A forest fire in Central Kalimantan, Indonesia, in September of 2011. Photo credit: Rini Sulaiman/Norwegian Embassy for Center for International Forestry Research
A forest fire in Central Kalimantan, Indonesia, in September of 2011. Photo credit: Rini Sulaiman/Norwegian Embassy for Center for International Forestry Research

Gubernur provinsi Riau, Indonesia, mengumumkan status darurat minggu lalu ketika kabut asap tebal menyelimuti sebagian besar wilayah provinsi tersebut, mengakibatkan penutupan sekolah-sekolah dan bandara. Menurut pejabat lokal, lebih dari 22.000 orang telah terkena dampak masalah pernafasan – dan jumlah ini berpotensi bertambah jika angin membawa kabut asap tersebut ke wilayah yang berpopulasi lebih padat seperti Kuala Lumpur atau Singapura.

Pembukaan lahan untuk kayu dan pertanian kemungkinan merupakan penyebab kabut asap. Menurut data dari Global Forest Watch – sebuah sistem online baru yang bisa menelusuri perubahan tutupan pohon, kebakaran dan informasi lainnya dalam waktu yang hampir seketika – hampir setengah dari kebakaran tersebut adalah pembakaran pada lahan yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit, perkebunan kayu, dan penebangan – meskipun pada kenyataannya penggunaan api untuk membuka lahan merupakan hal yang ilegal di Indonesia.

Situasi darurat kabut asap yang terakhir ini mengingatkan akan peristiwa serupa yang marak terjadi di Indonesia pada bulan Juni 2013 (lihat liputan berita WRI terkait krisis kebakaran). Apa bedanya dengan yang terjadi sekarang, dan apa kesamaannya? Kami akan berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan menggunakan teknologi satelit dan data pemerintah Indonesia di Global Forest Watch.

Bagaimana Krisis Kabut Asap ini Mirip Dengan yang Terjadi pada Juni 2013?

Analisis baru kami mendeteksi 1.449 peringatan kebakaran dengan “tingkat kepercayaan tinggi” di pulau Sumatera sejak 20 Februari – 3 Maret 2014. Seperti bulan Juni yang lalu, peringatan kebakaran – yang menggunakan Data Kebakaran Aktif milik NASA untuk mendeteksi kebakaran – tersebut terpusat di provinsi Riau di pulau Sumatera.

Dan sama seperti krisis pada bulan Juni 2013, hampir setengah dari peringatan kebakaran tersebut berada pada wilayah konsesi perkebunan kayu, kelapa sawit dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Lokasi kelompok kebakaran yang berbeda-beda juga dapat dilihat di konsesi perusahaan tertentu. Dengan menggunakan Global Forest Watch, semua orang dapat menelusuri pola-pola tersebut, melihat lokasi terjadinya kebakaran dengan tepat dari hari-ke-hari, dan menentukan perusahaan mana saja yang beroperasi di wilayah-wilayah tersebut.

Daftar konsesi dan perusahaan yang terkena dampak tersedia di akhir dokumen. Investigasi lapangan secara lebih dekat oleh pemerintah Indonesia tetap perlu dilakukan untuk menentukan dengan pasti sebab-sebab kebakaran di lokasi-lokasi tersebut dan untuk menentukan apakah perusahaan tertentu telah melanggar peraturan ketat yang melarang pembakaran.

Apa yang Berbeda pada Krisis Kabut Asap Kali Ini?

Bahwa kebakaran terjadi pada bulan Februari merupakan waktu yang sangat tidak biasa di Indonesia – musim kebakaran normalnya adalah April sampai dengan Oktober. Namun, bulan Februari tahun ini tercatat sebagai salah satu periode yang paling kering di Indonesia dan negara-negara tetangga, sehingga mempengaruhi hasil panen dan menciptakan peluang terjadinya kebakaran. Situasi kekeringan tersebut kemungkinan akan semakin sering terjadi dan semakin parah seiring memburuknya perubahan iklim.

Kebakaran yang terjadi di luar musimnya tersebut merupakan hal yang mengkhawatirkan, namun ada juga beberapa perkembangan baru yang positif yang dapat membantu mencegah terjadinya kebakaran di masa depan. Pertama, kebijakan yang lebih kuat dan praktik-praktik pasar mulai menghalangi dan bahkan menghukum pelaku pembakaran dan pembukaan lahan hutan di Indonesia. Singapura, misalnya, mengusulkan peraturan baru yang bisa menerapkan sanksi denda terhadap perusahaan-perusahaan – baik asing maupun domestik – yang menyebabkan peristiwa kabut asap antar batas yang berdampak bagi Singapura. Pada rancangan undang-undangnya yang terbaru, perusahaan dapat didenda hingga sebesar US$238.000 ketika berkontribusi pada kabut asap yang menyebar melampaui perbatasan ke wilayah negara lain. Jumlah ini cukup kecil bagi perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia, namun potensi dampaknya terhadap reputasi mereka akan mengirimkan sinyal yang kuat bahwa para pelaku bisnis perlu memperbaiki kinerja mereka sehubungan dengan pencegahan kebakaran.

Selain itu, Wilmar, perusahaan pedagang kelapa sawit terbesar di dunia, baru-baru ini berjanji untuk hanya memproduksi dan membeli minyak kelapa sawit yang diproduksi dengan cara bebas deforestasi dan bebas kebakaran. Banyak perusahaan yang mungkin mulai merasa bahwa kontraknya dengan perusahaan pedagang terbesar ini akan terancam jika wilayah konsesi mereka mengalami kebakaran.

Selain itu, dunia sekarang bisa memonitor kejadian kebakaran tersebut secara langsung melalui Global Forest Watch. Platform baru ini, yang diluncurkan pada 20 Februari oleh WRI dan lebih dari 40 mitranya, menyediakan informasi yang hampir seketika terkait kebakaran dan data konsesi.

Banyak Aksi Lain yang Dibutuhkan untuk Mencegah Kebakaran di Hutan Indonesia

Ada banyak hal yang harus dilakukan oleh Indonesia dan negara-negara lain untuk mengatasi permasalahan kebakaran hutan. Meskipun Global Forest Watch telah mengandalkan data terbaik yang tersedia, pemerintah Indonesia masih belum merilis informasi konsesinya yang terbaru. Data konsesi yang ditunjukkan di atas dari Kementerian Kehutanan Indonesia memberikan gambaran yang cukup baik bagi kita mengenai perusahaan-apa-beroperasi-dimana, namun telah diketahui bahwa ada beberapa ketidakakuratan. Peningkatan transparansi mengenai lokasi pasti wilayah konsesi bisa membuat hal ini mudah dimonitor dan memaksa perusahaan untuk bertanggung-jawab ketika kebakaran melanda.

Transparansi yang sedemikian kemungkinan akan meningkat di masa depan. Pada bulan Oktober 2013, kementerian dari lima negara Asia Tenggara – termasuk Indonesia – bertemu untuk mendiskusikan pencegahan kabut asap dan sepakat untuk berbagi data konsesi setiap negara (meskipun tidak akan dipublikasikan). Selain itu, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah kelompok industri, sudah mengadopsi resolusi yang meminta perusahaan-perusahaan anggotanya untuk membuka data konsesi.

Sementara ini, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), pemerintah dan warga negara yang peduli bisa langsung membuka Global Forest Watch untuk memantau data peringatan kebakaran dan menyalut data tersebut dengan data konsesi, wilayah lindung, dan tutupan lahan. Dengan kemudahan akses terhadap informasi tersebut, perusahaan, penegak hukum, dan pemerintah lokal tidak bisa menjadikan ketidakpedulian sebagai alasan untuk tidak bertindak.

  • PELAJARI LEBIH LANJUT: Untuk keterangan lebih lanjut mengenai analisis WRI terkait kebakaran Indonesia, silahkan lihat seri blog kami..

Kami menggunakan Data Kebakaran Aktif dari NASA untuk menentukan kemungkinan lokasi kebakaran di lapangan. Sistem ini menggunakan satelit NASA MODIS yang meninjau keseluruhan bumi setiap 1-2 hari. Sensor-sensor pada satelit tersebut mendeteksi sinyal panas api yang terpancar dalam bentuk pita spektrum infra merah. Ketika citra satelitnya diproses, suatu algoritme akan mencari sinyal-sinyal yang mirip kebakaran. Ketika kebakaran dideteksi, sistem tersebut mengindikasikan 1 km2 dimana kebakaran tersebut muncul melalui sebuah “peringatan”. Sistem tersebut akan selalu mendeteksi kebakaran berukuran 1.000m2, namun dibawah kondisi yang ideal, bisa mendeteksi kobaran api sekecil 50m2. Karena masing-masing satelit melewati wilayah khatulistiwa sebanyak dua kali sehari, peringatan-peringatan ini bisa diberikan hampir seketika. Peringatan kebakaran dipublikasikan di situs NASA FIRMS dalam waktu 3 jam setelah dideteksi oleh satelit.

Akurasi deteksi kebakaran tersebut sudah sangat meningkat sejak sistem pendeteksi kebakaran pertama kali dikembangkan untuk satelit MODIS. Hari ini, tingkat kesalahan peringatan positif (false positive) adalah 1/10 sampai dengan 1/1000 dari dibandingkan sistem awal yang dikembangkan sebelumnya pada tahun 2000an. Algoritme yang digunakan untuk mendeteksi kebakaran sudah memiliki langkah-langkah untuk mengeliminasi sumber-sumber kesalahan peringatan yang berasal dari kilatan matahari, kilatan air, lingkungan gurun yang panas dan lain-lain. Ketika sistem tersebut tidak memiliki informasi yang cukup untuk mendeteksi kebakaran dengan meyakinkan, peringatan kebakaran tersebut akan diabaikan. Secara umum, observasi pada malam hari memiliki akurasi yang lebih tinggi dibandingkan observasi pada siang hari. Ekosistem gurun memiliki tingkat kesalahan peringatan yang paling tinggi. Banyak tulisan yang sudah dipublikasikan untuk memvalidasi peringatan kebakaran aktif NASA MODIS untuk digunakan di berbagai aplikasi. WRI menggunakan suatu rekomendasi untuk mendeteksi kebakaran yang dilakukan untuk membuka hutan (sebagaimana dijelaskan dalam Morton dan Defries, 2008), yang mengidentifikasi kebakaran dengan nilai kecerahan (brightness value) ≥330 Kelvin dan nilai kepastian (confidence value) ≥ 30% untuk mengindikasikan kebakaran yang memiliki tingkat kepastian tinggi bahwa itu adalah kebakaran yang disebabkan oleh pembukaan lahan hutan. Kebakaran dengan nilai kepastian rendah (low confidence) adalah kebakaran dengan intensitas yang lebih rendah yang bisa terjadi dari kegiatan pembakaran yang bukan pembukaan hutan (pembukaan tanah lapang atau pembakaran rumput), atau bisa dari kebakaran sebelumnya yang intensitasnya sudah berkurang (bara kecil bukan kebakaran besar). Penggunaan klasifikasi ini menciptakan suatu standar yang lebih baik untuk mendeteksi kebakaran ketimbang menggunakan semua peringatan kebakaran dengan setara.

Sumber: NASA FIRMS FAQ Morton, D., R. DeFries, J. T. Randerson, L. Giglio, W. Schroeder, and G. van der Werf. 2008. Agricultural intensification increases deforestation fire activity in Amazonia. Global Change Biology 14:2262-2276.