Pernah mendengar bahwa kopi liberika, kakao, kelapa, dan karet, merupakan tanaman yang dapat tumbuh di atas lahan gambut? Memang benar bahwa tanaman tersebut dapat dibudidayakan di atas lahan gambut, tetapi tidak semua tanaman yang dapat tumbuh di atas lahan gambut merupakan contoh dari praktik paludikultur. Mengapa?

Ada dua jenis spesies tanaman yang dapat tumbuh di atas lahan gambut. Pertama, spesies asli rawa gambut dan kedua, non-spesies asli tapi dapat tetap tumbuh karena menyesuaikan diri dengan sifat basah lahan gambut.

Kopi liberika, kakao, kelapa, dan karet bukan merupakan spesies asli rawa gambut dan mereka merupakan spesies lahan kering sehingga tetap membutuhkan drainase/pengeringan pada lahan gambut. Penanaman spesies tersebut seringkali dibarengi dengan pembuatan dam-dam kotak yang dilengkapi dengan luapan untuk mengatur tinggi muka air menjadi rendah (misalnya 40 cm dibawah permukaan lahan gambut atau lebih).

Sejatinya, prinsip dari paludikultur adalah budidaya tanaman tanpa drainase pada lahan gambut yang basah atau telah dilakukan pembasahan dengan memilih spesies rawa asli gambut, yang tidak hanya dapat memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga dapat menghasilkan biomassa (bahan biologis dari tanaman) yang akan berkontribusi pada pembentukan gambut dalam jangka panjang.

Spesies yang memerlukan drainase untuk dapat tumbuh tidak akan bertahan apabila ditanam pada lahan gambut yang dibasahi sepenuhnya, sehingga budidaya tanaman dengan drainase bukan merupakan praktik paludikultur apalagi praktik budidaya berkelanjutan, melainkan ‘budidaya tanaman pada lahan gambut’.