Oleh: Hendrika Tiarma Wulandari Samosir, Peneliti WRI Indonesia.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan masyarakat, pemerintah daerah kerap dituntut untuk terus mengembangkan program-program pembangunan. Agar tepat sasaran, perencanaan program-program pembangunan tersebut perlu didasarkan pada situasi nyata di lapangan, yang mencakup kondisi fisik kawasan serta kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Melalui peta, kondisi-kondisi ini dapat tergambar dengan baik dan mudah dipahami.

Khusus untuk perencanaan pembangunan di wilayah adat, pemerintah daerah perlu menyusun peta wilayah adat untuk memotret pengelolaan, pemanfaatan dan penguasaan lahan berbasis kearifan lokal di suatu wilayah adat untuk mengetahui dinamika perubahan yang terjadi di tingkat tapak saat ini. Pembuatan peta wilayah adat menggunakan metode pemetaan partisipatif lebih menekankan pada keterlibatan aktif masyarakat adat setempat dalam menuangkan pengetahuan tentang ruang yang mereka tinggali ke sebuah bidang datar.

Berikut beberapa keunggulan pemetaan partisipatif dibanding pendekatan pemetaan lainnya.

1. Potret tata ruang yang detail

Peta memiliki kegunaan sebagai alat dokumentasi keadaan di suatu wilayah terkait dengan batas maupun penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan di dalam wilayah tertentu. Dengan adanya keterlibatan langsung masyarakat dalam pembuatannya, seperti menggambarkan sketsa kampung dengan pengetahuan keruangan yang mereka miliki serta memasukkan norma-norma adat yang biasanya digunakan dalam pengelolaan suatu wilayah, peta tersebut dapat menggambarkan seluruh informasi masyarakat terkait tata ruang di wilayahnya dan kearifan lokal yang mengikat di dalamnya. Hal ini sangat penting mengingat peta yang dihasilkan harus mampu mendukung kepentingan masyarakat dalam kebijakan-kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah daerah.

Tak hanya itu, proses penggalian informasi di tingkat tapak juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengingat kembali adat, budaya, dan kebiasaan setempat yang terkadang tidak terdokumentasi dengan baik dan hilang dimakan zaman, sehingga tongkat estafet pengetahuan terkait pengelolaan wilayah berbasis adat dapat diteruskan pada generasi muda.

Peta sketsa Kampung Asei. Kredit foto: Hendrika Wulan/WRI Indonesia

2. Membuka ruang kolaborasi yang efektif dan efisien

Kolaborasi yang baik di antara para pihak akan mampu menciptakan peta wilayah adat dengan proses yang efektif dan dengan sumber daya yang lebih efisien. Agar pengetahuan keruangan masyarakat dapat tergambar dengan baik, dukungan lembaga penelitian, akademisi dan LSM sangat diperlukan dalam membangun kerangka teoritis dan metodologi, termasuk kesesuaian dengan regulasi pemerintah yang ada seperti Peraturan Badan Informasi Geospasial Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pedoman Pemetaan Wilayah Masyarakat Hukum Adat. Hasil-hasil kerja di tingkat tapak ini membutuhkan campur tangan pemerintah daerah untuk mengakomodir hasil di lapangan sebagai dasar pembentukan kebijakan-kebijakan daerah.

Sebagai contoh, di Kabupaten Jayapura terdapat Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati Jayapura Nomor 188.4/ 266 tahun 2018. GTMA mempunyai tugas memfasilitasi pemetaan wilayah adat di Kabupaten Jayapura secara partisipatif melalui identifikasi, verifikasi, dan validasi masyarakat adat dan wilayah adat. Kerja kolaborasi antara pemerintah daerah, masyarakat adat, akademisi, dan LSM mendorong percepatan proses pembuatan peta wilayah adat di Kabupaten Jayapura.

3. Kesempatan berbagi pengetahuan kepada masyarakat lokal

Proses pemetaan partisipatif yang dilakukan GTMA di Kabupaten Jayapura terdiri dari beberapa tahap yang disebut dengan lokakarya. Dalam lokakarya ini, Forum Kerja LSM Papua, Badan Registrasi Wilayah Adat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif dan WRI Indonesia memberikan pelatihan bagi masyarakat lokal terkait cara menggali data-data sosial dan data-data spasial di wilayah kampung.

Selain itu, dalam lokakarya juga diberikan informasi terkait dengan pengelolaan wilayah adat untuk memberi perspektif berbeda bagi masyarakat lokal. Proses ini penting dilakukan karena masyarakat di tingkat tapak memiliki akses informasi yang lebih terbatas.

4. Adanya penyelesaian permasalahan batas wilayah adat berbasis kearifan lokal

Semangat Perdasus 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah menjabarkan bahwa persetujuan batas hak ulayat perlu untuk ditandatangani oleh penguasa adat yang berwenang, ketua panitia penelitian, serta kepala distrik dan kepala kampung terkait.

Hal ini akan lebih mudah dilakukan apabila pemetaan wilayah adat dilakukan secara partisipatif karena masyarakat menjadi pelaku utama pemetaan itu sendiri. Pendekatan penyelesaian permasalahan batas–batas wilayah adat melalui mekanisme berbasis kearifan lokal menjadi sangat efektif dan efisien sebab nilai-nilai kekeluargaan masih dijunjung baik di tingkat tapak.

5. Alat perencanaan dan pengakuan

Karena disusun bersama masyarakat setempat, peta-peta yang dihasilkan melalui proses yang inklusif akan memiliki tingkat penerimaan yang tinggi sehingga mampu menjadi media perencanaan pembangunan, pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan, dan pelestarian budaya lokal. Selain itu peta partisipatif mampu dipakai sebagi alat pengakuan formal wilayah adat demi perlindungan keberlanjutan masyarakat hukum adat.

Dengan beberapa temuan keunggulan pemetaan partisipatif di Kabupaten Jayapura, diharapkan metode ini dapat diterapkan di wilayah lain untuk menjawab beberapa tantangan pembuatan kebijakan yang berbasis situasi nyata di tingkat tapak.