Oleh Dwiki Ridhwan, peneliti Wahana Riset Indonesia.

Pemandangan hutan lebat, tebing, dan sesekali babi hutan, monyet, biawak, dan burung koak tidaklah asing di kiri dan kanan Sungai Sebayang. Menurut saya, hiasan tercantik Subayang ialah sunset-nya.

Foto oleh Dwiki Ridhwan/WRI Indonesia.

Sungai ini ialah satu-satunya akses menuju tempat saya biasa melakukan field work, yaitu desa terpencil di dalam kawasan hutan yang bernama Gajah Bertalut (GB). Biasanya saya berada di desa hampir seminggu setiap bulannya. Terkadang, saya juga turut masuk ke dalam hutan.

Di Hutan

“Wiki, mohon nantikan sebentar!” kata Bang Unyil yang selalu kesulitan menyebut ‘Dwiki’.

Dia mau mencari madu tak jauh dari situ. Dia menerobos pepohonan, lalu hilang dari pandangan. Saya menunggu sambil bersandar pada pohon meranti. Tak lama berselang, Bang Unyil kembali dengan tangan kosong. Madunya tidak ada. Lalu, kami pun melanjutkan trekking.

Trekking ini bukan hanya sekadar jalan-jalan biasa, melainkan sebenarnya verifikasi lapangan batas wilayah adat GB, yang merupakan lanjutan kegiatan pemetaan partisipatif dalam implementasi Inisiatif Satu Peta Desa (ITUPEDE). Tim verifikasi dipencar menjadi dua tim. Kami sepakat untuk bertemu kembali di suatu pondok bermalam di tengah hutan sore nanti. Saya bertugas melakukan geotagging/penandaan lokasi menggunakan GPS dan mencatat satu per satu tumbuhan yang dapat dimanfaatkan masyarakat di sepanjang batas wilayah. Selain memandu, lima orang GB membawa perlengkapan menggunakan karung yang mereka jadikan sebagai carrier/ransel.

Menjelang malam, kami bertemu tim lainnya di pondok.

Foto oleh Dwiki Ridhwan/WRI Indonesia.

Pak Ilyas, salah seorang tim yang juga tokoh tetua adat di GB berkata, “Wiski, selamat sudah sampai juga. Umpamanyo, ada perpisahan ada pertemuan lah.”

Dari seluruh tim verifikasi, dua orang mencari ikan dengan menyelam dan membawa busur, satu memasak, satu menjaga api tetap berkobar, satu menyiapkan kayu bakar, sedangkan saya hanya duduk, bingung bisa bantu apa. Saya merasa jadi bos besar di pondok dalam hutan ini. Jadi teringat kata-kata Kang Muis, insinyur kegiatan pemetaan partisipatif ini, kepada saya sebelum masuk ke hutan:

“Fokus verifikasi aja, Ki! Dirimu bisa jadi pangerandi hutan kalau bareng mereka. Pokoknya mereka keren di hutan.”

Kami makan malam di pondok dalam hutan ini yang berjarak ±6 km dari pemukiman. Pondok ini semacam gazebo kecil terbuat dari kayu. Api, headlamp, dan bulan terkadang menerangi permukaan air pada sungai besar di samping pondok. Mereka bilang berbagai hewan minum air di sungai itu pada malam hari, termasuk sang Datuk alias harimau.

Di Desa

Salah satu hal menarik yang saya ingat dari desa ini adalah ketika saya diminta membacakan nama-nama bukit yang menjadi batas wilayah adat GB di forum di balai desa. Forum ini membahas kesepakatan bersama dalam peraturan pengelolaan hutan mereka, salah satu langkah menuju pengakuan wilayah mereka sebagai hutan adat.

“Batas utara meliputi Bukik Bungkuak, Bukik Ngiangin, Bukik…” kata saya yang tidak percaya diri dalam melafalkannya.

Sesekali peserta forum menertawakan saya. Namun, yang menarik ialah fakta bahwa mereka tahu semua nama bukik (bukit) dan sungai beserta lokasinya secara rinci. Mereka tahu karena memang itulah wilayah mereka sejak dahulu. Tetapi secara hukum, sampai saat ini wilayah mereka masih termasuk Suaka Margasatwa (SM) Rimbang Baling. Saya yakin pihak pengelola SM sendiri menamakan bukit, sungai, dan objek alam lain di SM ini berdasarkan tutur masyarakat di sini.

Di Buku Profil

Pengalaman saya di hutan dan pemukiman GB tersebut hanyalah sebagian kecil dari konten Buku Profil Gajah Bertalut yang sedang disusun oleh Wira, Astri, dan saya. Nama-nama pohon, bukit-bukit batas wilayah adat, beragam aktivitas masyarakat adat di hutan, pemukiman, dan sungai turut mengisi lembaran-lembaran buku profil ini. Data lain yang tak kalah penting seperti sosial-ekonomi juga turut menjadi bagian buku ini.

Foto oleh Dwiki Ridhwan/WRI Indonesia.

Buku ini dapat menjadi bukti konkret bahwa masyarakat adat, wilayah adat, hukum adat dan lembaga adat memang eksis di desa ini. Empat aspek tersebut adalah prasyarat untuk proses pengakuan Hutan Adat sesuai skema perhutanan sosial dari pemerintah Indonesia.

GB memang dapat dilihat sebagai desa dan hutan. Secara administrasi, GB terdata sebagai suatu wilayah desa. Di sisi lain, GB sedang diperjuangkan melalui ITUPEDE untuk menjadi satu wilayah hutan adat. Berdasarkan pemetaan partisipatif, GB memiliki luas wilayah 4.414 hektar dengan pemukiman hanya 10 hektar, sisanya hutan. Masyarakat menghabiskan waktu lebih banyak di hutan. Mereka bangun pagi buta untuk langsung ke hutan hingga sore hari. Tengah malam pun mereka mencari ikan di sungai. Bahkan, di musim tertentu, misalnya musim panen madu, mereka kemungkinan bermukim di hutan selama dua minggu. Jika dianalogikan dengan Indonesia, hutan itu Jakarta-nya orang Gajah Bertalut, sedangkan pemukiman itu kota asalnya.

Jadi, apakah buku ini lebih baik disebut buku profil desa atau hutan? Bagi saya, itu tidak penting. Buku profil ini memperlihatkan betapa kerasnya hidup masyarakat GB di dalam hutan yang makin lama makin tertekan oleh kondisi alami wilayahnya maupun oleh orang di luar wilayahnya yang mau mengambil hak wilayah mereka. Dari buku ini, saya dan penulis lainnya ingin menumbuhkan kepercayaan kepada masyarakat kota bahwa masyarakat di desa mampu melestarikan hutan, bukan melempar pandangan skeptis bahwa masyarakat pastilah perusak hutan.