Artikel ini diterbitkan oleh koran.tempo.co pada tanggal 19 Agustus 2020.

Saat ini dunia sedang melewati masa pandemi COVID-19 yang telah berlangsung lebih dari enam bulan, tidak terkecuali Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, pandemi ini turut menekan sektor ekonomi kita. Berbagai lembaga internasional seperti Bank Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Dana Moneter Internasional (IMF), telah menyerukan agar respons jangka panjang negara dalam mengatasi pandemi COVID-19 juga digunakan untuk mengatasi krisis iklim. Jika krisis iklim tidak sekaligus ditangani, dampak buruk bagi perekonomian Indonesia dan kesejahteraan masyarakat akan dirasakan dalam jangka panjang.

Salah satu kontributor utama dalam krisis iklim adalah sektor energi, yang menurut data World Resources Institute (WRI) menghasilkan 73% dari total emisi gas rumah kaca dunia. Polutan dari proses pembakaran bahan bakar di pembangkit berbahan bakar fosil, termasuk karbon monoksida (CO) dan sulfur dioksida (SO2), sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Pengelolaan sektor energi yang beralih dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan harus diutamakan.

Transisi menuju energi terbarukan dapat didukung oleh permintaan dari perusahaan dan sektor industri, yang berkontribusi pada 32 persen konsumsi listrik di Indonesia. Banyak perusahaan multinasional di dunia, termasuk yang beroperasi di Indonesia, telah memiliki target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Misalnya, lebih dari 240 perusahaan global yang tergabung dalam RE100 berkomitmen untuk melistriki fasilitas mereka dari sumber energi terbarukan. Sayangnya, perusahaan-perusahaan di Indonesia masih memiliki opsi yang terbatas untuk melistriki fasilitas dan rantai pasok mereka dari sumber energi terbarukan.

Saat ini, opsi yang tersedia bagi perusahaan adalah memasang pembangkit on-site energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap atau mendirikan pembangkit terintegrasi (captive power) off-grid. Namun pembangunan pembangkit terintegrasi memiliki tantangan tersendiri, mengingat sumber energi terbarukan biasanya tidak tersedia di sekitar lokasi fasilitas operasi perusahaan, khususnya di Pulau Jawa. Karena itu, perlu dipertimbangkan sebuah mekanisme yang dapat memudahkan transfer listrik dari sumber energi terbarukan ke fasilitas operasi perusahaan secara langsung, atau disebut sebagai “power wheeling” atau pemanfaatan bersama jaringan listrik.

Skema power wheeling bukanlah hal yang asing karena telah banyak diterapkan di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan Filipina untuk reformasi sektor energi menuju energi terbarukan (JICA, 2016). Di Indonesia, aturan dasar mengenai power wheeling telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Penyediaan Tenaga Listrik dan Pemanfaatan Bersama Jaringan Tenaga Listrik. Akan tetapi masih terdapat beberapa tantangan.

Pertama, model bisnis untuk skema ini adalah transfer listrik bagi pemegang Izin Operasi (IO) untuk penyaluran ke perusahaan sendiri. Hal ini memungkinkan bagi perusahaan yang mampu membangun pembangkit sendiri walaupun jauh dari fasilitas perusahaan. Model bisnis lainnya yaitu jual-beli listrik antara pembangkit listrik swasta dengan pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL) di Wilayah Usaha yang berbeda. Namun sulit bagi swasta untuk memperoleh Wilayah Usaha karena sebagian besar Wilayah Usaha dipegang oleh PLN (di satu area, hanya diperbolehkan adanya satu Wilayah Usaha).

Keterbatasan model bisnis ini dapat berdampak pada kurang masifnya transfer energi terbarukan untuk melistriki fasilitas swasta. Padahal fleksibilitas bagi pihak swasta untuk melakukan transaksi langsung dalam skema ini dapat meningkatkan pengembangan energi terbarukan dalam skala besar, ketika swasta dapat membantu menjamin suplai listrik dari sumber energi terbarukan serta menjaga pasokan dan tarif listrik. Untuk mengatasi tantangan ini, PLN perlu mengubah paradigma bisnis agar skema power wheeling dapat diterapkan secara luas, mulai dari perencanaan pembangunan pembangkit, operasi sistem, hingga sasaran pelanggan.

Kedua, rincian skema ini banyak yang belum diatur dalam Peraturan Menteri ESDM tersebut, termasuk porsi keterlibatan setiap pihak dan petunjuk teknis mengenai harga sewa jaringan. Sebagai langkah awal untuk mengoptimalisasi model bisnis yang tersedia, PLN dapat mulai menerbitkan petunjuk teknis terkait formulasi harga sewa jaringan transmisi dan distribusi serta prosedur standar teknis penerapan pemanfaatan bersama jaringan listrik. Di sisi lain, Kementrian Energi juga harus berpartisipasi aktif dalam memastikan transparansi dan keadilan terkait harga sewa jaringan untuk memberikan kepastian baik bagi PLN dan pelanggan.

Berdasarkan diskusi penulis dengan beberapa perusahaan, kemudahan dalam mendapatkan energi terbarukan belakangan ini menjadi salah satu faktor penentu investasi dari luar negeri. Negara tetangga, seperti Vietnam dan Filipina, telah melakukan langkah-langkah strategis dalam memenuhi kebutuhan keberlanjutan sektor industri, termasuk penerapan skema power wheeling. Cepat atau lambat, Indonesia harus tegas menentukan dan mendorong transisi menuju energi terbarukan untuk mengunci investasi asing.