This article is currently only available in Indonesian.

Lebih dari 20 ribu desa atau sepertiga dari seluruh jumlah desa di Indonesia berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan. Itulah sebabnya pembangunan wilayah desa dan perlindungan hutan menjadi bagian yang sulit untuk dipisahkan. Diperlukan pendekatan yang terintegrasi guna memastikan keduanya berjalan dengan baik. Dalam konteks ini, hutan merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa tanpa mengurangi fungsi utamanya sebagai penyeimbang iklim dan ekosistem Bumi.

Terdapat berbagai program sektor kehutanan yang bertujuan untuk menyeimbangkan peningkatan ekonomi masyarakat desa dan pelestarian hutan, salah satunya Perhutanan Sosial. Program ini memberikan hak bagi masyarakat yang hidup di kawasan hutan untuk memanfaatkan sumber daya hutan guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Pada saat yang sama, mereka memiliki tanggung jawab untuk memastikan kelestarian hutan tersebut.

Di Indonesia, gerakan akar rumput yang mendukung implementasi Perhutanan Sosial sudah dimulai sejak akhir abad ke-20. Antusiasme itu terus berkembang hingga munculnya berbagai komitmen politik dan kesadaran akan pentingnya Perhutanan Sosial, yang terus diperkuat hingga kini.

Tahun lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2023 (Perpres 28/2023) tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial, yang merupakan mandat dari Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2021. Peraturan ini juga merupakan pengimplementasian dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) guna mengupayakan percepatan program Perhutanan Sosial. Salah satu aspek yang ditekankan dalam Perpres 28/2023 terkait dengan peran pendamping masyarakat desa dalam Perhutanan Sosial. Aturan tersebut hadir menjawab tantangan operasional Perhutanan Sosial akibat minimnya jumlah tenaga pendamping masyarakat desa.

Saat ini, pendamping Perhutanan Sosial yang terdata di seluruh Indonesia hanya berjumlah 2.089 orang. Padahal, terdapat lebih dari 10 ribu Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang harus didampingi, mencakup 6,4 juta hektar wilayah Perhutanan Sosial dengan pelibatan hampir 1,3 juta masyarakat di kawasan hutan (sumber: GoKUPS KLHK). Jika dihitung, maka satu orang pendamping harus menangani lebih dari 600 anggota masyarakat untuk sekitar 3.000 hektar wilayah kerja Perhutanan Sosial. Dengan rasio tersebut tentunya sulit bagi pendamping masyarakat desa menjalankan fungsinya dengan baik.  

Apa saja potensi solusi pemenuhan kebutuhan tenaga pendamping masyarakat desa, termasuk pendamping Perhutanan Sosial? Selain itu, apa saja peran mereka dalam menawarkan solusi lintas sektoral guna mengakselerasi capaian pembangunan desa yang berkelanjutan?

Dukungan Lintas Sektor untuk Memenuhi Kebutuhan Tenaga Pendamping

Melalui Perpres 28/2023, pemerintah mencoba mengatasi hambatan implementasi pengelolaan hutan yang kerap dialami oleh kementerian atau lembaga pemerintah akibat adanya sekat-sekat sektoral. Secara spesifik, peraturan tersebut mengarahkan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam pendampingan lapangan yang diatur oleh kementerian dan lembaga yang berbeda-beda.

Salah satu wujud dari tindak lanjut dari Perpres tersebut adalah penerbitan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 900.1.15.5-1317  tahun 2023 (Kepmendagri 900/2023) yang mencantumkan alokasi anggaran khusus Perhutanan Sosial sebagai panduan perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bagi pemerintah daerah. Selain itu, juga terdapat Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendes) tahunan yang memberikan lampu hijau bagi penggunaan dana desa untuk Perhutanan Sosial.

Lebih lanjut, Perpres 28/2023 menetapkan rencana dukungan lintas kementerian, pemerintah provinsi, dan kabupaten untuk bersama-sama mencapai target Perhutanan Sosial pada tahun 2030. Salah satunya dengan mendorong instansi-instansi terkait untuk terus meningkatkan jumlah tenaga pendamping desa hingga mencapai target 23.400 orang.  Perpres tersebut menjelaskan bahwa pecapaian target ambisius tersebut tidak hanya bertumpu pada sumber daya satu sektor kehutanan saja, melainkan juga memerlukan dukungan lintas sektor sebagaimana dijelaskan dalam Tabel di bawah ini.

Kolaborasi Target antar Kementerian dan Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Kebutuhan Pendamping Perhutanan Sosial.png

Terlepas dari penguatan kerja sama lintas sektor dalam memastikan ketersediaan tenaga pendamping masyarakat desa, upaya pencapaian ini juga perlu memperhatikan kendala lain, seperti rendahnya minat generasi muda untuk berkarir sebagai pendamping masyarakat desa. Karenanya, upaya mengemas profesi ini menjadi sebuah karir yang menarik perlu dilakukan guna meningkatkan minat generasi muda untuk berkarir di bidang ini.   

Memaksimalkan Peran Pendamping Masyarakat di Desa

Dengan adanya dukungan lintas sektor, pendamping masyarakat diharapkan mampu memastikan terciptanya sinergi dalam program dampingan desa yang tidak hanya berfokus hanya pada satu sektor saja.  Dalam hal ini, pendamping masyarakat desa perlu melihat berbagai perspektif dari sebuah isu terlepas dari sekat-sekat sektoral. Perhutanan Sosial misalnya, tidak lagi hanya dipandang sebagai intervensi pembangunan bidang kehutanan semata tetapi juga dapat dilihat sebagai upaya peningkatan perekonomian dan aspek-aspek sektor lain yang relevan. Dengan begitu, Perhutanan Sosial lebih mampu mengoptimalkan perannya dalam peningkatan Indeks Desa Membangun, sebuah indikator yang digunakan untuk mengukur tolak ukur kemajuan desa di Indonesia.

Selain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terdapat dua kementerian lainnya, yaitu Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa) dan Kementerian Pertanian (Kementan) yang juga memberikan perhatian besar bagi pendampingan masyarakat desa. Kemendesa dan Kementan menargetkan setidaknya tersedianya satu pendamping/penyuluh untuk setiap desa. Target ini masih jauh untuk dicapai, karena saat ini jumlah tenaga pendamping Kemendesa yang ada baru bisa melayani 63 persen dari keseluruhan jumlah desa yang ada di Indonesia, sedangkan Kementan mengungkapkan 47 ribu penyuluh pertanian yang ada saat ini masih kurang memadai.

Guna memaksimalkan perannya, pendamping masyarakat dari sektor dan lembaga tertentu, seperti dari Kemendesa, dapat disinergikan dengan pendamping masyarakat Perhutanan Sosial. Merujuk pada Permendes 4/2023, salah satu hal yang diatur terkait peran pendamping masyarakat adalah tugas pendamping masyarakat dalam mengarusutamakan capaian Sustainable Development Goals (SDGs). Karena Perhutanan Sosial juga bertujuan untuk berkontribusi pada capaian SDGs, maka sinergi dari fungsi dan peran pendamping masyarakat Kemendes dan Perhutanan Sosial sangatlah relevan.

Sinergi pendamping masyarakat pada sektor kehutanan, pangan, pertanian, hortikultura, dan perkebunan bisa menjadi solusi dari masalah keterbatasan sumber daya manusia. Ada berbagai cara sinergi pendampingan yang dapat dilakukan di lapangan. Pendamping masyarakat desa yang bekerja pada isu Perhutanan Sosial dan pertanian mungkin dihadapkan pada isu yang serupa terkait pemanfaatan suatu komoditas di wilayah desa kerja mereka. Sebagai contoh, penyuluh pertanian mungkin melihat kopi sebagai komoditas perkebunan yang strategis bagi desa. Pada saat yang sama, pendamping Perhutanan Sosial juga melihat kopi sebagai komoditas hasil hutan non-kayu yang bisa dimanfaatkan masyarakat desa. Mengedepankan ide dari kedua sektor tersebut, misalnya, maka pemanfaatan konsep agroforestri bisa dipilih sebagai sebuah intervensi lintas sektor. Dengan begitu, pendamping desa akan mampu melihat potensi solusi pemanfaatan komoditas secara lebih strategis.

Selain pemerintah, organisasi masyarakat sipil (OMS) juga turut berkontribusi dalam memenuhi tenaga pendamping masyarakat desa sesuai dengan peran dan keterlibatan mereka. WRI Indonesia, misalnya, telah mendampingi masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Selain WRI Indonesia, terdapat banyak organisasi masyarakat sipil lainnya yang juga memberikan pendampingan masyarakat di lapangan. Mengingat banyaknya pendamping masyarakat yang mendukung implementasi di lapangan, sebaiknya perlu dilakukan pemetaan dukungan pendampingan masyarakat desa oleh para OMS di Indonesia. 

comdev-training-2023.JPG
Kegiatan lokakarya tim pendamping masyarakat WRI Indonesia pada November 2023 yang dirancang secara komprehensif, melibatkan pembekalan materi yang beragam, diskusi interaktif, sesi praktik, dan lain-lain. Kredit foto: Annisa Nindyarini/WRI Indonesia

Tugas pendamping masyarakat desa tidaklah mudah. Diperlukan integritas yang tinggi untuk senantiasa mampu berbagi pengetahuan kepada masyarakat desa. Mereka diharapkan piawai dalam memainkan perannya yang lintas sektor dengan tujuan capaian pembangunan desa yang baik. Pendamping masyarakat adalah katalisator pembangunan desa yang memastikan implementasi kebijakan lintas sektor terus berjalan. Sejalan dengan pergantian pemimpin Indonesia tahun ini, semoga akan muncul lebih banyak lagi komitmen lintas sektor berfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan pelestarian hutan.