Indonesia merupakan produsen ikan tangkap laut lepas kedua terbesar setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT), memenuhi 25% dari permintaan perikanan di dunia. Selain berperan untuk dunia, sektor perikanan juga memberikan nutrisi dan sumber pemasukan bagi masyarakat di Indonesia.

Nilai ekspor sektor perikanan di Indonesia berjumlah USD6,24 miliar di 2022 dan komoditas utama perikanan Indonesia adalah udang, rajungan-kepiting, cumi-sotong-gurita, dan tuna-tongkol-cakalang. Konsumsi ikan Indonesia juga menunjukan tren yang terus meningkat, sejalan dengan peningkatan penduduk di Indonesia. Dari total protein hewani yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, ikan berkontribusi sebesar 50%

Konsumsi ikan tahunan di Indonesia dari tahun 2010 – 2019

Penangkapan Ikan yang Berlebihan 

Data jumlah dan ragam hasil produksi sektor perikanan di Indonesia pada tahun 2000 sampai 2019

Kontribusi ikan terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia tentunya tidak lepas dari dampak terhadap biota dan ekosistem laut. Sejak 2017, pertumbuhan ikan tangkap laut lepas di Indonesia tidak melebihi 6%. 

Melambatnya hasil ikan tangkap laut lepas selaras dengan laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2017), bahwa 75% area penangkapan ikan sudah sepenuhnya tereksploitasi atau tereksploitasi secara berlebihan. Hal ini mencemaskan, karena produksi ikan tangkap laut lepas berkontribusi sebesar 57% dari total produksi makanan laut Indonesia. 

Data KKP 2022 tentang eksploitasi Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang menunjukan kebanyakan dari potensi ikan tangkap lepas sudah sepenuhnya terkesploitasi (kuning) atau berlebihan (merah).

Penurunan hasil ikan tangkap laut lepas tentunya berdampak kepada ketahanan pangan, penghidupan pekerja perikanan, dan pendapatan negara. Guna mendorong keberlanjutan stok perikanan serta usaha perikanan, Pemerintah menerapkan penangkapan ikan terukur (PIT) yang dilakukan di zona penangkapan ikan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11/2023 dengan tujuan menjaga kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya, serta pemerataan pertumbuhan ekonomi nasional. 

Selain itu kebijakan PIT, Pemerintah juga mendorong upaya konservasi. Tercatat di tahun 2022, luas Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Indonesia telah mencapai 28.9 juta hektar (ha) dan Indonesia menargetkan untuk mengubah 30% atau kurang lebih 97 juta ha wilayah lautnya sebagai kawasan konservasi pada tahun 2045 sejalan dengan visi Indonesia Emas dan komitmen Global Biodiversity Framework 2022.

Rendahnya Pendapatan Nelayan

Dengan angka produksi yang tinggi, Indonesia tidak memiliki keunggulan ekspor di sektor perikanan. Sektor perikanan Indonesia hanya memberikan 2,8%untuk produk domestik bruto (PDB) di tahun 2020.

Perbandingan kontribusi sektor industri terhadap PDB Indonesia di tahun 2017 dan 2020

Untuk perbandingan, pada tahun 2018, Indonesia hanya menghasilkan USD4,9 juta, di bawah Viet Nam yang menghasilkan USD9 juta dengan 3 dari total produksi ikan tangkap lepas global. Indonesia juga memiliki tingkat penolakan akibat kontaminasi yang tinggi karena rendahnya pengetahuan dan akses teknologi nelayan.

Sebagian besar dari usaha perikanan Indonesia itu berskala kecil (nelayan kecil atau tradisional) dengan rasio 96% dari 2,1 juta total usaha perikanan di Indonesia. Selain itu, menurut survei dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (2022) sebanyak 20-30% produksi hasil nelayan kecil tidak terserap oleh pasar. Padahal industri pengolahan seringkali kesulitan mencari bahan baku. Salah satu penyebab permasalahanya adalah rantai pasok yang masih didominasi oleh tengkulak yang mengendalikan harga dan jumlah komoditas perikanan di pasar. 

Hilirisasi sektor perikanan akan memberikan nilai tambah untuk sektor perikanan Indonesia dan mengurangi tekanan terhadap lingkungan dan biota laut. Tetapi, masih ada beberapa produk perikanan tangkap memiliki nilai jual lebih tinggi jika diekspor dalam bentuk mentah seperti tuna segar dan kerapu hidup.

Hilirisasi Sektor Perikanan di Indonesia

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, menyebut peta jalan hilirisasi bahan mentah telah disusun hingga 2040 yang mencakup 21 komoditas, empat jenis di antaranya dari sektor perikanan yang meliputi udang, ikan, rajungan dan rumput laut. Peta jalan ini diharapkan dapat mengoptimalkan sumber daya alam dan mendorong pendapatan per kapita penduduk. 

Pada saat ini, invetasi di sektor perikanan tergolong paling rendah apabila dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Penyebabnya adalah mayoritas usaha perikanan yang dijalankan masih dalam skala kecil atau tradisional yang dipandang sebagai entitas bisnis yang beresiko tinggi. Pengarahan investasi dan inisiatif strategis untuk debottlenecking dapat membantu mengembangkan komoditas unggulan dan menambah nilai jual sektor perikanan Indonesia. 

Perkembangan Sektor Budi Daya Perikanan

Sektor budi daya perikanan menjadi prioritas pada Rencana Pembangunan Rencana Menengah (RPJMN) 2020 – 2024. Di tahun 2022, sektor budidaya perikanan menghasilkan 16,87 juta ton, dengan produksi terbesar ada di rumput laut yaitu 9,3 juta ton. Melihat peningkatan ini, pemerintah optimis kalau produksi sektor budidaya perikanan dapat mencapai 21,58 juta ton di tahun 2023. 

Data proyeksi dan hasil produksi makanan laut di Indonesia berdasarkan sub-sektor

Jenis kegiatan budi daya didominasi oleh budidaya pembesaran air payau dan diikuti oleh budidaya perikanan air laut. Dalam Statisik Perusahaan Budidaya Ikan, pada tahun 2022 tercatat 583 perusahaan budidaya ikan aktif yang terdiri dari budidaya pembesaran air payau, air tawar, air laut, dan pembenihan.  

Perbandingan volume dan nilai produksi budidaya perikanan di Indonesia dari tahun 2000 sampai 2018

Namun, produktiitas sektor budidaya ikan di Indonesia masih terhitung rendah, dengan rata-rata 1 ton per peternak. Jika dibandingkan dengan negara lain, Viet Nam memiliki 4 ton, Tiongkok 10 ton, dan Norwegia 165 ton per peternak. KKP telah membuat program penyuluhan untuk peternak ikan dan berencana untuk meningkatkan angka kelompok peternak untuk bertukar pengetahuan dan keahlian. 

Perkembangan sektor budidaya juga perlu perhatian karena menggunakan lahan pesisir. Mereka berpotensi mendegradasi hutan bakau dan padang lamun. Indonesia sedang mengembangkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) untuk mengatur penggunaan lahan pesisir dan lautan. 

Selain itu, budidaya juga membuang air sisa ternak, sehingga dibutuhkan regulasi untuk memastikan pengelolaan air limbah agar tidak mencemari lingkungan. Pada saat ini, belum ada standar yang jelas tentang pengelolaan limbah budidaya perikanan dan dibutuhkan tolak ukur yang tepat untuk mengatur kapasitas pembuangan badan air tertentu. 

Perbandingan produktivitas budidaya air tawar, payau dan laut dari 2007 sampai 2017

Dalam jangka waktu sepuluh tahun, produktivitas budidaya pembesaran air tawar dan payau meningkat sebesar 15%. Sebaliknya, produktivitas budidaya laut menunjukan tren yang menurun. Hal ini disebabkan karena produktivitas rumput laut sangat terpengaruh oleh cuaca dan luas area budidaya. Penurun produktiftas juga disebabkan oleh penyakit seperti epiphyte, infestasi hama, dan turunya kualitas bibit Hal ini menunjukan dibutuhkannya regulasi dan pendampingan terkait keamanan hayati untuk menjaga komoditas rumput laut.

Kesimpulan

Untuk memperkuat upaya hilirisasi Indonesia, pemerintah perlu membuat strategi dan inisiatif  melibatkan semua pelaku sektor industri perikanan termasuk lembaga riset, pembiayaan dan investor. Guna menciptakan hilirisasi perikanan, skala ekonomi dari perikanan perlu diperhatikan, skema insentif dan kebijakan-kebijakan yang inovatif untuk debottlenecking perlu diterapkan. 

Selain itu, Indonesia dengan kekayaan lautnya, harus dengan cepat mengembangkan produk-produk  alternatif dan non-konvensional, menciptakan permintaan baru untuk pasar perikanan dan komoditi kelautan global. Contohnya, rumput laut dapat diolah menjadi makanan, kosmetik, bumbu, dan sebagai pupuk. Hal yang sama juga dapat dilakukan untuk cangkang udang, mereka dapat diolah menjadi pakan ternak yang kaya akan nitrogen atau ekstraksi chitin untuk kebutuhan industri lainya. Tentunya ini tidak hanya membutuhkan penelitian mendalam, namun juga keberanian pelaku usaha untuk merambah ke industri-industri baru. Hal ini hanya akan bekerja apabila tersedia ekosistem usaha yang mendukung.