Artikel ini pertama kali dimuat di Newsweek.


Rumah adalah tempat bernaung dan berlindung. Sebuah tempat di mana keluarga berkumpul bersama untuk meraih dan menikmati kesejahteraan. Namun seiring meningkatnya korban jiwa dan beban ekonomi akibat perubahan iklim, keberadaan rumah kita ikut terancam.

Tahun lalu, banjir besar di Asia Selatan menelan 1.200 korban jiwa dan mengancam nyawa lebih dari 20 juta orang, di mana 6,8 juta di antaranya adalah anak-anak. Sekitar 18.000 sekolah di seluruh penjuru Bangladesh, India dan Nepal hancur atau rusak, mengancam akses pendidikan ratusan ribu anak, jauh setelah banjir surut.

Di tahun 2017, Amerika Serikat juga mengalami kerugian terbesar akibat cuaca ekstrem. Kerugian yang disebabkan Badai Harvey dan Irma di Texas dan Florida sendiri diperkirakan mencapai hampir US$200 miliar, sementara kebakaran di California menyebabkan kerugian properti sebesar S$65 miliar.

Sayangnya, beberapa prakiraan cuaca awal meramalkan badai besar yang lebih parah dari biasanya di tahun 2018 di kawasan Atlantik. Ramalan ini merupakan kabar buruk bagi para korban badai yang sedang mencoba membangun kembali penghidupan mereka dari dampak badai tahun lalu.

Pada kenyataannya, banyak orang tidak memiliki sumber daya yang diperlukan untuk membangun kehidupan mereka kembali. Ditambah dengan dampak perubahan iklim yang perlahan terus meningkat seperti kelangkaan air bersih dan gagal panen, jumlah migran nasional akibat perubahan iklim diperkirakan akan meningkat drastis. Jika dibiarkan terus menerus, para ahli memperkirakan lebih dari 140 juta penduduk terpaksa bermigrasi dari negaranya pada tahun 2050 akibat perubahan iklim. Lebih dari setengah penduduk tersebut diperkirakan akan bermigrasi ke Afrika Sub-Sahara.

Menghadapi Bencana Alam

Masyarakat miskin adalah bagian masyarakat yang paling rentan terhadap bencana alam, terutama karena mereka tidak memiliki fasilitas untuk menghadapi situasi bahaya. Terlebih lagi, mata pencaharian mereka sangat bergantung pada ekosistem, yang kondisinya semakin hari semakin terancam. Cuaca ekstrem bukan satu-satunya faktor yang mengancam hidup dan mata pencaharian mereka. Kebanyakan dari mereka akan terpaksa pindah akibat dampak perlahan dari perubahan iklim seperti kelangkaan air, gagal panen dan kenaikan permukaan air laut. Tidak dapat dipungkiri bahwa penduduk miskin di seluruh dunialah yang akan paling terdampak jika kita tidak segera bertindak menjaga ketahanan iklim, sehingga upaya mereka untuk keluar dari garis kemiskinan akan semakin terhambat.

Apabila dimulai dari sekarang, kita dapat menekan angka migrasi akibat perubahan iklim hingga 80 persen. Tidak hanya menjaga mata pencaharian penduduk miskin, aksi ini juga dapat membuka peluang ekonomi penting. Menurut New Climate Economy, investasi pertumbuhan ekonomi hijau di Uganda dapat meningkatkan PDB hingga sekitar 10 persen ($3,4 juta) pada tahun 2020 dibandingkan investasi biasa. Demikian juga halnya dengan negara asal saya, yakni Meksiko. Penerapan kebijakan yang tepat mampu menekan pengeluaran kumulatif hingga tahun 2030 sebesar lebih dari 500 miliar peso (sekitar 2 persen dari PDB 2015).

Bagaimanapun juga, beberapa migrasi nasional akibat perubahan iklim tidak dapat kita hindari di abad ini, mengingat perubahan iklim yang telah terjadi sebagai dampak dari emisi terdahulu. Namun sebenarnya, pola migrasi akibat perubahan iklim tersebut tidak perlu berujung pada krisis sosial atau politik. Jika dikelola serta didukung dengan kebijakan pembangunan yang baik dan investasi terencana, migrasi dapat menjadi strategi adaptasi yang tepat dalam menanggapi perubahan iklim. Guna meminimalisasi gangguan, migrasi perlu didukung dengan sederet langkah tepat untuk membantu para migran menemukan tempat tinggal dan mengintegrasikannya ke pasar tenaga kerja di daerah tujuan. Selain itu, para pembuat keputusan juga perlu berhati-hati, bukan hanya dalam menjaga ketahanan para migran, tetapi juga menjaga keseimbangan masyarakat di daerah asal dan tujuan.

Setiap negara dapat meningkatkan kemampuan untuk memitigasi dan beradaptasi terhadap risiko perubahan iklim serta mengentaskan kemiskinan, jika faktor migrasi akibat perubahan iklim dipertimbangkan dalam perencanaan pembangunan. Sebagai contoh, Ethiopia, melalui strategi Rencana Pertumbuhan dan Transformasi (Growth and Transformation Plan) dan Ekonomi Hijau Tahan Iklim (Climate Resilient Green Economy) telah menargetkan pergeseran lahan pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor jasa dan industri yang tidak terlalu bergantung pada iklim.

Pada dasarnya, manusia selalu mencari rasa aman dan kesejahteraan bagi keluarganya. Oleh karena itu, beberapa kasus migrasi tidak dapat terelakkan sebagai bentuk strategi adaptasi masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim serta meningkatkan penghidupan. Meskipun demikian, upaya menekan angka migrasi akibat perubahan iklim tetaplah menjadi bagian dari kewajiban moral dan kepentingan mendesak bagi kita semua. Dengan mengambil langkah untuk mengurangi emisi secepatnya, kita dapat mempermudah kehidupan jutaan orang serta memanfaatkan peluang ekonomi penting seraya tetap menjaga kelestarian planet tempat tinggal kita.