Tulisan ini sebelumnya dimuat di Media Indonesia

MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, menjadi sorotan ketika meng­ungkapkan terjadinya penurunan tagihan listrik bulanannya yang mencapai 80%. Hal itu berkat panel surya fotovoltaik (PV), dipasang di atap kediaman resmi dan pribadinya, yang menghasilkan listrik dari sinar matahari untuk mengurangi penggunaan listrik yang dihasilkan PLN.

Setelah merasakan manfaat nyata penghematan biaya pada tagihan listriknya berkat instalasi PV surya atap, Menteri Jonan segera menginstruksikan kementeriannya membuat rancangan peraturan Menteri ESDM. Peraturan itu akan secara khusus mengatur dan mengawasi pengembangan PV surya atap di perumahan di Indonesia agar manfaatnya dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat.

Menteri Jonan turut dipuji atas upayanya membuat proses pembuatan kebijakan yang terbuka dan transparan dengan mengundang sektor swasta, PLN, dan organisasi masyarakat sipil.

Untuk dapat menciptakan manfaat nasional dari potensi penghematan listrik dari penggunaan PV surya atap di Indonesia, ada tiga tantangan u­tama yang harus dipertimbangkan kementerian dalam menyusun Per­aturan Menteri ESDM itu. Pertama, kurangnya data mengenai potensi atap sebagai penunjang instalasi panel surya.

Sebelum menginstalasi dan berinvestasi pada panel surya atap, terutama di daerah permukiman perkotaan dan semiperkotaan, diperlukan pengukuran dan visualisasi besaran kilowatt potensi atap dalam menangkap radiasi matahari secara menyeluruh. Hal ini dibutuhkan untuk memastikan pemenuhan kebutuhan listrik secara maksimal dari sinar matahari yang ditangkap suatu panel.

Saat ini, Satu Peta Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM One Map) ialah satu-satunya portal resmi pemerintah yang memvisualisasikan potensi radiasi matahari di Indonesia dengan resolusi piksel 0,9 hingga 1 km.

Oleh karena itu, menyambut tinggi­nya animo investasi untuk pa­nel surya atap di sektor perumahan, sangat penting bagi pemilik rumah memahami total potensi fotovoltaik surya di atap mereka. Potensi itu dipengaruhi lokasi rumah dan faktor-faktor yang memengaruhi kinerja panel surya, seperti variasi cuaca, dan orientasi atap.

Sebuah studi memperkirakan, potensi atap di perumahan, gedung-gedung pemerintah, komersial, dan industri di Jakarta untuk menangkap radiasi matahari mencapai total cukup tinggi, sekitar 2,5 giga watt.

Dengan dipimpin Badan Peneliti­an dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian ESDM dengan bantuan universitas dan lembaga penelitian, peraturan menteri yang tengah dirancang ini perlu mengamanatkan perhitungan dan pemutakhiran data potensi atap yang lebih rinci.

Data itu dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi citra udara (misalnya, citra SPOT 7 yang dimiliki LAPAN dengan resolusi 150 cm), citra satelit resolusi tinggi, database cuaca, dan melalui estimasi algoritma komputasi.

Kedua, biaya panel surya fotovoltaik tidak cukup terjangkau bagi sebagian besar pemilik hunian di RI. Harga modul panel surya dengan kapasitas 1 kW peak (kWP) diperkirakan sekitar US$1.000, dengan total biaya pemasangan hingga US$3.500. Tingginya harga membuat panel surya atap hanya terjangkau untuk kalangan tertentu dan tidak terjangkau bagi mayoritas penduduk perkotaan dan semiurban di Indonesia dengan upah minimum bulanan sekitar US$300-500.

Kementerian ESDM selayaknya dapat meninjau kembali persentase tingkat komponen dalam negeri atau TKDN, yaitu persentase komponen produksi buatan Indonesia, untuk teknologi panel surya fotovoltaik yang saat ini berada di kisaran 34-39%.

Perusahaan panel surya yang tertarik mengembangkan bisnis mereka di Indonesia melaporkan, tingginya prasyarat TKDN untuk teknologi panel surya, mengakibatkan kenaikan nilai biaya proyek-proyek energi karena skala yang relatif kecil daripada manufaktur panel surya di Indonesia yang belum dapat bersaing dengan harga panel surya internasional.

Kementerian ESDM harus bekerja sama dan berkonsultasi dengan Kementerian Perindustrian, sebagai regulator TKDN. Guna memantau dan mengevaluasi tingkat efektivitas dan pencapaian kebijakan TKDN untuk panel surya ini. Hal itu dalam upaya meningkatkan mutu dan efisiensi biaya produksi panel surya domestik. Serta turut meng­identifikasi dukungan apa saja yang dapat diberikan kedua kementerian dan berbagai lembaga penelitian untuk pengembangan industri panel surya di Indonesia.

Ketiga, pemilik panel surya atap tidak mendapat keuntungan dari listrik yang dijual ke jaringan PLN. Mekanisme regulasi yang berlaku saat ini membebani pemilik dan pengguna panel surya atap dengan berbagai biaya. Terutama jika mereka ingin mengekspor/menjual kelebihan listrik penggunaan panel surya atap ke jaringan PLN.

Sayangnya, biaya pemasangan koneksi paralel panel surya atap ke jaringan PLN juga dibebankan kepada pemilik/pengguna sistem. Situasi tidak menguntungkan akan makin dirasakan pengguna karena PLN hanya akan menjadikan kelebihan listrik itu sebagai deposit, yang tidak dibayar tunai kepada pemilik/pengguna panel.

Dalam pembahasan kebijakan terbaru mengenai panel surya atap dengan perwakilan PLN dan Kementeri­an ESDM, diketahui bahwa PLN te­ngah merumuskan faktor konversi meng­upayakan profit bagi pemilik panel surya atap yang mentransmisikan kelebihan listriknya ke jaringan PLN.

Faktor konversi inilah yang akan dilipatgandakan dengan kapasitas ekspor listrik pengguna panel surya atap ke jaringan PLN sehingga akan menghasilkan keuntungan bagi pemilik panel surya atap dan menghasilkan tambahan listrik untuk ja­ringan PLN. Kementerian ESDM perlu mempertimbangkan faktor konversi yang tepat dan adil untuk pelanggan panel surya atap dan PLN.

Selain tiga pertimbangan di atas, kebijakan panel surya atap yang menyeluruh dan berkeadilan untuk Indonesia harus dapat mencakup semua sektor di luar sektor perumahan. Permintaan yang kuat dari sektor komersial dan industri multinasional untuk menggunakan energi baru dan ter­barukan (EBT)dapat memperkuat pasar energi terbarukan di Indonesia.

Panel surya atap saat ini dianggap sebagai opsi yang paling layak dalam jangka pendek untuk memulai tranformasi energi dalam lingkup komersial dan industri.

Jika Kementerian ESDM dapat menerbitkan kebijakan yang terintegrasi untuk dapat memanfaatkan potensi surya yang sangat besar secara menyeluruh di Indonesia, hal ini akan me­macu pertumbuhan produksi dan layanan panel surya nasional dengan potensi terciptanya sekitar 130 ribu la­pangan pekerjaan baru di Indonesia.