Edisi keempat belas ini menyajikan 5 wilayah teratas untuk dipantau yang terindikasi mengalami penebangan hutan ilegal selama periode 1 April – 30 Juni 2021. Pantau Jejak menggunakan metode dan data GLAD Alert dari Global Forest Watch yang dianalisis setiap periode tiga bulanan.

#1 Desa Taringen, Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah: 121,14 Ha

Kecamatan Manuhing di Kabupaten Gunung Mas kembali muncul dalam laporan Pantau Jejak. Wilayah terindikasi #1 berada dalam Kawasan Hutan Produksi Konversi dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Wilayah ini berbatasan dengan lokasi izin konsesi kelapa sawit di sebelah Barat dan merupakan perluasan pembukaan hutan sebelumnya. Pengamatan citra satelit menunjukkan pembukaan hutan dilakukan dengan pola teratur dan luasan besar yang terhubung dengan jaringan jalan. Ini merupakan kali ketiga lokasi pembukaan ini muncul dalam laporan Pantau Jejak, yang sebelumnya juga muncul dalam Edisi 9 dan Edisi 12. Hingga akhir periode pengamatan wilayah hutan yang dibuka belum dimanfaatkan. Hilangnya tutupan lahan kering sekunder seluas 121,14 hektar memiliki potensi emisi karbon sebesar 44.883,8 tCO2e atau setara dengan emisi yang dihasilkan seorang pengemudi motor untuk menempuh perjalanan lebih dari 525 juta km!

Kecamatan Manuhing telah diberitakan sebagai salah satu wilayah yang rentan terhadap kejahatan illegal logging di Kabupaten Gunung Mas. Munculnya kembali wilayah ini pada edisi Pantau Jejak untuk ketiga kalinya menunjukkan bahwa tindakan verifikasi perlu segera dilakukan untuk memastikan legalitas pembukaan hutan tersebut. Apabila terbukti terdapat tindakan ilegal, maka perlu dilakukan penindakan yang tegas untuk mencegah terulangnya kegiatan serupa dan meluasnya kehilangan hutan.

#2 Desa Air Hitam, Kecamatan Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat: 102,33 Ha

Wilayah terindikasi #2 berada dalam Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Konversi yang dikelola oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit IX Pesisir Selatan dengan tutupan hutan rawa sekunder. Wilayah ini terindikasi berada dalam kawasan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut Tahun 2021 Periode 2, dan berdekatan dengan lokasi izin konsesi sawit. Pengamatan citra satelit menunjukkan terdapat saluran kanal yang menghubungkan perkebunan sawit di sebelah timur dan wilayah pembukaan ini hingga ke pesisir yang merupakan bagian dari Kawasan Hutan Lindung. Pembukaan hutan yang terjadi tidak berukuran besar dan wilayah hutan yang dibuka belum terlihat dimanfatkan hingga akhir periode pengamatan. Hilangnya tutupan hutan rawa sekunder seluas 102,33 hektar memiliki potensi emisi karbon sebesar 37.914,5 tCO2e, setara dengan emisi yang dihasilkan seorang pengemudi motor untuk menempuh perjalanan sekitar 444 juta km.

Belum ada pemberitaan terbaru mengenai kejahatan hutan di wilayah terindikasi #2. Akan tetapi, pada bulan April 2021, terjadi banjir bandang di Kabupaten Pesisir Selatan. Perambahan ilegal diduga menjadi penyebab terjadinya banjir tersebut.

#3 Desa Sakuli, Kecamatan Latambaga, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara: 93,42 Ha

Wilayah terindikasi #3 berada di Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi dengan tutupan hutan lahan kering primer. Pembukaan hutan ini terindikasi berada dalam lokasi izin Hutan Kemasyarakatan yang masih berada dalam Kawasan Hutan Lindung. Pengamatan citra satelit menunjukkan pembukaan hutan dilakukan dengan pola tidak beraturan dan luasan berukuran kecil. Diduga pembukaan hutan ini untuk perluasan wilayah pertanian lahan kering, seperti tutupan lahan yang berada di sekitarnya. Namun, hingga akhir periode pengamatan wilayah pembukaan hutan tersebut belum terlihat dimanfaatkan untuk kegiatan apapun. Hilangnya tutupan hutan lahan kering primer seluas 93,42 hektar memiliki potensi emisi karbon sebesar 34.613,2 tCO2e, setara dengan emisi yang dihasilkan seorang pengemudi motor untuk menempuh perjalanan sekitar 405 juta km.

Beberapa waktu lalu, salah satu anggota DPRD Kolaka memberikan komentar bahwa pengawasan hutan di daerah tersebut belum efektif, terbukti dengan makin banyaknya perambahan yang terjadi di Kabupaten Latambaga.

#4 Desa Terusan Danum, Kecamatan Tewang Sangalang Garing, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah: 85,23 Ha

Wilayah terindikasi #4 berada di Kawasan Hutan Produksi Terbatas dengan tutupan hutan rawa sekunder. Wilayah pembukaan hutan ini merupakan perluasan dari lokasi #2 Edisi 13 yang terindikasi merupakan perluasan dari kegiatan pertambangan (open pit mining). Kegiatan pertambangan yang ditunjukkan dalam citra satelit terindikasi ilegal karena tidak adanya izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP). Selain itu, wilayah ini juga terindikasi berada dalam izin lokasi konsesi kebun sawit yang berbatasan dengan lokasi izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di sebelah barat. Hilangnya tutupan hutan rawa sekunder seluas 85,23 hektar memiliki potensi emisi karbon sebesar 31.578,7 tCO2e atau setara dengan emisi yang dihasilkan seorang pengemudi motor untuk menempuh perjalanan sekitar 369 juta km.

Beberapa waktu lalu, Polsek setempat melaksanakan sosialisasi terkait kejahatan lingkungan karena maraknya kasus illegal logging dan Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) di Kecamatan Tewang Senggalang Garing. Verifikasi perlu segera dilakukan karena wilayah terindikasi #4 telah masuk dalam dua edisi Pantau Jejak secara berturut-turut.

#5 Desa Kutotuo Barat, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Riau: 81,36 Ha

Indikasi pembukaan hutan kembali terjadi dalam wilayah Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut Tahun 2021 Periode 2. Wilayah terindikasi #5 berada dalam Kawasan Hutan Lindung yang dikelola oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit XVI Suligi Batu-Gajah dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Pembukaan hutan terindikasi berbatasan dengan izin lokasi kebun sawit di sebelah barat daya. Pengamatan citra satelit menunjukan banyaknya tutupan lahan perkebunan di sekitar lahan yang dibuka, akan tetapi hingga akhir periode pengamatan lahan yang dibuka terlihat belum dimanfaatkan, sehingga pendorong pembukaan hutan belum dapat dipastikan. Hilangnya tutupan hutan alam primer dan lahan gambut seluas 81,36 memiliki potensi emisi karbon sebesar 30.144,8 tCO2e atau setara dengan emisi yang dihasilkan seorang pengemudi motor untuk menempuh perjalanan sekitar 353 juta km.

Berdasarkan pemberitaan media setempat, cukup banyak perkebunan sawit yang merambah kawasan hutan di Kabupaten Kampar. Penelusuran tim WRI Regional Riau mengindikasikan kemungkinan adanya ekspansi kebun sawit yang berbatasan langsung dengan Hutan Lindung atau pembukaan lahan oleh petani setempat. Mengingat kawasan hutan lindung tidak dimungkinkan untuk dilepas menjadi kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) untuk kegiatan non -kehutanan, verifikasi perlu dilakukan untuk memastikan penyebab pasti pembukaan lahan tersebut.

Langkah Selanjutnya

Daftar Kelima Wilayah Teratas tersebut masih berupa indikasi, yang dihasilkan dari analisis menggunakan sejumlah instrumen. Namun demikian, hasil analisis ini dapat menjadi petunjuk dalam menentukan wilayah hutan prioritas untuk dipantau dari ancaman penebangan ilegal. Potensi emisi karbon tertera di atas dihitung menggunakan angka rata-rata faktor emisi dari setiap tutupan lahan hutan di Indonesia yang dikutip dari dokumen Forest Reference Emission Level (FREL) Indonesia untuk memberikan gambaran besaran karbon teremisi dari kelima wilayah pembukaan hutan secara liar tersebut. Selain itu, potensi emisi karbon yang hilang dari pembalakan liar juga disetarakan dengan perhitungan emisi individu yang dikembangkan tim Emisi WRI Indonesia. Selanjutnya, langkah-langkah yang perlu diambil atas temuan ini adalah:

1. Verifikasi Lapangan dan Tindakan untuk Mencegah Perluasan Kegiatan Penebangan Hutan Ilegal di Kelima Wilayah Terindikasi.

Pada edisi ini, wilayah terindikasi #1 dan #4 perlu mendapat perhatian khusus karena kedua wilayah merupakan perluasan dari pembukaan sebelumnya, dan Provinsi Kalimantan Tengah juga perlu mendapat perhatian karena lokasi dimana kedua wilayah tersebut berada. Selain itu, masuknya indikasi kegiatan sawit dan pertambangan di Kawasan Hutan memerlukan verifikasi lapangan lebih lanjut, untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut memiliki izin usaha atau pelaku kegiatan sedang mengurus izin pelepasan kawasan hutan sesuai amanat Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Apabila kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka kegiatan-kegiatan non-kehutanan tersebut harus ditindaklanjuti dengan sanksi yang tegas.

Institusi yang berwenang dalam perlindungan kawasan hutan di kelima wilayah terindikasi, yaitu unit-unit Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), Balai Besar Taman Nasional, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Dinas Kehutanan Provinsi, dan Kepolisian setempat, secara kolaboratif perlu segera melakukan verifikasi lapangan dan tindakan pencegahan terhadap perluasan penebangan dan pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan sosialisasi, penyuluhan, dan pendampingan pada masyarakat setempat seperti yang dilakukan Polsek Tewang Sangalang Garing pada wilayah terindikasi #4, serta menindak tegas pelaku pelanggaran kerusakan hutan. Jika verifikasi lapangan dan tindakan pencegahan perluasan pembukaan hutan tidak dilakukan segera, dikhawatirkan penebangan hutan ilegal akan semakin masif dan dampak negatif kerusakan lingkungan tidak dapat terelakkan, pun akan sulit melakukan upaya penanggulangan dan pemulihan.

2. Penanganan di Wilayah Terindikasi #3 dan #5 Harus Mempertimbangkan Aspek Sosial-Ekonomi Masyarakat Setempat.

Indikasi penebangan hutan di wilayah terindikasi #3 dan #5 diduga sarat dengan kegiatan ekonomi masyarakat berskala kecil. Verifikasi lapangan diperlukan untuk memastikan penyebab penebangan ilegal di wilayah terindikasi #3, apakah dilakukan masyarakat pemegang izin perhutanan sosial atau pihak luar. Berdasarkan pasal 93 ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, pemegang izin Perhutanan Sosial dilarang untuk menebang pohon pada kawasan dengan fungsi hutan lindung.

Peran serta masyarakat setempat dengan memberikan informasi dari lapangan juga dapat memperkuat proses verifikasi tersebut. Pada lokasi #5, Tim WRI Regional Riau juga bekerja sama dengan masyarakat setempat dalam melakukan pemantauan hutan. Oleh karena itu, setelah verifikasi dilakukan, upaya penanganan perlu mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat. Mekanisme penanganan yang dilakukan sebaiknya mempertimbangkan berbagai opsi skema penyelesaian konflik disertai dengan upaya penegakan hukum yang adil, seperti evaluasi izin perhutanan sosial. Tidak hanya itu, penelusuran pelaku juga perlu dilakukan sampai kepada dalang (pelaku intelektual dan pemilik modal) yang mengambil keuntungan dari kegiatan penebangan hutan secara ilegal tersebut dan tidak terbatas pada pelaku lapangan saja.

3. Bekerja Sama dengan Dinas Kehutanan Setempat dan Organisasi Masyarakat Pemantau Hutan.

WRI Indonesia telah memperkenalkan berbagai macam data dan tool yang digunakan dalam analisa Pantau Jejak ini kepada staff KPH dan Taman Nasional, organisasi masyarakat, dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan untuk bekerjasama dalam melakukan pemantauan hutan guna mencegah pembalakan liar. Data Pantau Jejak merupakan indikasi awal yang kemudian dapat ditindaklanjuti oleh pihak terkait untuk melakukan verifikasi lapangan guna mendapatkan bukti yang lebih kuat untuk keperluan penegakan hukum.