Oleh Dwiki Ridhwan, Peneliti GIS Analyst Regional Riau dan Sakinah Ummu Haniy Asisten Komunikasi WRI Indonesia.

Pandemi COVID-19 mengubah cara kita melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk cara bekerja di WRI Indonesia. Sejak Maret hingga sekarang, seluruh karyawan diwajibkan bekerja dari rumah (work from home/WFH), termasuk kantor regional WRI Indonesia yang tersebar di Riau, Sumatra Selatan, Papua, dan Papua Barat.

Dengan segala keterbatasan sejak berlakunya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah menyebarnya COVID-19, banyak kegiatan yang dilakukan secara online. WRI Indonesia menginisiasi berbagai instansi menyelenggarakan rangkaian webinar belajar online #dirumahaja yang salah satunya membahas tentang pengelolaan hutan berkelanjutan. Kami juga berkolaborasi dengan mitra untuk menggalang donasi penanaman pohon.

Berbagai instansi pemerintah juga turut menyelenggarakan kegiatan online, seperti pelatihan pendampingan perhutanan sosial dan pembelajaran mengenai lahan gambut. Bahkan ada cerita masyarakat adat yang tinggal di hutan perlu menempuh 70 km demi menangkap sinyal untuk menyaksikan kuliah online.

Namun, bagaimana caranya agar berbagai gagasan yang muncul dari kegiatan online tersebut dapat berdampak langsung, terutama bagi mereka yang tinggal di dalam dan sekitar hutan?

Dalam darurat kesehatan sekaligus ekonomi seperti saat ini, banyak masyarakat di sekitar hutan yang sumber penghasilannya menurun karena permintaan pasar yang menurun, baik untuk produk perkebunan kelapa sawit, tanaman pangan, atau hasil hutan. Mengambil pelajaran dari krisis ekonomi tahun 1997, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan harus menjadi prioritas di masa pemulihan ekonomi dari krisis ekonomi. Angka deforestasi meningkat tajam pada masa krisis ekonomi tersebut, bahkan banyak kasus yang menunjukkan pelaku utamanya ialah masyarakat di sekitar hutan. Oleh karena itu, upaya melindungi dan memperbaiki tata kelola hutan di masa pandemic tidak boleh terhenti. Jika garda terakhir perlawanan COVID-19 adalah tenaga medis, maka garda terakhir pencegah perusakan hutan ialah mereka yang tinggal di sekitar hutan.

Sebelum pandemi, WRI Indonesia Regional Riau telah mendampingi masyarakat di lebih dari 10 desa, termasuk para petani swadaya dan masyarakat adat yang hidup di sekitar hutan. Di tengah pandemi, pendampingan terus dilakukan untuk memastikan program tetap berjalan, tentunya dengan beberapa penyesuaian. Berikut ialah dua cerita dari lapangan mengenai langkah adaptasi yang kami lakukan di Riau.

1. Pembiasaan Diskusi Online

Sejak tahun 2017, kami mendampingi masyarakat Desa Tandun dalam mendorong perbaikan tata kelola lahan. Sebagian besar masyarakat Desa Tandun menggantungkan hidupnya pada komoditas kelapa sawit, tetapi beberapa di antaranya telah merambah hingga ke dalam Kawasan Hutan dan mengancam kelestarian hutan. Akhirnya, secara perlahan tapi pasti, masyarakat berkomitmen untuk secara bertahap berpindah haluan ke arah pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Di areal yang mereka usulkan sebagai Hutan Desa, akan dilaksanakan rehabilitasi dengan sistem budidaya agroforestry, yaitu perpaduan antara tanaman pertanian (misalnya kopi, cabe rawit, dan jenis-jenis tanaman pangan dan jangka pendek) dengan pohon atau tanaman tahunan (misalnya durian, matoa, aren, dan jenis-jenis tanaman hutan).

Namun, seiring berjalannya waktu, kami dan para petani bisa beradaptasi. Beruntung, pada masa pandemi ini, petani masih dapat melakukan aktivitas hariannya di lahan mereka secara terbatas, misalnya panen atau tanam. Kami terus diberi informasi terbaru dari lapangan mengenai kegiatan-kegiatan yang mereka kerjakan secara gotong royong, seperti pembangunan kebun bibit desa, penyiapan lahan penanaman, dan penyimpanan stok tanah hitam (sebutan untuk tanah subur).

Di sisi lain, kami selaku pendamping bisa membantu dengan aktivitas yang dikerjakan di depan laptop, seperti urusan administrasi dan biaya, proposal rehabilitasi kepada para pihak penyedia bibit (misal: Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan), dan analisis ilmiah yang dibutuhkan untuk rencana teknis rehabilitasi, seperti analisis kekritisan dan kesesuaian lahan. Kami terus menjaga komunikasi dengan masyarakat selama WFH, hingga akhirnya, kami dapat melihat bibit-bibit yang siap tanam. Kami tetap bangga meski hanya bisa melihat melalui foto.

Selain masyarakat Desa Tandun, kami memfasilitasi tujuh masyarakat adat dalam menyusun rencana kelola hutan adat. Dua kelompok masyarakat adat yang kami dampingi telah berhasil memperoleh SK Hutan Adat langsung dari tangan Presiden Jokowi pada Februari 2020 lalu. Sebagai langkah selanjutnya, masyarakat adat perlu Menyusun Rencana Pengelolaan Hutan Adat (RPHA). Harapannya, RPHA dapat menjadi panduan bagi masyarakat adat dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan.

Namun, RPHA itu tidak dapat kami susun sendiri. Masyarakat adat perlu berpartisipasi aktif dalam penyusunannya. Selain itu, mitra LSM lokal juga perlu terlibat agar kolaborasi tetap berjalan.

Meskipun banyak kendala teknologi yang dihadapi di awal, masyarakat adat juga bisa beradaptasi. Kami berhasil memfasilitasi FGD dengan masyarakat adat melalui conference call. Beberapa dari kami dan mitra LSM lokal berperan sebagai moderator, operator, pemateri, dan penulis draft RPHA. Dengan fitur share-screen, masyarakat adat dapat langsung menyaksikan bagaimana kami menampilkan data dan informasi dalam draft RPHA, serta menulis aspirasi mereka.

 <p>Screenshot dari conference call pelaksanaan FGD bersama masyarakat adat (Sumber foto background: greeners.co)</p>

Screenshot dari conference call pelaksanaan FGD bersama masyarakat adat (Sumber foto background: greeners.co)

2. Menjalankan Protokol Kesehatan selama Berkegiatan di Lapangan

Memang tetap ada kendala yang tidak dapat diatasi secara online, sehingga kami perlu melaksanakan kegiatan secara terbatas di lapangan. Contohnya ialah perlunya FGD dengan beberapa masyarakat adat yang tinggal di daerah tanpa internet. Tentunya kegiatan-kegiatan tersebut wajib dilaksanakan di lapangan dengan menerapkan protokol kesehatan.

Selain itu, contoh lainnya ialah pelaksanaan bimbingan praktik agroforestry kepada petani secara langsung di lapangan oleh penyuluh kehutanan swadaya masyarakat. Tanpa praktik di lapangan, usaha rehabilitasi lahan tidak mungkin terjadi. Selama pelaksanaannya, masyarakat menjalankan protokol kesehatan, misalnya pembatasan jumlah orang per hari, memakai masker, dan menjaga jarak.

 <p>Para petani menjalankan protokol kesehatan selama pembangunan kebun bibit desa untuk rehabilitasi di Hutan Desa Tandun. (Sumber Foto: Joko Surahmad)</p>

Para petani menjalankan protokol kesehatan selama pembangunan kebun bibit desa untuk rehabilitasi di Hutan Desa Tandun. (Sumber Foto: Joko Surahmad)

Pandemi ini mengajarkan kita bahwa upaya mitigasi tetap perlu dilakukan demi mencegah krisis iklim. Cara mudah yang bisa dilakukan salah satunya adalah menanam, seperti di Desa Tandun, agar bisa menyerap lebih banyak karbon dioksida, atau dengan menciptakan enabling condition yang bisa membantu pemulihan hutan, seperti RPHA yang mencantumkan rencana perlindungan dan rehabilitasi hutan. Apalagi, kegiatan-kegiatan tersebut diiringi partisipasi aktif para pihak, baik dari kalangan pemerintah, LSM, dan masyarakat lokal. Dengan demikian, upaya pelestarian hutan dengan melibatkan masyarakat secara langsung tetap bisa dilakukan selama masa pandemi.