Pada tahun 2019, dunia kehilangan 3,8 juta hektare hutan primer tropis basah (tropical humid primary forest), setara dengan kehilangan areal hutan seluas lapangan sepak bola setiap 6 detik sepanjang tahun. Data tersebut dirilis oleh Universitas Maryland (UMD) dan diterbitkan di platform Global Forest Watch (GFW).

Sejak diluncurkan pada 2014, misi utama GFW adalah mendorong keterbukaan data dan informasi ilmiah terkait hutan dunia untuk menjaga hutan dan menghentikan deforestasi. Memahami bahwa setiap negara memiliki metode dan definisi yang berbeda-beda, GFW menggunakan metode dan definisi yang memungkinkan pengguna untuk dapat menghitung dan membandingkan kehilangan tutupan pohon dan kehilangan tutupan hutan di berbagai negara secara konsisten.

Oleh karena itu, metode dan definisi yang digunakan bersifat universal dan berlandaskan kaidah penelitian ilmiah. GFW menggunakan data dan metode yang dihasilkan oleh tim peneliti UMD.

Kehadiran berbagai platform data terbuka dan independen seperti GFW dan Forest Atlas berfungsi untuk melengkapi berbagai data yang saat ini ada. Transparansi data dan informasi tersebut membuka ruang bagi setiap pihak, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun publik untuk berdiskusi dan menghasilkan informasi yang lebih baik lagi. Informasi yang lebih baik diharapkan dapat menghasilkan kebijakan pengelolaan hutan yang lebih baik pula.

Pada kenyataannya, setiap studi ilmiah di bidang kehutanan dapat mengembangkan definisi hutan dan menerapkan metode penghitungan deforestasi yang berbeda-beda. Masing-masing metode tentu akan memiliki kelebihan dan kekurangan, termasuk dari sisi definisi hutan, definisi deforestasi, unit pemetaan, periode pemantauan, dan sebagainya. Dengan metode yang berbeda, tentu data yang dihasilkan pun akan berbeda. Perbedaan metodologi ini adalah hal yang umum terjadi dalam diskusi akademis untuk terus membuka ruang bagi diskusi dan perbaikan metode.

Bagaimana data UMD ini dihasilkan? Apa perbedaannya dengan data-data lain? Berikut adalah penjelasannya.

Berbagai Definisi Primary Forest/Hutan Primer

Definisi Hutan Primer UMD

GFW menggunakan definisi humid tropical primary forest atau hutan primer tropis basah berdasarkan hasil penelitian UMD yang dipublikasikan di jurnal ilmiah oleh Margono et al. (2014) dan Turubanova et al. (2018). Menurut kedua studi tersebut, hutan primer didefinisikan sebagai hutan alam basah tropis dewasa yang belum sepenuhnya ditebang dan belum tergantikan dengan jenis tutupan lahan lain dalam jangka waktu lama. Dalam kedua studi tersebut, hutan primer dibagi menjadi dua jenis: hutan primer yang utuh dan hutan primer yang sudah tidak utuh.

Untuk hutan primer utuh, Turubanova et al. (2018) mendefinisikannya sebagai suatu blok area hutan yang besar, saling berdekatan, tidak tersentuh aktivitas manusia, dan dengan area minimal 50.000 hektar.

Sementara itu, hutan primer yang tidak utuh didefinisikan sebagai fragmen area hutan yang lebih kecil dan area hutan yang lebih dekat dengan dan terpapar pada aktivitas manusia dan berbagai gangguan lainnya. Gangguan tersebut – termasuk pembangunan jalan, penebangan intensif, dan kebakaran – terdeteksi pada resolusi spasial 30 meter (0,09 ha).

Perbedaan Definisi Hutan Primer UMD dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia

Definisi 'hutan primer' dalam Turubanova et al. (2018) yang digunakan oleh UMD dan dirujuk oleh GFW berbeda dengan definisi 'hutan primer' KLHK Indonesia.

Definisi ‘hutan primer’ menurut Turubanova et al. (2018) mencakup hutan alam yang utuh dan tidak utuh.

Sementara itu, definisi 'hutan primer' KLHK mengacu pada hutan alam yang utuh saja. Definisi ini merupakan bagian dari terminologi umum 'hutan alam' yang terdiri dari 'hutan primer' dan 'hutan sekunder', dimana 'hutan primer' adalah hutan alam utuh dan 'hutan sekunder' adalah hutan alam tidak utuh yang telah menampakkan bekas tebangan atau gangguan.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan 'hutan primer' oleh UMD lebih dekat dengan terminologi 'hutan alam' menurut definisi KLHK.

Hasil perbandingan spasial data ‘hutan primer’ dari studi UMD di jurnal Margono et al. (2014) dan data ‘hutan alam’ KLHK yang dilakukan oleh tim Forest Reference Emission Levels (FREL) KLHK menunjukkan bahwa data ‘hutan primer’ UMD dan data ‘hutan alam’ KLHK memiliki kesamaan hingga 90 persen dengan tingkat kesalahan statistik yang rendah. Ini menunjukkan bahwa data ‘hutan primer’ UMD, berdasarkan studi Margono et al dan Turubanova et al. dan dirujuk oleh GFW dapat digunakan sebagai pembanding data resmi pemerintah guna mengidentifikasi keberadaan hutan alam di Indonesia. Hasil analisis perbandingan tersebut digunakan sebagai salah satu referensi di dalam lampiran dokumen Forest Reference Emission Level (FREL) yang telah diverifikasi secara teknis dan diterima oleh UNFCCC pada tahun 2016 untuk digunakan sebagai tingkat rujukan emisi sektor kehutanan.

Dokumen FREL Indonesia tersebut juga mengonfirmasi bahwa data ‘hutan primer utuh’/intact primary forests UMD memiliki kriteria yang serupa dengan ‘hutan primer’ KLHK, sementara ‘hutan primer tidak utuh’/non-intact primary forests memiliki kesesuaian dengan ‘hutan sekunder’ menurut definisi KLHK.

Mengapa GFW memilih untuk merujuk kepada definisi hutan primer yang juga mencakup hutan alam tidak utuh?

Di dalam laporan kehilangan tutupan hutan primer global 2019, GFW merujuk kepada definisi hutan primer yang juga mencakup hutan alam tidak utuh dalam menghitung kehilangan tutupan hutan di dunia. Dalam konteks konservasi hutan secara global, ‘hutan primer yang tidak utuh’ tetap berperan penting dalam menyimpan karbon dan menyediakan fungsi habitat penting, meskipun ‘hutan primer tidak utuh’ lebih terfragmentasi. Kehilangan ‘hutan primer tidak utuh’ pun memiliki dampak besar. Sebagai contoh, hilangnya ‘hutan primer’ (baik utuh maupun tidak utuh) di Indonesia pada tahun 2019 menghasilkan 187 Mega ton emisi CO2, dibandingkan dengan hanya 13 Mega ton emisi CO2 dari hilangnya ‘hutan primer utuh’.

Bagaimana GFW menghitung angka kehilangan tutupan hutan primer? Apa perbedaannya dengan data deforestasi KLHK?

Ketika menganalisis kehilangan tutupan hutan primer, GFW hanya mempertimbangkan area hutan primer dengan setidaknya 30% tutupan tajuk pohon seperti yang dijelaskan dalam penelitian Universitas Maryland yang diterbitkan di Science Magazine (Hansen et al., 2013) dan juga disebutkan di dalam Permenhut Nomor 14 tahun 2004 tentang A/R CDM dan dokumen FREL Indonesia (2016). Setiap hilangnya tegakan tutupan kanopi pohon (berdasarkan Hansen et al. 2013) yang berada di dalam area hutan primer dimasukkan dalam perhitungan kehilangan tutupan hutan primer global.

Sementara itu, KLHK mendefinisikan deforestasi sebagai kehilangan yang terjadi pada tujuh kelas hutan (termasuk di dalamnya hutan primer dan sekunder di lahan kering, bakau, dan rawa gambut, serta hutan tanaman) berdasarkan peta tutupan lahan KLHK. Peta tutupan lahan tersebut dibuat melalui interpretasi visual atas mosaik citra satelit Landsat pada wilayah pemetaan seluas 6,25 hektar.

Perbedaan perhitungan kehilangan tutupan hutan dapat disebabkan oleh perbedaan definisi hutan, metode identifikasi tutupan hutan, dan penghitungan kehilangan hutan.

Kehilangan Hutan Primer (Primary forest loss) UMD yang Dirujuk oleh GFW Kehilangan Tutupan Hutan/Deforestasi (KLHK)
Definisi Hutan primer tropis basah didefinisikan sebagai hutan alam basah tropis dewasa yang belum sepenuhnya ditebang dan belum tergantikan dengan jenis tutupan lahan lain dalam jangka waktu lama. Hutan primer ini kemudian dibagi menjadi dua jenis: hutan (alam) yang utuh dan hutan (alam) yang sudah tidak utuh. Sumber data: Turubanova, S., Potapov, P.V., Tyukavina, A. and Hansen, M.C., 2018. Kelas hutan termasuk tujuh kelas tutupan lahan: Hutan kering primer dan sekunder, hutan gambut dan rawa primer dan sekunder, hutan bakau primer dan sekunder, dan hutan tanaman. Sumber: Margono, B., Usman, A.B., Budiharto, Sugardiman, R.A., 2016.
Definisi kehilangan Kehilangan pada area hutan primer dengan setidaknya 30% tutupan tajuk pohon. Setiap hilangnya tegakan tutupan kanopi pohon (berdasarkan Hansen et al. 2013) yang berada di dalam area hutan primer dimasukkan dalam perhitungan kehilangan tutupan hutan primer global. Perubahan tujuh kelas tutupan lahan hutan menjadi kelas non-hutan (misalnya semak belukar, perkebunan)
Metodologi Interpretasi citra satelit Landsat menggunakan metode klasifikasi semi-automatis Interpretasi citra satelit Landsat menggunakan metode visual (digitalisasi secara manual)
Luas Pemetaan Minimum 0.09 ha (30 x 30 m) 6.25 ha (250 x 250 m)
Periode Akuisisi Citra Satelit Januari – Desember Juli – Juni
Penghitungan Deforestasi Kotor (kehilangan tutupan hutan tanpa memperhitungkan tutupan hutan yang tumbuh kembali/reforestasi) Kotor (kehilangan tutupan hutan tanpa memperhitungkan tutupan hutan yang tumbuh kembali/reforestasi); Bersih (kehilangan tutupan hutan dikurangi tutupan hutan yang tumbuh kembali/reforestasi)
Ketersedian Data Hasil Analisis 2001-2019 (tahunan) 1996, 2000, 2003, 2006, 2009, serta 2011- 2019 (tahunan)

Data GFW menunjukkan tren kehilangan tutupan hutan primer di Indonesia menurun dalam tiga tahun terakhir. Data resmi pemerintah Indonesia juga menunjukkan tren penurunan deforestasi bruto yang sama sejak tahun 2015/2016.

Pada tahun 2019, data GFW menunjukkan Indonesia mengalami kehilangan tutupan ‘hutan primer’ sebesar hampir 324 ribu hektar, sedangkan data resmi pemerintah Indonesia mencatat deforestasi bruto (perubahan secara permanen tutupan hutan tanpa memperhitungkan tutupan hutan yang tumbuh kembali/reforestasi) sebesar 465 ribu hektar. Estimasi kehilangan tutupan ‘hutan primer’ yang dirujuk GFW secara umum lebih rendah dari data deforestasi tahunan KLHK karena luas area ‘hutan primer’ yang dikukur GFW relatif lebih kecil apabila dibandingkan dengan luas hutan yang diukur KLHK.

Pada akhirnya, setiap lembaga dan institusi mungkin merujuk pada definisi hutan dan metodologi kehilangan hutan yang berbeda-beda. Akan tetapi, semua informasi yang dihasilkan dapat melengkapi satu sama lain dan membuka ruang bagi pemerintah, pelaku usaha, maupun publik untuk berdiskusi dan menghasilkan informasi yang lebih baik lagi untuk kebijakan pengelolaan hutan yang lebih baik pula.