lebih dari 80% hutan lindung. Hal ini terjadi karena lambatnya KPH untuk bergerak, sehingga seluruh kawasan hutan dianggap sebagai “tanah tak bertuan” selama bertahun-tahun. Realisasi pembangunan KPH di Riau tidak menunjukkan perkembangan yang setara dengan capaian provinsi-provinsi lainnya. Misalnya, kelembagaan bagi sebagian besar KPH di Riau baru dibentuk pada akhir tahun 2017.

Situasi ini mencerminkan potret konflik perkebunan sawit dalam kawasan hutan di Indonesia. KPH sebagai unit pengelolaan kawasan hutan dapat berkontribusi penting untuk menyelenggarakan resolusi konflik di kawasan hutan. Namun, saat ini baru 12 dari 37 unit KPH di Riau yang telah menyelesaikan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP), sehingga anggaran dan perencanaan penanganan konflik masih minim.

Kasus 3: Konflik dengan Masyarakat Adat

Di Kabupaten Kampar, 7 kelompok Masyarakat Hukum Adat (MHA) sudah berjuang mengusulkan pengakuan atas wilayahnya sejak 10 tahun lalu, tetapi tak kunjung ada pengakuan. Alasannya bervariasi, seperti keberadaan Wilayah Adat di dalam Hutan Konservasi atau di dalam HGU perkebunan kelapa sawit.

Persoalan lambatnya pengakuan masyarakat hukum adat, wilayah adat, dan hutan adat menjadi salah satu penyebab konflik lahan. Potensi hutan adat di Riau teridentifikasi seluas 300.000 Ha dan mungkin saja tumpang tindih dengan berbagai kepentingan lain. Pemerintah kini telah memberikan pengakuan hutan adat seluas 24.378 Ha di seluruh Indonesia. Sayangnya, belum satu pun SK hutan adat diberikan di Riau.

Bagaimana KSP dapat menyelesaikan konflik lahan?

1. Kebutuhan Peta untuk Penyelesaian Konflik

Melihat model-model kasus tersebut, yang pada umumnya juga terjadi di provinsi-provinsi lain, penyelesaian Peta Batas Desa, Peta Perkebunan Rakyat, Peta Potensi Wilayah Adat, dan Peta Perhutanan Sosial menjadi sangat penting untuk mencapai mimpi KSP. Sayangnya, 3 peta terakhir belum menjadi peta tematik prioritas dalam KSP. Bahkan, seluruh peta dalam geoportal KSP belum dapat diakses oleh masyarakat. Pemerintah perlu memberikan akses kepada masyarakat agar dapat dimanfaatkan langsung dalam penyelesaian konflik lahan bersama masyarakat.

2. Optimalisasi Peran Pemda sebagai Pengelola Data Spasial

Badan Informasi Geospasial (BIG) selaku ketua pelaksana KSP menekankan pentingnya peran Pemda sebagai simpul jaringan dalam pelaksanaan KSP. Contohnya, Pemerintah Provinsi Riau sudah memiliki Peraturan Gubernur No. 5/2019 tentang Satu Data Satu Peta, unit pengelola informasi geospasial, dan geoportal yang terkoneksi ke pusat. Namun, model-model kasus di Riau menegaskan bahwa Pemda perlu terlibat sampai ke tingkat tapak, misalnya menjadi mediator antara 2 desa yang bersengketa batas.

3. Pelembagaan Penanganan Konflik Lahan yang Multi-Pihak

Tim Kerja Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan dan Hutan Adat yang dibentuk Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) di Provinsi Sumatera Selatan, serta Tim Penanganan Konflik Sumber Daya Alam di Kabupaten Musi Banyuasin dapat menjadi contoh bagaimana resolusi konflik diupayakan melalui pendekatan kelembagaan. Kedua tim ini terdiri dari perwakilan berbagai instansi, seperti Pemda tingkat Provinsi atau Kabupaten, KPH, dan lembaga swadaya masyarakat. Sedangkan di Riau, Pokja PPS mulai digencarkan melalui revisi SK Gubernur.

4. Dukungan Universitas dalam Peningkatan Kapasitas SumberDaya Manusia

Kebutuhan sumber daya manusia menjadi salah satu penyebab utama lambatnya progres KSP. Aparatur Pemda yang memiliki kemampuan teknis pemetaan umumnya hanya ditemukan pada instansi tertentu seperti; Dinas LHK, BAPPEDA dan Dinas PUPR. Universitas di daerah dapat berkontribusi melalui kegiatan pelatihan, penelitian dan pelibatan mahasiswanya. Contohnya, Universitas Riau bekerja sama dengan BIG dan Pemerintah Kabupaten Siak dalam mengerahkan mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk melaksanakan pemetaan desa secara partisipatif di salah satu kecamatan. Hasilnya, mahasiswa membantu mendorong kesepakatan pada 7 dari 13 segmen batas desa.

5. Pelibatan Masyarakat untuk Pemetaan Partisipatif

Masyarakat lokal merupakan pengelola langsung kawasan tempat mereka tinggal, sehingga paham mengenai semua potensi di sekitarnya. BIG memfasilitasi penyelenggaraan pemetaan partisipatif berbasis masyarakat lokal melalui aplikasi PetaKita. Aplikasi ini perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat digunakan di wilayah yang tidak terjangkau internet. Selanjutnya, hasil pemetaan partisipatif dapat Pemda sesuaikan untuk kebutuhan KSP.

Selesainya geoportal KSP dan peta-peta di dalamnya layak diapresiasi. Namun, data-data tersebut harus dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menyelesaikan konflik lahan di lapangan. Pada akhirnya, tanpa upaya resolusi konflik yang memadai, bukan tidak mungkin konflik di lapangan tak kunjung diselesaikan, atau terus bertambah.