Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Koran Tempo, pada 3 Januari 2020.

Pemerintah telah bertekad memuluskan investasi dan mengundang sebanyak mungkin pebisnis ke Tanah Air. Namun apakah pasokan listrik kita memiliki cukup ketahanan, pasokan, dan keluasan distribusi untuk mendukung rencana ini?

Meskipun telah mengalami kelebihan pasokan listrik dalam beberapa tahun terakhir, Pulau Jawa tetap mengalami pemadaman yang cukup parah pada Agustus 2019. Pemadaman listrik massal selama 15 jam tersebut sempat melumpuhkan sektor transportasi serta sebagian bisnis retail dan industri rumah tangga yang tak memiliki akses generator listrik pribadi.

Melalui Perusahaan Listrik Negara, pemerintah mendominasi sektor pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik di seluruh Nusantara. Pendistribusian dan pengaturan listrik masih dilakukan terpusat. Maka, tak mengherankan jika gangguan pada transmisi di saluran udara tegangan ekstratinggi (SUTET) pada Agustus lalu di Ungaran dan Pemalang, Jawa Tengah, berdampak pada sebagian besar jaringan di Jawa.

Sulit membayangkan bahwa negara kepulauan yang telah 74 tahun merdeka ini harus bergantung pada distribusi dan transmisi energi listrik terpusat. Padahal tren global sudah memanfaatkan sistem kelistrikan berbasis automasi dan terdistribusi serta memanfaatkan sumber energi yang ramah lingkungan.

Sistem kelistrikan berbasis distribusi dan automasi ini dikenal sebagai jaringan mikro (micro grid). Jaringan ini didesain untuk mencapai fleksibilitas jaringan, kemampuan pemrosesan data, dan pilihan tipe interkoneksi. Fleksibilitas diperoleh dari sumber listrik yang berasal dari gabungan berbagai sumber energi terbarukan, seperti surya dan angin, dengan perangkat baterai dan genset diesel yang terhubung dengan jaringan pusat. Apabila jaringan di pusat terganggu, jaringan mikro dapat segera secara otomatis memutus koneksi dengan pusat dan menghubungkan sesama jaringan mikro untuk memasok listrik sampai jaringan pusat pulih.

Sejalan dengan rencana pemerintah untuk menurunkan emisi karbon dan meningkatkan porsi penggunaan energi baru terbarukan, pembangkit listrik juga harus beralih ke sumber terbarukan. Sayangnya, sebagian pasokan sumber energi terbarukan yang berpotensi dikembangkan, seperti tenaga surya dan bayu, belum memiliki kestabilan daya untuk memasok jaringan terpusat. Maka, sistem kelistrikan perlu terdigitalisasi dan terdistribusi.

Teknologi digital dalam penyediaan listrik juga berpotensi mendorong konsumen untuk menyediakan listrik secara mandiri. Pendekatan ini disebut prosumer, yaitu konsumen terlibat dalam pengembangan produk-produk atau jasa yang ditawarkan penyedia energi. Karena itu, digitalisasi grid menjadi penting untuk dapat menangkap data penggunaan energi oleh konsumen. Berdasarkan data tersebut, penyedia listrik dapat menyesuaikan layanan atau produk yang lebih tepat sasaran.

Bayangkan jika akses dan pilihan atas produk-produk listrik bisa semudah dan beragam seperti tawaran atau promo di aplikasi transportasi online. Saat ini, sektor perdagangan elektronik (e-commerce) atau bisnis yang memiliki platform online adalah sektor yang telah menggunakan pendekatan prosumer. Industri e-commerce ini menganalisis data-data kebutuhan konsumen yang dihasilkan secara digital ketika para pelanggan mengakses aplikasi. Dengan algoritma masing-masing, mereka bersaing dalam kemampuan untuk melihat pola belanja pelanggan, pilihan favorit, hingga memprediksi kebutuhan pelanggan dengan berbagai tawaran harga dan penyesuaian layanan servis.

Dalam beberapa tahun terakhir, pengembangan penyediaan energi listrik menunjukkan tren baru di beberapa wilayah urban di Indonesia, yaitu instalasi panel surya di sejumlah perumahan elite. Selain itu, sejumlah perusahaan global telah menyatakan komitmennya untuk menggunakan energi terbarukan di tempat mereka berinventasi, termasuk IKEA dan P&G. Preferensi konsumen seperti inilah yang perlu ditangkap oleh PLN sehingga dapat menyediakan energi secara tepat sasaran dan memaksimalkan keuntungan.

Tren era digital dan kuatnya komitmen global untuk menggunakan lebih banyak energi bersih atau terbarukan akan sangat mempengaruhi kebutuhan dan pola permintaan pelanggan listrik. Di beberapa negara, sejumlah perusahaan penyedia listrik terancam bangkrut karena gagal mengantisipasi tren ini. Misalnya, Vattenfall, perusahaan Swedia, harus melego aset pembangkit batu bara karena kebijakan Jerman untuk tidak lagi menggunakan batu bara secara berkala. Contoh lain adalah Eskom, badan usaha milik negara Afrika Selatan yang menguasai 95 persen sektor kelistrikan, melaporkan kerugian miliaran dolar pada 2019 akibat utang-utang pembangunan pembangkit batu bara yang mangkrak.

Rencana pemerintah Indonesia untuk mencapai 23 persen bauran energi dari sumber baru terbarukan harus dibarengi dengan inovasi-inovasi pemanfaatan teknologi. PLN sebagai penanggung jawab ketersediaan dan keamanan listrik Indonesia dapat membuka kesempatan usaha pembangkit listrik berbasis energi terbarukan yang menguntungkan bagi perusahaan dan lebih dari 70 juta pelanggan listriknya di seluruh Indonesia.