Pembalakan liar merupakan salah satu penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut di Indonesia (Strategi Nasional REDD+, 2012). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkirakan 486,4 – 629,2 juta m3 kayu ditebang dari hutan alam di Indonesia selama tahun 2003-2014 secara tidak sah (2015). Akibat dari kayu tidak sah tersebut, KPK memperkirakan Indonesia kehilangan Rp. 49,8–66,6 triliun per tahun. Angka ini belum termasuk kerugian Negara dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut tersebut.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan upaya penegakan hukum terhadap praktik-praktik pembalakan liar. Selain itu, KLHK juga telah mengembangkan Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK), yang merupakan instrumen berbasis pasar untuk memastikan kayu yang masuk ke pasar, baik dalam maupun luar negeri, adalah kayu legal – dalam arti kayu yang ditebang, diangkut, dan dijual sesuai dengan hukum yang berlaku. Sistem ini diharapkan dapat memperkuat kontrol negara terhadap kayu Indonesia yang diperdagangkan di pasar dalam negeri dan internasional.

Keterlacakan kayu (timber traceability) merupakan elemen utama dalam SVLK tersebut. Elemen ini memampukan pejabat berwenang (baik Negara pengekspor maupun pengimpor) dan konsumen (baik konsumen bahan baku kayu maupun produk akhir berbahan kayu) untuk mengecek legalitas kayu yang diperjual-belikan pada setiap titik rantai pasokan. Keterlacakan kayu dapat pula memperkuat penegakan hukum terhadap tindak pidana pembalakan liar. Keterlacakan kayu dapat membantu penegak hukum untuk mengidentifikasi jenis spesies kayu dan lokasi asal kayu tersebut, yang dapat membuktikan legalitas kayu tersebut. Rantai peredaran kayu dari hulu ke hilir dapat pula menunjukkan siapa saja yang aktor yang terlibat – bukan hanya sekadar pelaku lapangan. Dengan demikian, sistem keterlacakan kayu dan SVLK dapat menjadi instrumen penegakan hukum.

Untuk efektivitas keterlacakan kayu bagi penegakan hukum tersebut, terdapat berbagai teknologi inovatif yang dapat diaplikasikan. Sistem barcoding, yaitu penanda optik pada kayu yang dapat dibaca mesin dan menyambungkan aparat penegak hukum dengan sistem data informasi mengenai spesies dan asal kayu tersebut, adalah salah satu contohnya dan telah digunakan dalam sistem penatausahaan kayu di Indonesia. Selain itu, terdapat pula berbagai pilihan teknologi lain, seperti analisis anatomi dan genetika kayu, penginderaan jauh dan lain sebagainya, yang dapat dipakai penegak hukum untuk melacak kayu. Berbagai teknologi ini berpeluang untuk memperkuat penegakan hukum tindak pidana pembalakan liar, baik sebagai instrument penindakan maupun pencegahan, namun belum popular digunakan di Indonesia dalam konteks pemberantasan pembalakan liar tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, WRI Indonesia menyelenggarakan lokakarya mengenai penggunaan teknologi pelacakan kayu untuk memperkuat pemantauan kehutanan independen. Lokakarya ini bertujuan untuk:

  1. Memperkenalkan berbagai pilihan teknologi pelacakan kayu
  2. Mengidentifikasi peluang dan tantangan penggunaan teknologi pelacakan kayu dalam pemantauan kehutanan independen
  3. Membangun gagasan untuk memperkuat sistem pelacakan kayu di Indonesia serta mengidentifikasi upaya-upaya kolaboratif yang perlu dilakukan untuk memperkuat pemantauan independen dalam kaitannya dengan sistem pelacakan kayu dan penegakan hukum