Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia mengambil langkah maju menjelang Konferensi Paris ketika Kementerian tersebut menerbitkan rancangan rencana perubahan iklim yang baru, atau Intended Nationally Determined Contribution (INDC) (Kontribusi Nasional yang Diniatkan), untuk konsultasi publik pada tanggal 1 September 2015. Sebagai negara penyumbang emisi gas rumah kaca ke-enam terbesar di dunia, komitmen iklim Indonesia merupakan bagian penting dari respon dunia terhadap perubahan iklim.

Rancangan INDC dibangun berdasarkan komitmen Indonesia tahun 2009 untuk mengurangi emisi sebanyak 26 persen dari skenario business-as-usual (BAU) pada tahun 2020, dan upaya-upaya signifikan yang dilakukan untuk mengendalikan deforestasi, dengan menargetkan pengurangan emisi tanpa syarat sebesar 29 persen pada tahun 2030, dan pengurangan bersyarat sebesar 41 persen asalkan disertai bantuan dan kerjasama internasional.

Selama beberapa bulan belakangan, Indonesia telah menganalisis berbagai peluang untuk memitigasi emisinya. Sebagai hasil dari upaya-upaya tersebut, rancangan INDC menyertakan suatu target mitigasi kuantitatif pasca 2020, dan juga informasi umum mengenai pendekatan yang akan digunakan oleh Indonesia dalam hal penggunaan lahan, energi dan sektor persampahan; proses-proses perencanaan; dan strategi ketangguhan.

Meskipun demikian, kontribusi rancangan saat ini masih menunjukkan beberapa kekurangan penting dalam hal transparansi dan ambisi, yang harus diperbaiki sebelum mengumpulkan versi final INDC pada saat Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)). Dengan mempersempit kekurangan-kekurangan tersebut, pemerintah Indonesia bisa menyejajarkan kontribusinya dengan praktik-praktik terbaik internasional terkait transparansi, membuktikan kepemimpinan di taraf internasional dengan mengedepankan ambisinya, dan membantu memastikan kesuksesan COP 21.

Berikut ini beberapa rekomendasi utama dari kami terhadap versi final INDC Indonesia:

1) Mendorong ambisi target pengurangan emisi tanpa syarat agar melebihi 29 persen pada tahun 2030.

Tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai pemodelan yang digunakan oleh pemerintah Indonesia, kajian yang menghasilkan angka target ambisius sebesar 29 persen merupakan hal yang mustahil. Namun, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) telah menganalisis beberapa skenario untuk mencapai target penurunan sebanyak 29 persen dan untuk mencapai – berdasarkan skenario yang optimis – penurunan emisi yang sedikit lebih besar (meskipun tidak dispesifikasikan) (lihat grafik di bawah ini). Langkah kebijakan yang diasumsikan bagi kedua skenario tersebut tampak serupa; kebanyakan perbedaannya terletak pada asumsi-asumsi yang terkait efektivitas langkah-langkah tersebut.

Skenario yang lebih optimis juga harus dicantumkan dalam komitmen Indonesia, dan bisa disatukan dengan skenario yang lebih “wajar”dalam bentuk rentangan angka. Beberapa negara lain, termasuk Cina dan Amerika Serikat, sudah menggunakan bentuk rentangan angka dalam komitmen-komitmen INDC mereka.

data

2) Memperjelas target pengurangan emisi dengan mempublikasikan perbandingan antara skenario BAU dan target pengurangan emisi.

Menentukan emisi baseline sebagai patokan pengurangan emisi Indonesia yang akan dicapai (yaitu emisi berdasarkan skenario BAU) wajib dilakukan demi transparansi dan akuntabilitas. Ketiadaan informasi tersebut akan menjadikan penelusuran pencapaian target INDC mustahil bagi Indonesia, dan memperparah ketidakpastian masa depan emisi global – termasuk hal-hal yang berkenaan dengan perubahan temperatur.

Karena Indonesia menetapkan target emisi relatif terhadap skenario BAU tanpa menerbitkan skenario emisi BAU, rancangan INDC menjadi tidak sejalan dengan sebagian besar dari 11 INDC yang dikumpulkan oleh negara-negara lainnya yang juga menggunakan target pengurangan emisi relatif terhadap BAU. Dari negara-negara tersebut, delapan negara telah menghitung BAU mereka, termasuk negara dengan perekonomian yang sedang mengalami pertumbuhan pesat yaitu Meksiko dan Korea Selatan, dan begitu pula dengan Andora, Republik Demokratik Kongo, Djibouti, Kenya, Makedonia dan Moroko. Hanya tiga negara yang tidak menghitung BAU mereka yaitu negara-negara yang merupakan negara berkembang dan kecil: Benin, Gabon, dan Trinidad dan Tobago.

Meskipun pemerintah Indonesia telah menganalisis skenario BAU nya secara cukup terperinci, informasi tersebut belum dipublikasikan dalam rancangan INDC. Indonesia dapat memperbaiki kekurangan ini dengan menerbitkan emisi BAU 2030 pada dokumen INDC yang final.

3) Memastikan bahwa berbagai sasaran pada sektor lahan memaksimalkan manfaat iklim, dengan cara menyertakan target stok karbon dan/atau berkomitmen untuk memprioritaskan restorasi lahan-lahan yang terdegradasi.

Bagian mitigasi dari rancangan INDC Indonesia menyebutkan 12,7 juta hektar (31,4 juta akre) lahan hutan yang ditunjuk sebagai kehutanan masyarakat, restorasi ekosistem dan konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Sementara dampak-dampak mitigasi khusus atas komitmen tersebut masih belum jelas, restorasi seluas itu bisa menghasilkan pengurangan emisi yang signifikan jika diimplementasikan dalam rangka memaksimalkan potensi mitigasi – hampir 55 persen emisi Indonesia dihasilkan dari deforestasi, degradasi hutan dan kehancuran gambut.

Indonesia bisa memastikan bahwa sasarannya akan memaksimalkan manfaat-manfaat mitigasi dengan menyertakan, dalam INDC-nya, suatu target stok karbon yang ambisius dan kuantitatif, dan/atau menyertakan suatu komitmen kualitatif untuk memprioritaskan restorasi lahan terdegradasi, yang akan memaksimalkan penyerapan karbon.

4) Memastikan bahwa INDC Indonesia cocok dengan perannya dalam kesuksesan COP 21.

Selain perbaikan-perbaikan kunci yang telah disebutkan, Indonesia juga harus memastikan bahwa INDC final-nya telah sejalan dengan serangkaian praktik-praktik terbaik internasional dalam hal transparansi, termasuk:

Mengklarifikasi berbagai asumsi yang mendasari baseline, skenario-skenario target pengurangan Gas Rumah Kaca (GRK) tanpa syarat dan dengan syarat; Menciptakan sebuah kebijakan terkait potensi penyesuaian skenario baseline di masa depan; Memodifikasi target untuk mengatasi fluktuasi yang sulit diprediksi pada emisi kebakaran gambut – misalnya, dengan membuat periode target menjadi multi-tahun; Mengklarifikasi tahun target atau periode dimana pengurangan sebanyak 41 persen diterapkan; Menyebutkan dengan jelas pendekatan dan metode penghitungan penggunaan lahan; dan Mengklarifikasi lebih lanjut bagaimana mekanisme pasar internasional akan diterapkan terhadap target tersebut. Indonesia memainkan peran penting dalam proses COP21. Selain menjadi salah satu penghasil emisi global terbesar, dan salah satu negara dengan pertumbuhan perekonomian tercepat di dunia, Indonesia bisa menjadi model yang bisa diikuti negara-negara berkembang lainnya. Dengan beberapa perbaikan, Indonesia bisa mengumpulkan INDC yang kokoh dan bisa dijalankan menjelang negosiasi-negosiasi di Paris tahun ini.