Lautan kita saat ini dipenuhi sampah plastik. Berdasarkan perkiraan World Economic Forum, akan ada lebih banyak plastik daripada ikan di lautan (berdasarkan berat) pada tahun 2050. Peta buatan Riccardo Pravettoni di bawah menunjukkan bagaimana produksi dan konsumsi global manusia dari segala sektor dalam 50 tahun terakhir telah menghasilkan sampah dalam jumlah besar, terutama plastik. Produksi sampah plastik setiap orang terus bertambah dan berakhir di tanah dan lautan kita. Sampah-sampah tersebut dapat membentuk sebuah pulau seperti Pulau Sampah Pasifik Raya (Great Pacific Garbage Patch) yang lebih luas dari Texas atau Perancis.

Sampah plastik di lautan dikategorikan sebagai polusi tanpa sumber. Artinya, sampah-sampah tersebut berasal dari berbagai wilayah dan karenanya sulit untuk mengidentifikasi sumbernya. Pada tahun 2010, data Bank Dunia menunjukkan bahwa kota-kota di Indonesia, khususnya wilayah pesisir, menyumbang sekitar 3,22 juta ton sampah ke lautan, termasuk 0,48 – 1,29 juta metrik ton puing plastik lautan setiap tahunnya. Jumlah ini sama dengan jika setiap keluarga menghasilkan 178 – 480 juta sampah plastik per tahunnya.

Polusi plastik di lautan juga berdampak pada manusia dan hewan, seperti partikel plastik (mikroplastik) dari sampah plastik lautan yang ditemukan di dalam perut ikan-ikan di Paotore, pelabuhan nelayan skala kecil yang dikenal sebagai tujuan wisata di Sulawesi Selatan. Mikroplastik bahkan dapat ditemukan di dalam garam yang kita konsumsi setiap hari. Jika masuk ke dalam tubuh manusia, mikroplastik dapat menyebabkan peradangan, masuknya polutan kimia dan gangguan pada saluran pencernaan.

Strategi untuk memerangi pencemaran plastik di lautan

Sebagai strategi pertama dalam memerangi pencemaran plastik di lautan, kita perlu membangun platform terintegrasi bagi para pemangku kepentingan untuk mengawasi dan memperbarui status dan data dasar limbah, baik di daratan maupun lautan. Saat ini, ancaman dan risiko limbah plastik di ekosistem laut tidak dapat diidentifikasi dengan baik karena kurangnya data, termasuk data yang terkait dengan jumlah dan lokasi sampah plastik. Sementara itu, data yang tersedia dikelola oleh berbagai organisasi dan lembaga penelitian dengan kualitas yang beragam, sehingga tidak dapat diolah secara sistematis. Oleh karena itu, para pemangku kepentingan seperti pemerintah dan perusahaan industri sering kali kesulitan untuk merumuskan strategi dan kebijakan yang tepat. Jika kita dapat memahami lokasi dan jumlah sampah yang ada, kita dapat menerapkan pengelolaan limbah yang lebih baik, dengan pendekatan preventif maupun reaktif.

Strategi kedua adalah membangun solusi ekonomi sirkular bagi sampah plastik dengan pendekatan sirkular untuk penggunaan kembali dan penuntasan sampah plastik secara efektif. Salah satu contohnya adalah pencampuran bahan daur ulang plastik ke dalam aspal untuk membangun jalan, yang telah diterapkan di Indonesia untuk memperbaiki jalan umum. Indonesia juga bekerja sama dengan Global Plastic Action Partnership (GPAP), sebuah kolaborasi publik – swasta internasional, untuk mengurangi 70 persen sampah plastik di laut pada tahun 2025 tanpa mengesampingkan faktor ekonomi dan kehidupan masyarakat. Pemerintah Indonesia dan GPAP telah menerapkan beberapa strategi, seperti mengumpulkan data pengelolaan limbah lokal dan membangun model evaluasi solusi seperti mengurangi pengemasan berlebih, membuat plastik daur ulang baru serta meningkatkan daur ulang dan pengumpulan sampah. Yang paling penting, model ini akan menghitung investasi yang dibutuhkan, batasan waktu, jejak lingkungan dan emisi gas rumah kaca serta dampaknya terhadap kehidupan masyarakat.

Terakhir, Indonesia juga perlu menerapkan pengelolaan sampah plastik yang tepat di daratan, terutama yang dihasilkan oleh rumah-rumah dan kawasan industri. Langkah ini akan mengurangi jumlah sampah plastik di lautan secara signifikan. Salah satu upaya yang dapat diterapkan adalah penerapan target nol limbah, yang berarti 90 persen limbah (berdasarkan berat) digunakan untuk daur ulang atau pengomposan sedangkan 10 persen sisanya dibuang ke TPA atau dibakar. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman telah menerapkan kebijakan dan pendekatan untuk mengendalikan jumlah limbah di daratan, termasuk mendorong perusahaan untuk menggunakan kembali, mendaur ulang, dan mengurangi plastik. Perubahan sistem serta bagaimana kita mengembangkan kerangka kerja bisnis berdampak besar dalam pengembangan inovasi pengelolaan limbah.

Pada dasarnya, diperlukan kolaborasi dan pemahaman antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan masyarakat untuk menerapkan dan membagikan data terintegrasi, model bisnis baru, kebijakan publik, dan investasi teknologi dan infrastruktur guna menciptakan solusi sistematis bagi polusi plastik di lautan. Sudah terlalu banyak sampah plastik. Kita tidak punya banyak waktu lagi.