Indonesian Peat Prize, sebuah kompetisi untuk menemukan metode pemetaan luasan dan ketebalan lahan gambut di Indonesia yang lebih akurat, terjangkau, dan tepat waktu, diluncurkan pada 2 Februari 2016. Kompetisi ini diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) dan didukung oleh David and Lucile Packard Foundation dan World Resources Institute (WRI) Indonesia untuk membantu pengelolaan lahan gambut yang lebih baik dan untuk menanggulangi perubahan iklim dunia.

JAKARTA, INDONESIA (22 Juni 2016) – Sebelas tim terpilih untuk melaju ke tahap kedua dalam kompetisi Indonesian Peat Prize, dari keseluruhan 44 tim dari 10 negara yang menyerahkan aplikasi. Tim dari Indonesia, Amerika Serikat, Australia, Inggris, Kanada, Belanda, Jerman, Hungaria, Malaysia, dan Singapura mengajukan aplikasi untuk memenangkan hadiah senilai 1 juta dolar AS. Tim-tim tersebut mewakili lembaga penelitian, universitas, institusi pemerintahan, industri swasta, dan konsultan, yang masing-masing memiliki mitra dari Indonesia sesuai dengan persyaratan kompetisi.

Dewan Penasihat Ilmiah (DPI) Indonesian Peat Prize berkumpul pada 25-26 Mei di Jakarta untuk meninjau aplikasi dari 44 tim dan telah memilih 11 tim untuk maju ke tahap Pengembangan Solusi.

“Dengan senang hati, kami mengumumkan bahwa Dewan Penasihat Ilmiah (DPI) telah memilih 11 tim untuk maju ke tahap Pengembangan Solusi untuk mengembangkan metode yang paling akurat, tepat waktu, dan terjangkau untuk memetakan lahan gambut di Indonesia,” ujar Dr. Priyadi Kardono, Kepala Badan Informasi Geospasial. “Kami berharap bahwa metode yang dihasilkan dari kompetisi ini dapat memperbaiki Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk memetakan lahan gambut, sehingga berdampak pada pengelolaan lahan gambut yang lebih efisien dan efektif di Indonesia. Dengan melibatkan keahlian para ilmuwan di dunia, kami berharap kualitas peta gambut di Indonesia dapat meningkat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.”

Lahan gambut di dunia meliputi wilayah seluas 400 juta hektare, yakni setara dengan 3 persen dari total wilayah darat di bumi. Ekosistem gambut berperan menstabilkan iklim dunia karena gambut menyimpan sepertiga cadangan karbon dunia. Indonesia khususnya merupakan rumah bagi lahan gambut tropis terbesar di dunia dengan luas lahan gambut sekitar 14.9 juta hektare. Lahan gambut di Indonesia juga menyimpan karbon yang tinggi, diperkirakan mencapai 22,5-43,5 gigaton karbon, setara dengan emisi yang dilepaskan 17-33 miliar kendaraan penumpang dalam kurun waktu satu tahun.

Lahan gambut di Indonesia telah banyak dimanfaatkan untuk perkebunan dan pertanian, misalnya perkebunan kelapa sawit dan sawah. Namun, perubahan tata guna lahan tersebut dan bencana kebakaran menyebabkan pelepasan karbon yang besar dari lahan gambut dan berkontribusi pada perubahan iklim global. Berdasarkan data Kaji Ulang Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), emisi karbon lahan gambut dari pembusukan gambut dan kebakaran gambut menyumbang 42% dari seluruh emisi Indonesia. Pada tahun 2015, Indonesia merupakan negara penghasil emisi ke-6 di dunia.

Untuk mengurangi emisinya, Indonesia telah memberikan perhatian pada pengelolaan lahan gambut yang lebih lestari, dan langkah pertama untuk mengatasi tantangan tersebut adalah dengan memetakan lahan gambut secara cepat dan akurat.

“Bagi Indonesia, kompetisi Indonesian Peat Prize akan mendorong produksi peta lahan gambut dengan kualitas tinggi, yang akan mengarah pada pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut secara lestari, termasuk menentukan dimana kebakaran terjadi dan wilayah mana saja yang harus dikonservasi dan dapat dimanfaatkan. Bagi dunia, kompetisi ini membuka kesempatan tidak hanya bagi para ilmuwan untuk mendiskusikan metode yang disepakati bersama untuk memetakan lahan gambut, tetapi juga untuk mencapai tantangan global, yakni menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat,” ujar Dr. Nirarta Samadhi, Direktur WRI Indonesia.

“Hal yang paling menarik menurut saya adalah kami menerima aplikasi yang penuh semangat dan kaya informasi, yang tidak hanya mengusulkan solusi dengan teknologi maju, tetapi juga berisi wawasan akan lahan gambut di Indonesia yang unik. Kompetisi Indonesian Peat Prize menyiratkan sebuah tantangan bersama dan membuka pintu bagi komunitas di seluruh dunia untuk berkolaborasi mengembangkan solusi untuk memetakan lahan gambut di dalam dan di luar Indonesia,” ujar Dr. David Schimel, ilmuwan senior di NASA Jet Propulsion Laboratory yang juga adalah co-chair DPI.

“Gambut adalah aset bagi ekosistem kita yang dapat dimanfaatkan dan dikonservasi,” ujar Prof. Dr. Supiandi Sabiham, co-chair DPI yang juga bertugas sebagai Ketua Umum Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI). “Dengan melibatkan kolaborasi individu dari berbagai belahan di dunia untuk mengembangkan metode yang teruji secara ilmiah untuk memetakan lahan gambut, kita dapat mengelola lahan gambut secara lebih baik, termasuk untuk mengatasi perubahan iklim dan melakukan kegiatan rehabilitasi lahan tersebut.”

Tim Indonesian Peat Prize akan mendukung tim pendaftar selama tahap Pengembangan Solusi. Tahap Pengembangan Solusi akan berujung pada sebuah lokakarya pada bulan Juni 2017 di Jakarta, dimana finalis akan dipilih dan diumumkan.

Kunjungi www.indonesianpeatprize.com untuk informasi lebih lanjut.


Catatan untuk editor:

Berikut adalah 11 tim yang maju ke tahap Pengembangan Solusi:

  1. Bell Geospace dan PT Rubotori Petrotech Indonesia
  2. Duke University dan PT Greencap NAA Indonesia
  3. Deltares dan Institut Teknologi Bandung
  4. DRYAS, tim peneliti independen Indonesia
  5. Institut Pertanian Bogor dan the University of Sydney
  6. Remote Sensing Solutions GmbH (RSS), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Universitas Sriwijaya
  7. UGM (Universitas Gadjah Mada) Indonesian Peat Mapping Team
  8. Applied GeoSolutions dan National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)
  9. PT EXSA Internasional/Forest Inform Pty Ltd
  10. Stanford University dan Universitas Tanjungpura
  11. NARIC Forest Research Institute

Tentang Badan Informasi Geospasial (BIG)

Badan Informasi Geospasial pada awalnya didirikan pada 1969 dengan nama Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), dan kemudian diubah menjadi Badan Informasi Geopasial (BIG) pada 2011. BIG adalah lembaga pemerintah non kementerian Indonesia yang bertugas mengelola informasi geospasial di Indonesia. BIG memimpin upaya-upaya integral seperti Inisiatif Satu Peta yang bertujuan membuat satu peta terpadu yang berisi informasi geospasial Indonesia. Dua tujuan utama BIG adalah, yang pertama, menjadi pusat data geospasial Indonesia yang di dalamnya mencakup kegiatan-kegiatan integrasi, sinkronisasi, dan kerja sama. Tujuan kedua ialah memimpin Indonesia dalam menggunakan informasi geospasial dengan cara-cara baru yang optimal untuk kebaikan seluruh bangsa Indonesia. Keterangan lebih lanjut mengenai BIG silakan kunjungi http:// www.bakosurtanal.go.id

Tentang World Resources Institute Indonesia (WRI Indonesia)

WRI Indonesia adalah organisasi riset independen yang berdedikasi untuk berkontribusi pada pembangunan sosial ekonomi Indonesia dengan cara yang adil dan berkelanjutan. Para ahli dan staf kami bekerja sama dengan para pemimpin dalam mengimplementasikan gagasan besar menjadi aksi nyata dalam titik temu yang menghubungkan lingkungan, kesempatan ekonomi, dan kesejahteraan manusia. Kami bekerja di lima isu penting yang menghadirkan kesempatan bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia: Hutan, iklim, energi, kota, dan tata kelola. Kami berafiliasi dengan World Resources Institute, sebuah organisasi penelitian global yang bekerja di lebih dari 50 negara, dengan kantor di Brazil, Cina, India, Indonesia, Amerika Serikat, dan lainnya (www.wri-indonesia.org).