Edisi Keempat ini menyajikan 5 wilayah teratas untuk dipantau, yang terindikasi mengalami penebangan hutan secara ilegal pada periode 1 Oktober 2018 - 31 Desember 2018.

#1 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal seluas 117 Ha untuk Pemanfaatan Kayu di Kawasan Hutan Produksi Terbatas, Kabupaten Kampar, Riau

Wilayah Terindikasi Pertama (#1) berada di Kecamatan Kampar Kiri dan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Areal ini merupakan perluasan dari Wilayah Terindikasi Kedua (#2) pada Pantau Jejak Edisi Ketiga, yang mana pada edisi tersebut terindikasi penebangan seluas 348 ha. Pada periode edisi keempat ini (1 Oktober - 31 Desember 2018), terdapat indikasi penebangan seluas 117 ha. Jika dibandingkan dengan luasan kehilangan hutan yang terjadi di periode Edisi Ketiga (1 Juli - 30 September 2018), telah terjadi penurunan laju penebangan dari 58 ha/bulan menjadi 39 ha/bulan. Indikasi penebangan hutan ilegal dalam kawasan hutan produksi terbatas ini terjadi di beberapa lokasi dengan pola menyebar. Hasil pengamatan citra satelit menunjukkan adanya kegiatan pembukaan lahan namun belum tampak adanya aktivitas penanaman atau pemanfaatan lebih lanjut dari lahan yang telah dibuka.

Lokasi ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena banyaknya pemberitaan mengenai penebangan hutan ilegal yang terjadi di Kabupaten Kampar.

#2 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal seluas 95 Ha untuk Pembukaan Pertanian Lahan Kering di Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung, Kabupaten Buton dan Muna, Sulawesi Tenggara

Wilayah Terindikasi Kedua (#2) terdapat di Kecamatan Mawasangka di Kabupaten Buton dan Kecamatan Bone di Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Indikasi penebangan seluas 95 ha ini sebagian besar berada dalam kawasan hutan produksi dan sebagian kecil di kawasan hutan lindung. Hasil pengamatan citra satelit menunjukkan pola pembukaan lahan dengan ukuran relatif kecil, menyebar, dan cenderung mengikuti pola jalan yang ada. Pola pembukaan lahan tersebut mengindikasikan areal hutan yang dikonversi untuk pembukaan areal pertanian lahan kering, hal ini diperkuat dengan keberadaan pertanian lahan kering di sekitar wilayah tersebut.

Berdasarkan kajian USAID terhadap kerentanan dan risiko perubahan iklim di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2018, petani masih melakukan praktik ladang berpindah (shifting cultivation) yang dapat berdampak terhadap keberlangsungan kawasan hutan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten Buton merupakan salah satu wilayah dengan risiko tinggi terhadap dampak perubahan iklim dikarenakan berkurangnya biomassa, keanekaragaman hayati, dan luasan hutan. Hasil analisis spasial menunjukkan Wilayah Terindikasi terletak berdekatan dengan lahan pertanian yang berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL). Kecamatan Mawasangka juga merupakan salah satu kawasan utama berbasis pertanian sehingga ada kemungkinan bahwa kegiatan bertani melebar dari kawasan APL ke kawasan hutan.

#3 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal seluas 49 Ha untuk Pembukaan Lahan di Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat

Wilayah Terindikasi Ketiga (#3) berada di Kecamatan Sangir Batanghari, Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Indikasi penebangan hutan secara ilegal seluas 49 ha ini terjadi di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Pengamatan melalui citra satelit menunjukkan lokasi pembukaan lahan yang berdekatan dengan areal pertambangan terbuka. Tujuan pembukaan lahan tersebut belum dapat dipastikan karena belum terlihat bentuk kegiatan pemanfaatan lahan yang telah dibuka.

Di tahun 2015, Harian Haluan memberitakan terdapat sekitar 30.000 hektar kawasan hutan yang tergolong sebagai lahan kritis di Kabupaten Solok Selatan, di mana Kecamatan Sangir Batanghari berkontribusi sebesar 336,3 hektar. Penyebab utama terjadinya lahan kritis adalah kegiatan ladang berpindah yang disertai dengan pembukaan lahan/ penebangan. Selain itu, Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Kasat Reskrim) Kabupaten Solok Selatan pernah menyatakan bahwa Kecamatan Sangir Batanghari merupakan salah satu kawasan yang rawan terjadi penebangan hutan ilegal karena merupakan daerah yang masih terbilang sepi dan terdapat akses yang mudah untuk pengangkutan kayu.

#4 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal Seluas 45 Ha untuk Pembukaan Lahan di Kawasan Hutan Produksi, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara

Wilayah Indikasi Keempat (#4) terdapat di Kecamatan Latambaga dan Kolaka, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Indikasi penebangan hutan secara ilegal seluas 45 ha ini berada dalam kawasan hutan produksi yang berbatasan langsung dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm). Berdasarkan hasil pengamatan citra satelit, pembukaan lahan ini merupakan perluasan pembukaan lahan dari wilayah IUPHKm. Tujuan pembukaan lahan ini belum dapat dipastikan karena belum terlihat adanya kegiatan pemanfaatan lahan yang telah dibuka.

Pembukaan lahan ini mungkin terjadi karena masyarakat pemegang IUPHKm kurang memahami batas wilayah izinnya secara jelas -- yang kerap terjadi dalam praktik IUPHKm. Kemungkinan lain adalah penebangan di kawasan hutan untuk perkebunan.

Berdasarkan Masterplan Kawasan Pengembangan Kakao Nasional di Sulawesi Tenggara 2016-2019, luas areal tanaman kakao dalam kawasan hutan (Hutan Produksi, Hutan Produksi Konversi, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Lindung dan Hutan Suaka Alam) adalah sebesar 3.506,99 ha di Kabupaten Kolaka. Dari luas tanaman kakao dalam kawasan non-APL, Kecamatan Latambaga berkontribusi sekitar 770 ha sedangkan Kecamatan Kolaka menyumbang 510 ha. Selain itu, pada Januari 2019, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara menyatakan bahwa Kabupaten Kolaka merupakan 1 dari 11 Kabupaten yang mengalami rusak parah di tahun 2018 akibat pembalakan, perladangan berpindah, dan praktik eksplorasi tambang secara ilegal.

#5 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal Seluas 43 Ha untuk Pembukaan Lahan yang Dilanjutkan dengan Pembakaran di Kawasan Hutan Produksi, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku

Wilayah Terindikasi Kelima (#5) terdapat di Kecamatan Tanimbar Utara, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku. Indikasi penebangan hutan ilegal seluas 43 ha berada di kawasan hutan produksi. Hasil interpretasi citra satelit menunjukkan pola pembukaan lahan yang menyerupai garis memanjang, berlokasi tidak jauh dari jaringan jalan. Terlihat pula rona warna cokelat kehitaman pada lahan yang sudah dibuka tersebut, hal ini menandakan pembukaan lahan menggunakan teknik slash and burn, yaitu diawali dengan penebangan dan dilanjutkan dengan pembakaran lahan.

Pulau Yamdena yang secara administratif terletak di Kabupaten Kepulauan Tanimbar (dulu Kabupaten Maluku Tenggara Barat) merupakan salah satu kawasan yang kaya akan hasil hutan kayu. Tercatat beberapa konflik sosial antara masyarakat dengan pemegang hak pengusahaan hutan alam (HPH) dalam pemanfaatan hutan di wilayah tersebut. Pada tahun 2012, Bupati Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) menyatakan bahwa penebangan hutan ilegal menyebabkan lahan kritis hingga seluas 10.000 ha/ tahun di Kabupaten MTB.

Langkah Selanjutnya

Daftar Kelima Wilayah Teratas tersebut masih berupa indikasi yang merupakan hasil analisis menggunakan sejumlah instrumen yakni GLAD Alert, Peta Status Kawasan Hutan, dan Peta Tutupan/Penggunaan Lahan. Namun demikian, hasil analisis ini dapat menjadi petunjuk dalam menentukan wilayah hutan prioritas untuk dipantau dari ancaman penebangan ilegal. Berikut ini langkah-langkah yang perlu ditempuh sesegera mungkin.

1. Verifikasi Lapangan dan Tindakan untuk Mencegah Perluasan Kegiatan Penebangan Hutan Secara Ilegal di Kelima Wilayah Terindikasi.

Kelima Wilayah Terindikasi menunjukkan penebangan hutan yang merupakan lanjutan/perluasan dari aktivitas yang telah ada sebelumnya, bukan penebangan hutan yang dilakukan untuk pertama kali. Hal ini menandakan bahwa Kelima Wilayah Terindikasi tersebut memerlukan perhatian khusus sebab memiliki risiko tinggi untuk mengalami penebangan ilegal secara terus menerus yang dapat meluas ke areal hutan di sekitarnya. Selain itu, kelima Wilayah Terindikasi juga menunjukkan urgensi pada aspek mitigasi kerusakan lingkungan karena tercatat masifnya penebangan hutan secara ilegal, lahan kritis, dan risiko dampak perubahan iklim di kabupaten dan/atau kecamatan tersebut.

Oleh karena itu, pejabat yang berwenang dalam perlindungan kawasan hutan di Kelima Wilayah Terindikasi perlu segera melakukan verifikasi lapangan dan tindakan pencegahan terhadap perluasan penebangan dan pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal. Urun daya masyarakat setempat dengan memberikan informasi dari lapangan juga dapat memperkuat proses verifikasi tersebut. Jika verifikasi lapangan tidak dilakukan dengan segera, penebangan hutan ilegal akan semakin masif dan dampak negatif kerusakan lingkungan tidak dapat terelakkan. Semakin luas kawasan hutan yang telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kegiatan non-kehutanan, upaya penanggulangan dan pemulihan akan semakin sulit dilakukan.

Wilayah Terindikasi Pertama (#1) - Kabupaten Kampar perlu menjadi fokus perhatian karena telah muncul di Pantau Jejak Edisi Ketiga. Fakta ini menunjukkan adanya penebangan hutan yang berkelanjutan dan memiliki potensi perluasan hutan yang ditebang secara ilegal. Selain itu, Provinsi Sulawesi Tenggara juga perlu menjadi fokus perhatian karena pada edisi keempat ini muncul dua Wilayah Terindikasi, yakni Wilayah Terindikasi Kedua (#2) - Kabupaten Buton dan Muna - dan Wilayah Terindikasi Keempat (#4) - Kabupaten Kolaka.

2. Setelah Verifikasi Lapangan Dilakukan, Upaya Penanganan Harus Mempertimbangkan Aspek Sosial-Ekonomi Masyarakat Setempat.

Indikasi penebangan hutan di kelima Wilayah Terindikasi tersebut sarat dengan kegiatan ekonomi masyarakat berskala kecil. Oleh karena itu, setelah verifikasi dilakukan, upaya penanganan perlu mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat. Mekanisme penanganan yang dilakukan sebaiknya memuat skema penyelesaian konflik, perhutanan sosial, reformasi agraria, dan penanganan hukum yang logis dan adil. Tidak hanya itu, penelusuran pelaku juga perlu dilakukan sampai kepada sang dalang (pelaku intelektual) dari perambahan hutan, yang mengambil keuntungan dari kegiatan penebangan hutan secara ilegal tersebut.


Catatan Kaki:

Pantau Jejak dikembangkan dari metode Places to Watch untuk mengidentifikasi area yang terindikasi mengalami penebangan hutan secara ilegal. Penebangan hutan secara ilegal adalah penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa izin yang sah atau dengan izin yang sah namun tidak sesuai dengan ketentuan dalam izin sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Area tersebut diidentifikasi berdasarkan peringatan GLAD yang tinggi.

Kami menggunakan ukuran sel grid 5x5 km dan bukan ukuran 10x10 km seperti di Places to Watch, karena ukuran grid 5x5 km dapat menangkap penyebab kehilangan hutan di tingkat negara dengan cukup baik. Untuk mengindikasikan areal kehilangan hutan, data peringatan GLAD ditapis dengan tutupan hutan (tidak memasukkan kelas hutan tanaman industri, hanya hutan primer dan hutan sekunder) dari data penutupan hutan KLHK. Kemudian, setiap sel 5x5km di-overlay dengan data kawasan hutan untuk melihat indikasi penebangan hutan secara ilegal di kawasan hutan dan izin konsesi perusahaan seperti HPH, HTI, izin pinjam pakai kawasan hutan, restorasi ekosistem, dan perhutanan sosial untuk mengeluarkan indikasi penebangan pohon yang sah. Pada tahap ini, setiap sel memiliki skor yang memperlihatkan peringatan GLAD dengan overlay data kawasan hutan yang tidak terdapat izin konsesi. Kemudian, kami memilih 10 area teratas untuk divalidasi lebih lanjut dengan citra resolusi paling tinggi. Lalu, kami menggunakan metode Queen's Case Neighborhood untuk mendeteksi apabila dalam deretan area teratas terdapat sel saling berdempetan secara diagonal dan tegak lurus yang juga terdeteksi adanya peringatan GLAD dalam jumlah besar dengan mengelompokkan ke dalam satu grup sel yang sama. Setelah divalidasi dan diidentifikasi penyebab kehilangan hutan menggunakan data citra resolusi paling tinggi, kami memilih 5 area teratas untuk ditampilkan dalam blog Pantau Jejak ini.

Kawasan hutan adalah areal yang ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagai hutan tetap sehingga tidak boleh digunakan untuk kegiatan non-kehutanan. Kawasan ini dibagi menjadi 3 fungsi utama, yaitu konservasi (untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya) , lindung (untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan seperti air, mitigasi bencana dll), serta produksi (untuk memproduksi hasil hutan). Kawasan konservasi dan lindung pada dasarnya tidak boleh dimanfaatkan kayunya, sementara di kawasan hutan produksi, pemanfaatan kayu dapat diizinkan dengan penghutanan kembali. Kawasan hutan produksi dibagi menjadi 3, yaitu kawasan hutan produksi terbatas, produksi tetap, dan produksi yang dapat dikonversi. Ketiga jenis kawasan hutan produksi ini memiliki kriteria yang berbeda dan secara berurutan memiliki gradasi dari yang paling terbatas lingkup pemanfaatannya sampai ke yang paling luas. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dapat dimanfaatkan secara luas, bahkan merupakan areal pencadangan untuk pengembangan transmigrasi, pemukiman, pertanian, dan perkebunan - yang mana untuk pengembangan non-kehutanan perlu melalui prosedur pelepasan kawasan hutan.

Sumber data:

1. Peringatan GLAD dari University of Maryland via Global Forest Watch. Peringatan GLAD menunjukkan kehilangan tutupan pohon mingguan pada area 30x30 meter. Setiap piksel mewakili kehilangan 50% atau lebih tutupan pohon pada area 0,01 hektar.

2. Data Kawasan Hutan dan Izin Konsesi dari geoportal KLHK diakses pada bulan Oktober 2018

3. Data Penutupan Lahan 2017 dari geoportal KLHK diakses pada bulan April 2018