NASA satellites registered a total of 734 high-confidence fire alerts in Sumatra’s provinces between August 22-27. Photo credit: Rini Sulaiman/Norwegian Embassy
Satelit NASA mencatat 734 peringatan titik api yang berpotensi tinggi di provinsi-provinsi di Sumatra di antara 22-27 Agustus. Sumber foto: Rini Sulaiman/Kedutaan Norwegia

Andhyta Utami dan Andrew Leach juga berkontribusi dalam penyusunan artikel ini.

Kebakaran hutan kembali terjadi di Pulau Sumatra, Indonesia, dan mencapai tingkat yang hampir sama tingginya dengan kebakaran bulan Juni 2013, ketika negara tetangga Singapura dan Malaysia terkena serangan kabut asap yang sangat parah. Satelit NASA mencatat sebanyak 734 peringatan titik api di provinsi-provinsi di Sumatra untuk periode 22-27 Agustus. Jumlah peringatan titik api mengalami penurunan yang signifikan pada tanggal 28-29 Agustus.

WRI melakukan analisis terhadap peringatan titik api sebagai bagian dari rangkaian bencana kebakaran dan kabut asap yang sedang berlangsung. Kami menemukan bahwa, serupa dengan kebakaran Juni lalu, sekitar 36 persen peringatan titik api terjadi di lahan yang dialokasikan untuk konsesi perusahaan kelapa sawit, kayu, dan pulp (berdasarkan peta-peta yang diperoleh dari Kementrian Kehutanan Republik Indonesia). Terlebih lagi, peringatan titik api terlihat lebih menyebar dan terjadi di lokasi-lokasi yang berbeda-beda dibandingkan dengan kebakaran bulan Juni dan Juli, menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan kabut asap masih menjadi persoalan yang besar di wilayah ini. Menanggapi krisis kebakaran yang kembali terjadi, tiga rekomendasi kunci patut mendapatkan penekanan kembali:

  1. Peringatan titik api yang melonjak tinggi baru-baru ini menekankan kembali perlunya intervensi yang lebih terpadu dan terkoordinasi dari badan-badan pemerintah lokal dan nasional, perusahaan, dan mitra regional untuk mencegah kebakaran kedepannya.

  2. Perusahaan yang mengambil komoditas di wilayah ini harus meningkatkan pengawasan terhadap rantai pasokan mereka untuk memastikan bahwa komoditas yang mereka beli tidak didapatkan melalui proses pembakaran hutan.

  3. Meskipun pemerintah Indonesia memiliki peta-peta konsesi yang menunjukkan perusahaan apa beroperasi di mana, namun mereka belum mengeluarkan informasi yang paling akurat ke publik. Dengan mengeluarkan peta-peta konsesi yang lebih mendetail dan terkini, pemerintah Indonesia dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas tata kelola hutan secara signifikan, sekaligus memungkinkan usaha-usaha perbaikan untuk mencegah risiko kebakaran hutan kedepannya.

Gambar 1 menunjukkan jumlah peringatan titik api setiap harinya di provinsi-provinsi di Sumatra sejak 1 Juni 2013. Meskipun lonjakan tertinggi terjadi di pertengahan Juni, pergerakan dalam seminggu terakhir menunjukkan peningkatan peringatan titik api terbesar kedua.

Gambar 2 menunjukkan persebaran umum dan pergerakkan ke selatan dari peringatan titik api dibandingkan dengan lokasi kejadiannya di bulan Juni. Meskipun sebagian besar peringatan titik api terkonsentrasi di Provinsi Riau pada bulan Juni dan Juli, peringatan titik api pada tanggal 22-27 Agustus tersebar secara lebih luas.

Gambar 3 menunjukkan di mana peringatan titik api tersebar berdasarkan penggunaan lahan. Sekitar 36% peringatan titik api terjadi di wilayah konsesi yang dikelola oleh perusahaan kelapa sawit, kayu, dan pulp. Meskipun ini menunjukkan pengurangan persentase peringatan titik api di wilayah konsesi dibandingkan dengan lonjakan peringatan titik api sebelumnya, jumlah peringatan titik api di lahan milik perusahaan tetap tinggi. Daftar perusahaan dan konsesi yang memiliki peringatan titik api tersedia di akhir artikel ini.

Mencegah Kebakaran Hutan di Indonesia

Berdasarkan data historis, kita dapat memperkirakan risiko titik api yang tetap tinggi dalam beberapa bulan kedepan – dan di musim-musim kemarau berikutnya – kecuali langkah-langkah pencegahan dilakukan. Musim kemarau di Indonesia bagian barat akan terus berlangsung sepanjang bulan Oktober. Ada risiko yang besar kebakaran akan menjadi lebih parah, dengan pengaruh yang berbahaya kepada kesehatan masyarakat karena kualitas udara akan memburuk, terutama bagi masyarakat di Sumatra, namun juga untuk warga Malaysia dan Singapura tergantung arah angin.

Peringatan titik api yang melonjak tinggi juga berperan sebagai pengingat akan pentingnya sistem pengawasan titik api regional yang baru, yang diusulkan oleh pemerintah dari lima negara Asia Tenggara (Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand) sebagai respon terhadap krisis kabut asap bulan Juni. Elemen penting dari sistem ini adalah usulan agar negara-negara saling berbagi data mengenai batas konsesi perusahaan, dalam rangka “membantu pengawasan dan langkah penegakkan hukum secara internal kepada kelompok-kelompok yang memicu terjadinya kebakaran”. Penerapan proposal ini sayangnya tertunda hingga para pemimpin negara di Asia Tenggara bertemu pada Oktober awal di ASEAN Summit ke-23 di Brunei Darussalam.

WRI telah mendesak pemerintah di Asia Tenggara untuk membuat data konsesi perusahaan sepenuhnya transparan. Akses publik terhadap data ini sangatlah penting untuk koordinasi di antara badan-badan pemerintah lokal dan nasional; untuk memastikan kepatuhan kontrak di antara produsen komoditas dan konsumen; dan untuk pengawasan dan analisis bagi para peneliti dan masyarakat.

Terulangnya krisis kebakaran dan kabut asap menekankan pentingnya langkah cepat dari para pemerintah dan perusahaan di Asia Tenggara. Ketika kepala pemerintahan negara-negara Asia Tenggara berkumpul Oktober ini untuk mendiskusikan serangkaian isu regional, persoalan kebakaran hutan haruslah menjadi agenda prioritas. Memanfaatkan kesempatan emas ini untuk mengambil langkah merupakan satu-satunya cara mencegah dampak kerusakan yang lebih parah dari kebakaran hutan bagi ekonomi, lingkungan, dan yang paling penting, kesehatan dan keselamatan masyarakat di seluruh Asia Tenggara.

Kami menggunakan Data Titik Api Aktif NASA untuk menentukan kemungkinan lokasi titik api di lapangan. Sistem ini menggunakan satelit NASA MODIS yang memonitor seluruh bumi setiap 1-2 hari. Sensor di satelit mendeteksi tanda panas dari titik api di dalam batasan spektrum infra-merah. Ketika citra satelit diproses, sebuah algoritma mencari tanda-tanda titik api. Ketika titik api terdeteksi, sistem mengindikasikan wilayah seluas 1 km2 tempat titik api ditemukan dengan sebuah “peringatan”. Sistem akan hampir selalu mendeteksi titik api dengan ukuran 1.000 m2, dan dalam kondisi ideal, dapat mendeteksi titik api yang sekecil 50 m2. Karena satelit melewati garis khatulistiwa dua kali sehari, peringatan ini dapat diberikan dalam waktu yang hampir bersamaan. Peringatan titik api dipublikasikan di website NASA FIRMS dalam waktu 3 jam setelah terdeteksi oleh satelit.

Akurasi deteksi titik api telah meningkat dratis dibandingkan ketika sistem deteksi titik api pertama kali dikembangkan oleh satelit MODIS. Saat ini, tingkat peringatan palsu adalah 1/10 dari sebelumnya 1/1000 dengan sistem lama yang pertama kali dikembangkan pada awal tahun 2000an. Algoritma yang digunakan untuk mendeteksi titik api mencakup langkah-langkah untuk menghilangkan sumber-sumber penyebab peringatan palsu seperti kilauan cahaya matahari, pantulan cahaya di air, lingkungan gurun yang panas, dan lainnya. Ketika sistem tidak memiliki informasi yang cukup untuk mendeteksi titik api secara pasti; peringatan titik api dibatalkan. Secara umum, observasi di malam hari memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan siang hari. Ekosistem gurun memiliki tingkat peringatan palsu tertinggi.

Banyak tulisan yang telah dipublikasikan untuk memvalidasi penggunaan peringatan titik api aktif NASA MODIS dalam berbagai aplikasi. WRI tengah membuat rekomendasi untuk mendeteksi titik api yang disebabkan oleh pembukaan hutan (dijelaskan dalam Morton dan Defries, 2008), mengidentifikasi titik api dengan nilai kecerahan lebih besar atau sama dengan 330 Kelvin dan nilai keyakinan lebih besar atau sama dengan 30% untuk mengindikasikan titik api yang kemungkinan besar berasal dari pembukaan hutan. Titik api dengan tingkat keyakinan rendah merupakan titik api dengan tingkat intensitas yang rendah yang dapat disebabkan oleh aktivitas yang tidak berhubungan dengan pembukaan hutan (pembukaan padang rumbut atau pembakaran rumput), atau dapat berupa titik api lama yang telah kehilangan intensitas (titik api yang berasap ketimbang yang memiliki kobaran api). Penggunaan klasifikasi ini menciptakan standar yang lebih tinggi untuk deteksi titik api ketimbang menerima begitu saja setiap peringatan titik api.

Sumber:

NASA FIRMS FAQ

Morton, D., R. Defries, J. T. Randerson, L. Giglio, W. Schroeder, dan G. van der Werf. 2008. Agricultural intensification increases deforestation fire activity in Amazonia. Global Change Biology 14: 2262-2276