Polusi udara tidak hanya merugikan lingkungan, namun juga dapat merugikan kesehatan masyarakat, seperti meningkatan risiko infeksi pernapasan, kanker, penyakit jantung dan paru-paru, dan lain-lain. Pada tahun 2020, 54.000 kematian terjadi di New Delhi yang disebabkan oleh PM2.5. Polusi udara juga menyebabkan kematian sekitar 13.000 penduduk Jakarta pada tahun 2020 dengan kerugian hampir 52 triliun rupiah atau setara dengan 8,2% dari total PDB Kota Jakarta.

Transportasi merupakan sumber polusi udara terbesar bagi DKI Jakarta (PM2.5, NOx, dan CO). Oleh karena itu, perlu strategi untuk mengurangi polusi dari sektor ini, tanpa menghalangi masyarakat dalam bermobilitas. Emisi, yang merupakan proses pelepasan polutan ke udara yang menyebabkan terjadinya polusi udara berupa gas dan partikulat, juga perlu mendapat perhatian yang khusus. Salah satu cara terbaik yang telah terbukti di banyak kota di dunia untuk mengurangi emisi adalah dengan menerapkan Kawasan Rendah Emisi (KRE) di berbagai titik.

KRE merupakan skema pembatasan akses kendaraan bermotor yang tidak memenuhi persyaratan terkait emisi pada suatu area dengan polusi udara yang tinggi. Skema ini biasanya diprakarsai oleh suatu kota untuk membatasi masuknya kendaraan bermotor yang berpolusi ke wilayah pusat kota. Jenis kendaraan yang disasar biasanya mobil, motor, bus, dan truk yang berbahan bakar diesel. Meskipun terdapat pembatasan, masyarakat tetap diperbolehkan menggunakan transportasi massal berbasis energi yang ramah lingkungan pada area penerapan KRE. Dengan memberlakukan skema ini, kualitas udara di suatu area diharapkan membaik, sehingga mengurangi permasalahan lingkungan dan kesehatan.

Selain KRE, terdapat juga skema yang biasanya diterapkan secara bersamaan dengan KRE, yaitu congestion charging (CC). Sesuai dengan namanya, CC menerapkan sistem pembayaran kepada pengguna kendaraan bermotor saat melintasi suatu ruas jalan/area tertentu. Tujuan dari CC sebenarnya bukan untuk mengurangi emisi, tetapi untuk mengurangi kemacetan, sehingga masyarakat diharapkan berganti ke moda yang lebih “murah” secara biaya dan tidak menghasilkan banyak emisi, seperti angkutan umum.

Penerapan KRE di Milan, London dan Roma dapat mengurangi >10% emisi NOx, PM10, dan CO2. Tidak hanya itu, penerapan KRE juga memberikan pengurangan kemacetan yang lebih dari 20%, hal ini dikarenakan perubahan perjalanan pengguna menjadi menggunakan angkutan umum.

Penerapan KRE di Dunia

Hampir seluruh negara bagian di Eropa sudah memperkenalkan dan mulai menerapkan KRE. Beberapa negara di Asia pun sudah memulai penerapan skema ini. Prinsip penerapan KRE seragam di berbagai tempat, namun tahapan implementasi akan bergantung kepada peraturan, karakteristik, dan keunikan daerah. Berikut adalah beberapa contoh KRE yang berhasil diimplementasikan di beberapa kota di dunia:

Stockholm

Sejak tahun 1996, Stockholm telah menerapkan KRE dengan membatasi akses khusus kendaraan berat seperti bus dan truk diesel ke pusat kota. Empat tahun setelahnya area KRE berhasil menurunkan emisi particular matter (PM) dari kendaraan berat sebanyak 40%. Setelah berhasil dengan KRE, Stockholm kemudian menerapkan CC pada tahun 2007 yang diberlakukan selama hari kerja pada area seluas 35 km2 dan berhasil menurunkan >10% emisi kendaraan bermotor dan konsentrasi polutan. Kesuksesan penerapan KRE serta CC di Stockholm didasari efektifnya komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat. Tetapi, masalah sempat timbul saat proses implementasi, seperti pencurian dan penggantian pelat nomor kendaraan, serta pemblokiran jalan.

London

London mulai menerapkan kebijakan untuk mengurangi emisi dengan memberlakukan CC pada tahun 2003 yang berhasil menurunkan jumlah kendaraan pribadi serta kemacetan sampai 30%. Meskipun dengan persiapan yang cukup singkat, London berhasil menurunkan jumlah kendaraan pribadi secara signifikan dalam satu tahun. Pada tahun 2008, London juga mulai menerapkan KRE pada area seluas 1.580 km2 yang berdampak pada penurunan konsentrasi PM hingga 3,07% pada tahun 2013.

Beijing

Untuk meningkatkan kualitas udara dan kesehatan penduduk, Beijing pernah membatasi seluruh kendaraan pada area jalan lingkar keenam pada tahun 2009. Kemudian, terdapat pergeseran fokus yang membuat penerapan KRE pada tahun 2017 hanya melarang kendaraan angkutan barang. Jumlah angkutan barang tidak sebanyak kendaraan pribadi, namun diperkirakan bertanggung jawab atas 80% dari total emisi yang dihasilkan oleh sektor transportasi. Penerapan KRE di Beijing dapat menghemat biaya kesehatan masyarakat hingga USD 37 juta dan menyelamatkan sekitar 43 nyawa setiap tahunnya.

Penerapan KRE di Indonesia

Di Indonesia, Pemerintah Jakarta sudah mulai menerapkan KRE sebagai salah satu upaya untuk mengurangi emisi dan polusi udara, Uji coba KRE pertama dilakukan di Kota Tua pada 18-23 Desember 2020. Selanjutnya, pada 8 Februari 2021, KRE tahap pertama diterapkan secara resmi dan berlaku secara 24 jam, walaupun sempat diterapkan secara buka-tutup.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh WRI Indonesia tentang pendapat masyarakat terkait pelaksanaan KRE di Kota Tua, sebagian besar responden mengapresiasi implementasi KRE dan merasakan manfaat, seperti semakin nyaman untuk beraktivitas dan berjalan kaki di Kota Tua. Selain itu, evaluasi yang dikakukan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta menunjukkan adanya pengurangan, polutan SO2 dan PM2.5 di kawasan Kota Tua sejumlah 7% dan 25%. Dikarenakan luasan KRE di Kota Tua lebih kecil dari yang diterapkan di negara lainnya, perencanaan KRE yang lebih luas dimasa mendatang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas udara.

Tahapan Merencanakan KRE

Penerapan KRE yang tidak tepat dapat mengurangi manfaat KRE. Seperti contohnya di London, kendaraan diesel tidak dibatasi pada awal penerapan KRE, sehingga mengakibatkan tidak adanya peningkatan kualitas udara. Penerapan KRE yang tepat memerlukan langkah-langkah sebagai berikut.

Mendorong Partisipasi Publik dalam Menyukseskan KRE

Tidak semua penerapan skema pengendalian lalu lintas untuk pengurangan emisi, baik KRE maupun CC, berjalan dengan baik. Kegagalan implementasi CC pernah terjadi di Manchester, Edinburgh, dan New York. Ketiga kegagalan tersebut sebagian besar disebabkan oleh rendahnya tingkat edukasi masyarakat, sehingga menimbulkan banyak penentangan. Salah satu faktor utama dalam kesuksesan penerapan KRE adalah kualitas hubungan dan dukungan yang baik dengan masyarakat. Tanpa adanya dukungan masyarakat, perencanaan program dapat gagal, sehingga memungkinkan adanya peningkatan biaya dan rusaknya reputasi dari pihak penyelenggara program, yaitu pemerintah daerah setempat. Untuk meningkatkan rasa kepemilikan terhadap kebijakan, masyarakat perlu dilibatkan pada tahap perencanaan dan evaluasi.

KRE dapat menjadi solusi untuk menciptakan kota yang bebas polusi dan masyarakat yang sehat, serta menurunkan emisi dari sektor transportasi. Keberhasilan KRE dapat terwujud melalui perilaku perjalanan masyarakat yang lebih rendah emisi, seperti menggunakan angkutan umum, sepeda, atau berjalan kaki. Di samping itu, implementasi KRE juga memerlukan pendekatan yang komprehensif, Penerapan KRE bukan hanya membatasi penggunaan pribadi, tetapi juga meningkatkan kualitas fasilitas transportasi umum, sepeda, dan pejalan kaki. Dengan menerapkan skema KRE, penurunan polusi udara yang membahayakan kesehatan masyarakat diharapkan dapat tercapai, sehingga seluruh penghuni kota dapat berkegiatan dengan tenang tanpa khawatir dengan bahaya dari paparan polusi udara.