Menjelang berakhirnya masa berlaku Peraturan Presiden 9/2016 tentang Percepatan Kebijakan Satu Peta pada akhir tahun ini, kiranya jelas bahwa Presiden Jokowi tetap menganggap Kebijakan Satu Peta sebagai salah satu kebijakan kunci dalam menyelesaikan masalah tumpang tindih penggunaan ruang. Visi-Misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang berjudul Meneruskan Jalan Perubahan Untuk Indonesia Maju menyebutkan hal tersebut.

Hal ini mengingatkan kembali pada pidatonya saat peluncuran Geoportal Kebijakan Satu Peta (KSP) 11 Desember 2018 lalu, Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo mengatakan: “Saya semakin tahu, semakin sadar, bahwa di negara kita ini terlalu banyak yang namanya tumpang tindih pemanfaatan lahan. Semakin ke lapangan semakin tahu, di mana-mana urusannya itu. Artinya kita harapkan dengan Kebijakan One Map Policy ini, Kebijakan Satu Peta ini, tadi yang saya sampaikan, tumpang tindih pemanfaatan lahan ini bisa kita selesaikan.”

Harapan Presiden tersebut adalah harapan seluruh masyarakat Indonesia. Ini termasuk para pekebun kecil yang 20 tahun terakhir menggarap lahan di suatu kawasan hutan meski belum terdaftar (namun de facto legal karena telah memanfaatkannya selama 20 tahun), masyarakat adat yang telah bergenerasi memanfaatkan kawasan hutan sebagai sumber penghidupan tetapi belum diakui negara secara hukum (karena belum ada peraturan daerah atau keputusan kepala daerah yang menetapkannya), juga pengusaha yang memperoleh konsesi pemanfaatan hutan tetapi tumpang tindih dengan lahan milik pekebun kecil dan masyarakat adat.

Namun, apakah para pekebun kecil, masyarakat adat, dan pemegang konsesi tersebut dapat mencermati wilayah masing-masing melalui geoportal KSP? Jika jawabannya tidak, bagaimana caranya agar secara perpetaan, mereka tahu persis lokasi tanah yang tumpang tindih untuk membantu menyelesaikan masalahnya?

Geoportal KSP memuat 83 dari 85 Informasi Geospasial Tematik seturut Peraturan Presiden 9/2016 tentang Percepatan KSP. Tetapi, dari sisi akses, Keputusan Presiden nomor 20/2018 tentang Kewenangan Akses Berbagi Data dalam Percepatan KSP menetapkan bahwa baru lembaga pemerintah saja yang dapat mengakses peta-peta dalam geoportal KSP. Mencermati situasi hipotetis yang menimpa pekebun kecil, masyarakat adat, dan pemegang konsesi di atas, apa yang harus disiapkan Pemerintah Indonesia agar harapan Presiden Jokowi untuk menuntaskan tumpang tindih dapat terpenuhi? Bagaimana KSP dapat meniadakan masalah tumpang tindih pemanfaatan lahan?

Langkah pertama adalah memastikan para pihak dapat mengakses peta-peta yang relevan pada geoportal KSP. Akses untuk publik adalah unsur dasar transparansi yang menjadi kunci dalam membangun kepercayaan para pihak, termasuk yang saling bersengketa sehingga penyelesaian dapat tercapai.

Salah satu kemungkinan alasan tidak diberikannya akses publik seturut Keputusan Presiden 20/2018 adalah kekhawatiran bahwa peta-peta tersebut akan dimanipulasi pihak tidak bertanggung jawab. Contohnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan keberatannya pada Kasus Citra Hartati, S.H., M.H. vs KLHK dan Kasus Greenpeace vs KLHK yang menuntut bagi pakai peta untuk publik dalam format digital tertentu. Format tersebut memungkinkan pengguna untuk melakukan analisis spasial sehingga dapat mengetahui, misalnya, tumpang tindih.

Kekhawatiran serupa juga tersirat dalam penundaan pembukaan informasi Hak Guna Usaha kepada publik oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (KATR), termasuk peta areal/peta wilayah konsesi, meski telah lewat setahun Mahkamah Agung memutuskan informasi tersebut sebagai informasi terbuka untuk publik.

Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut, saat ini, teknologi sertifikasi elektronik yang memuat tanda tangan elektronik atas dokumen elektronik, termasuk peta, telah tersedia. Lembaga pemerintah dan regulasi nasional yang melandasinya juga tersedia, seperti UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU 4/2011 tentang Informasi Geospasial. Sertifikasi elektronik menjamin bahwa peta-peta tersebut tidak dapat dimanipulasi tanpa diketahui oleh penerbit peta tersebut, yaitu kementerian/lembaga negara.

Selanjutnya, penerbit peta dapat mengatur informasi apa saja yang dapat diakses. Misalnya, untuk informasi konsesi perkebunan, hanya batas lahan konsesi, nomor konsesi, dan tanggal penerbitan saja yang dapat diketahui publik. UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah mengatur pembatasan keterbukaan informasi publik melalui mekanisme uji konsekuensi, yang merupakan metode objektif untuk dapat menilai konsekuensi dari keterbukaan informasi terhadap kepentingan publik.

Langkah kedua adalah memungkinkan peta partisipatif atau peta yang dibuat sendiri oleh masyarakat untuk masuk ke ranah KSP. Fitur ini antara lain dapat digunakan untuk membuktikan klaim pekebun kecil dan masyarakat adat, sehingga terjadi dialog yang tuntas dengan pemegang konsesi yang telah secara legal administratif memiliki penguasaan atas wilayah termaksud.

Namun demikian, tentunya dibutuhkan protokol dan standar yang mengatur proses verifikasi dan pengadopsian peta partisipatif dalam domain KSP. Juga dibutuhkan protokol dan standar dalam proses sinkronisasi dan penuntasan tumpang tindih, sehingga diperoleh keputusan akhir yang memenuhi kepastian hukum dan aspirasi para pihak secara optimal. Badan Informasi Geospasial (BIG), KATR, KLHK, dan Kementerian Dalam Negeri telah mengembangkan berbagai regulasi untuk mendukung hal tersebut. Namun, perlu dorongan politik Presiden untuk menguatkannya menjadi regulasi yang berlaku lintas sektoral/kementerian/lembaga.

Salah satu dorongan politik Presiden adalah penerbitan Peraturan Presiden 86/2018 tentang Reforma Agraria. Regulasi ini dapat menjadi landasan pengadopsian peta partisipatif dalam kerangka penuntasan sengketa dan konflik agraria. Peta partisipatif dan informasi geospasial terkait lainnya serta peta definitif hasil kesepakatan para pihak dalam penuntasan tumpang tindih akan menjadi sumber pemutakhiran peta-peta KSP.

Melalui partisipasi masyarakat, sejalan dengan waktu, kualitas akurasi informasi geospasial pada peta-peta tersebut semakin meningkat. Sejalan itu pula, tingkat kepercayaan pemangku kepentingan pengguna peta-peta KSP atas akuntabilitasnya akan semakin meningkat.

Langkah ketiga adalah menetapkan langkah-langkah sinkronisasi penuntasan tumpang tindih dalam tingkatan regulasi yang tinggi dan mengikat lintas sektoral. Sejalan dengan peluncuran geoportal KSP, diluncurkan pula buku Pedoman Pelaksanaan Sinkronisasi Permasalahan Tumpang Tindih Antar Informasi Geospasial Tematik (IGT) KSP yang diterbitkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan BIG selaku pengampu Perpres 9/2016. Pedoman ini kiranya perlu diberi kekuatan hukum yang lebih tinggi agar menjadi panduan teknis proses penuntasan tumpang tindih dan pelembagaannya dalam kerangka KSP.

Prakondisi yang diperlukan untuk memenuhi harapan Presiden Jokowi terhadap KSP adalah kolaborasi yang kuat antar kementerian/lembaga, dengan visi penuntasan masalah dan penguatan tata kelola lahan serta sumber daya alam. Hal ini membutuhkan kepercayaan atau trust antar kementerian/lembaga untuk bekerja sama secara terbuka.

Ketiga langkah tersebut diatas hanya akan dapat terlaksana jika ada kesamaan visi dan diikuti dengan kolaborasi sebenar-benarnya. Keajekan dan magnitud dukungan politik Presiden seperti yang ditunjukkan dalam peluncuran geoportal KSP dan Visi-Misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih adalah faktor kunci keberhasilan KSP dalam menyelesaikan masalah tumpang tindih pemanfaatan lahan.