Catatan: Artikel ini memuat cuplikan temuan penelitian yang telah dipublikasikan dan temuan awal penelitian yang sedang dalam proses tinjauan.

Konflik lahan berakar dari permasalahan struktural tata kelola lahan yang telah terjadi sejak era kolonial hingga saat ini (Gambar 1). Berdasarkan temuan sementara dalam penelitian WRI Indonesia yang sedang dilakukan, model kelembagaan multipihak merupakan salah satu opsi yang dapat diambil untuk penyelesaian konflik lahan secara efektif dan berkelanjutan. Kelembagaan multipihak merupakan kerja sama antar pihak pemerintah, masyarakat sipil, dan swasta untuk mencapai tujuan bersama. Pendekatan ini cocok diterapkan dalam penyelesaian konflik lahan karena luasnya persoalan yang terkait dengan tata kelola lahan.

Pada dasarnya, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik lahan—melalui beberapa kebijakan seperti, reforma agraria dan perhutanan sosial. Berdasarkan temuan sementara penelitian WRI Indonesia yang sedang dilakukan model kelembagaan multipihak dapat menjawab meningkatkan efektivitas program-program tersebut dan mengatasi hambatan-hambatan yang masih ada. Berikut adalah tujuh aspek penting yang berhasil dirangkum.

1. Standar keberhasilan yang menjadi misi lembaga

Menurut laporan terbaru WRI Indonesia, penyelesaian konflik selama ini cenderung terlalu administratif, ad hoc, dan reaktif. Pendekatan ini umumnya masih sebatas mengandalkan mekanisme formal, mengatasi persoalan jangka pendek dan ruang lingkup yang sempit, serta tidak fokus pada pencegahan. Pendekatan ini menghambat lembaga penyelesaian konflik lahan karena sulit untuk menangani masalah struktural, seperti ketimpangan akses sumber daya alam dan kemiskinan. Hal tersebut di karena masalah struktural membutuhkan pendekatan yang menyeluruh. Hal ini menjadi persoalan penting karena berdasarkan temuan Konsorsium Pembaruan Agraria, mayoritas kasus konflik lahan di Indonesia berakar dari persoalan struktural.

Maka, model kelembagaan ideal harus memiliki misi untuk menanggapi permasalahan struktural yang mendasari konflik lahan, menjelaskan status hukum lahan, mencapai kesepakatan antara para pihak secara sukarela, dan mengubah hubungan konflik para pihak menjadi hubungan yang lebih kolaboratif. Kejelasan status lahan juga merupakan hal yang dapat meminimalisasi dan mencegah konflik. Dengan adanya tumpang tindih klaim lahan, potensi konflik semakin besar. Selain itu, penyelesaian yang dicapai dengan kesepakatan secara sukarela dapat mencegah berulangnya konflik di masa depan. Kesepakatan sukarela berarti masyarakat memiliki kemampuan dan pengetahuan terkait pilihan penyelesaian konflik lahan yang terbaik untuk mereka. Dalam hal ini, lembaga memiliki tanggung jawab untuk membantu memberdayakan masyarakat. Sebab, penyelesaian tersebut akan memiliki penerimaan yang cukup dari para pihak sehingga dapat mengubah konflik menjadi kolaborasi.

2. Koherensi dan kesatuan strategi

Selain itu, laporan terbaru WRI Indonesia juga menemukan bahwa terdapat persoalan kerangka kelembagaan yang terlalu kompleks dan tersebar, serta memiliki koordinasi yang tidak baik. Akibatnya, konflik-konflik yang membutuhkan pelibatan beberapa lembaga terkait menjadi terkendala. Sehingga, untuk mencapai misi atau standar keberhasilan yang sesungguhnya, model kelembagaan harus menggunakan strategi yang satu dan koheren, yaitu strategi yang melingkupi lintas kementerian-lembaga serta tingkatan pemerintahan secara keseluruhan dan bekerja secara tanggap untuk menangani situasi yang berpotensi menjadi konflik. Koherensi dan kesatuan strategi ini dibutuhkan agar kelembagaan penyelesaian konflik dapat berjalan dengan optimal, baik dalam tataran kebijakan ataupun implementasi di lapangan. Untuk mewujudkan koherensi dan kesatuan strategi, dibutuhkan adanya koordinasi antar pemangku kepentingan dan relasi antar pemangku kepentingan yang kolaboratif dan komunikatif. Dengan kata lain, upaya-upaya penyelesaian konflik lahan, baik penyusunan kebijakan maupun penyelesaian di lapangan, butuh dilakukan secara bersama-sama. Terakhir, kelembagaan ini juga membutuhkan pendekatan yang proaktif dan preventif dalam penyelesaian konflik. Tujuannya adalah agar konflik dapat terselesaikan secara tuntas dan tidak menghasilkan konflik berkepanjangan yang merugikan masyarakat.

3. Bersifat netral, inklusif, memiliki otoritas, dan legitimasi

Model kelembagaan itu harus memenuhi empat karakteristik, yaitu bersifat netral, bersifat inklusif, memiliki otoritas, dan memiliki legitimasi dari pihak negara maupun non-negara. Netralitas berarti kelembagaan penyelesaian konflik bebas dari kepentingan yang dapat mempengaruhi penyelesaian konflik. Kelembagaan juga perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan secara inklusif, termasuk pihak pemerintah, masyarakat sipil, swasta, dan perwakilan masyarakat adat. Pelibatan ini bukan hanya terkait posisi dalam lembaga, melainkan juga berkaitan dengan adanya upaya-upaya partisipasi publik yang baik. Yang tidak kalah penting adalah otoritas. Dalam hal ini, lembaga harus cukup kekuatan dan kewenangan yang cukup dalam menyelesaikan berbagai konflik lahan, khususnya kasus yang membutuhkan koordinasi antar lembaga dan melibatkan pihak yang memiliki kekuatan politik/modal. Selain ketiga aspek tersebut, legitimasi merupakan hal penting lainnya. Legitimasi disini bukan hanya sebatas keabsahan secara legal formal, melainkan terkait penerimaan para pihak terhadap proses dan hasil penyelesaian yang dilakukan.

4. Adanya kerangka operasional yang efektif

Model kelembagaan tersebut harus dilengkapi oleh kerangka operasional yang efektif, berupa kemampuan untuk mengoordinasikan lembaga-lembaga dan pemangku kepentingan terkait. Hal tersebut butuh didukung dengan adanya panduan operasional dan standar agar dapat menyinergikan koordinasi antar lembaga yang menyelesaikan konflik lahan. Terlebih hal ini dapat meminimalisasi pendekatan lembaga yang hanya memerhatikan dan mementingkan persoalan di sektornya sendiri. Kerangka operasional melingkupi juga standar prosedur operasional (SOP) penyelesaian konflik tanah yang jelas. SOP ini melingkupi tahapan pelaporan, penapisan laporan, asesmen konflik, serta berbagai proses penyelesaian konflik di lapangan. Penyusunan dan penerapan SOP bersifat top-down dan bottom-up agar karena terbentuk secara representatif dan menjawab berbagai persoalan di lapangan. Terakhir, butuh teradopsinya praktik-praktik baik organisasi profesional lainnya, seperti sensitif terhadap konteks, kooperatif, dan berorientasi kepada penerima manfaat.

5. Kapasitas kelembagaan yang mencukupi

Sistem data dan informasi yang akurat dibutuhkan agar dapat menjadi referensi sumber data yang tepat dalam penyelesaian konflik. Sistem ini harus dapat merangkum dan mengakomodasi berbagai data yang didapatkan dari berbagai pemangku kepentingan, seperti pemetaan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat. Seluruh data yang terhimpun ini akan diverifikasi lebih lanjut sebelum ditetapkan. Selain itu, sistem ini harus membuka akses publik secara transparan dan akuntabel. Lembaga harus memiliki sistem pengawasan dan evaluasi yang efektif. Pengawasan ini dilakukan terhadap kinerja penyelesaian konflik oleh birokrat dan pejabat terkait terhadap indikator capaian lembaga ataupun laporan dari publik. Hasil pengawasan ini harus menghasilkan evaluasi terhadap berbagai program dan kebijakan yang telah dilakukan. Untuk mendorong kinerja sumber daya manusia, maka diperlukan mekanisme insentif dan disinsentif berdasarkan hasil pengawasan dan evaluasi ini.

6. Kekuatan dan keinginan politik yang kuat

Kelembagaan ini membutuhkan adanya dukungan dan komitmen politik yang kuat dari pimpinan tinggi, baik di tataran nasional ataupun daerah. Kekuatan dan keinginan politik ini tidak hanya bergantung pada figur tokoh tertentu saja, melainkan harus benar-benar terlembaga dalam sistem. Hal ini dibutuhkan agar sistem ini akan terus berkelanjutan dan tidak berubah secara signifikan dengan adanya pergantian pimpinan.

7. Pemberdayaan masyarakat

Penyelesaian konflik harus dapat memberdayakan masyarakat. Hal ini dapat menjawab persoalan ketimpangan pihak dalam konflik lahan. Sebab, masyarakat sering kali berada dalam posisi yang lebih lemah karena kurangnya kapasitas. Hal ini menjadi penyebab sulitnya masyarakat untuk mengonsolidasikan dan menegosiasikan kepentingan mereka secara terukur. Pemberdayaan masyarakat dapat melibatkan dan berkolaborasi berbagai pemangku kepentingan, seperti lembaga swadaya masyarakat, khususnya yang memiliki kedekatan konteks dengan masyarakat sekitar.

Dalam penerapannya, kelembagaan multipihak perlu memiliki tujuh aspek penting tersebut agar dapat berjalan dengan optimal. Kelembagaan multipihak merupakan opsi yang dapat diambil untuk melakukan pencegahan dan penyelesaian konflik secara efektif dan berkelanjutan di Indonesia.


Catatan

Sumber data dalam gambar “Rangkuman Sejarah Tata Kelola Tanah di Indonesia”:

1. Konsorsium Pembaruan Agraria 2010; 2011; 2012; 2013; 2014; 2015; 2016; 2017; 2018; 2019; 2020; 2021

2. Pusat Telaah dan Informasi Regional 2019

3. Sekretariat Kabinet, Republik Indonesia 2019

4. Zakaria et al. 2017

5. Seri “Indonesia for Sale” The Gecko Project and Mongabay

6. Zuhra 2017

7. Barreiro et al. 2016

8. Akhir 2015

9. Sopian 2015

10. Bachriadi and Wiradi 2014

11. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012

12. Rachman 2012. “Land Reform dari Masa ke Masa”

13. Siscawati 2012

14. Hall, Hirsch, and Li 2011

15. McCarthy 2006

16. Afiff 2004 (Doctor of Philosophy Dissertation)

17. Burns 2004

18. Lynch and Harwell 2002

19. Peluso and Vandergeest 2001

20. Li 1999; Fitzpatrick 1997

21. Moniaga 1993

22. Lucas 1992

23. Peluso 1992

24. Barber 1991 (Doctor of Philosophy Dissertation)

25. MacAndrews 1986

26. McVey 1982

27. Hooker 1978