Kota, dengan segala ketersediaan fasilitasnya, terus menjadi magnet bagi masyarakat untuk melangsungkan kehidupannya, mulai dari menempuh pendidikan, bekerja, membangun relasi keluarga, sosial, bersosialisasi, hingga bentuk aktualisasi diri lainnya. Saat ini, 57% penduduk Indonesia tinggal di kota dan angka tersebut akan terus mengalami peningkatan. Data World Bank (2019) memperlihatkan lebih dari 70% penduduk Indonesia akan menetap di kota pada tahun 2045. Tren urbanisasi ini memberikan dampak positif bagi ekonomi sebagaimana kota telah berkontribusi 60% bagi PDB Nasional. Studi World Bank menemukan setiap kenaikan 1% tingkat urbanisasi dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 2,7% dan mengurangi hingga 1% kemiskinan. Sayangnya, peningkatan PDB dari urbanisasi di Indonesia hanya mencapai 1,4% dan berpotensi meningkatkan kesenjangan.

Kondisi tersebut tidak lepas dari tantangan urbanisasi Indonesia yang belum diimbangi dengan strategi perencanaan dan pembangunan yang berkelanjutan, serta belum optimalnya investasi terhadap infrastruktur dasar, seperti air, transportasi publik, pengelolaan sampah, dan permukiman. Otonomi daerah dan desentralisasi yang juga menjadi tantangan bagi kemandirian kota hingga saat ini belum memiliki kapasitas fiskal memadai. Per Juli 2023, Kementerian Dalam Negeri mencatat total pendapatan seluruh kabupaten/kota di Indonesia hanya mencapai 43,21% dari target anggaran pendapatan daerah (APD). Kurang optimalnya ketiga hal ini berimbas pada sejumlah tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan, seperti:

1. Banjir dan Penurunan Muka Air Tanah

Urbanisasi mendorong pemanfaatan lahan untuk permukiman, infrastruktur transportasi, bangunan komersil, dan lain-lain demi berlangsungnya aktivitas masyarakat. Pemanfaatan lahan yang belum optimal, seperti belum terintegrasinya solusi alam, berdampak pada penurunan muka air tanah dan banjir. Kondisi ini menyebabkan peliknya permasalahan air di kota seiring kebutuhan air bersih meningkat paralel dengan jumlah penduduk. 

Faktanya, air bersih belum menjangkau sejumlah daerah di kota-kota besar. Hanya 42% rumah tangga memiliki akses terhadap pasokan air pipa dan 72% memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak. Sementara itu, masyarakat miskin perkotaan memiliki akses terhadap kedua layanan masing-masing hanya sebesar 9% dan 36%. Namun, kelompok ini harus membayar air bersih 10–30 kali lebih mahal dibandingkan kelompok kelas menengah yang umumnya sudah terfasilitasi dengan air pipa. Karena saat ini belum ada peraturan pemanfaatan air tanah yang progresif, kondisi ini semakin mendorong pemanfaatan air tanah secara berlebih yang memperparah penurunan lahan dan banjir.

2. Belum Optimalnya Layanan Transportasi Publik

Belum efisiennya pengelolaan transportasi publik dalam mengakomodasi aktivitas penduduk, baik dalam maupun lintas kota, telah meningkatkan permintaan kendaraan pribadi yang berujung pada kemacetan berikut dampak sosial dan ekonominya. Studi World Bank (2019) menyebutkan DKI Jakarta sebagai kota termacet di Indonesia mengalami kerugian ekonomi sekitar Rp41 triliun per tahun. Di kota metropolitan seperti Bandung, Surabaya, Medan, dan lain-lain, kerugian ekonomi akibat kemacetan mencapai Rp1,5 triliun per tahun.

3. Pengelolaan Sampah yang Belum Memadai

Di Indonesia, sampah menjadi penyumbang emisi terbesar ketiga setelah sektor hutan dan konversi lahan serta energi, dengan persentase sebesar 7% atau 127 miliar ton CO2e. Meskipun persentase ini tidak sebesar sektor lainnya, sampah menghasilkan gas metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O). Sumbangsih ini tidak lepas dari produksi sampah di tingkat kota yang tercatat oleh BPS pada tahun 2019, sebagian besar pusat kota di Indonesia menghasilkan 8 juta ton sampah tiap harinya. Pesatnya urbanisasi turut memperkeruh tantangan kota dalam mengelola sampah.

Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia dengan masalah penumpukan sampah yang serius. Pada tahun 2021, total produksi sampah setiap harinya mencapai 1.500 ton. Penumpukan ini berimplikasi pada menimbunnya sampah dan pengendapan tanah pada sebagian besar anak sungai di Kota Bandung hingga menyebabkan penyempitan aliran air sungai. Di Sungai Citarum, sekitar 1.500 ton sampah dari 12 kabupaten/kota mengalir ke sungai ini setiap harinya.

Dengan pengelolaan sampah berbasis sistem open dumping, penumpukan sampah di mayoritas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) secara terbuka juga berpotensi memicu kebakaran hingga ledakan akibat reaksi gas metana. Gas metana akan semakin mudah terbakar lantaran faktor iklim seperti musim kemarau atau cuaca yang panas. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan sepanjang 2023, 14 TPA di Indonesia mengalami kebakaran; 13 di antaranya berlokasi di Pulau Jawa, dan satu TPA di Kota Manado, Sulawesi Utara.

4. Polusi Udara

Peningkatan kendaraan yang umumnya masih mengandalkan bahan bakar fosil telah menyumbang 27% emisi gas rumah kaca (GRK) dan sekitar 90%-nya berasal dari transportasi darat. Sebagai zat pencemar, penumpukan emisi telah memperburuk kualitas udara dan menyebabkan ragam penyakit pernapasan. Jabodetabek merupakan kota-kota yang mengalami peningkatan konsentrasi pm2.5. Pada pertengahan 2023, rata-rata kasus ISPA di Jabodetabek mencapai 100.000 kasus per bulan. Secara keseluruhan, polusi udara telah menurunkan angka harapan hidup di Jakarta sebesar 2,3 tahun, dan di Kalimantan sebesar 4 tahun.

5. Kemiskinan dan Kesenjangan

Indonesia tengah mengalami peningkatan kesenjangan yang lebih tinggi di daerah perkotaan ketimbang perdesaan. Hampir 7% penduduk perkotaan hidup di bawah garis kemiskinan, dan jumlah yang hampir sama berada dalam kategori “hampir miskin”. Kerentanan yang dialami penduduk miskin ini umumnya adalah kondisi permukiman yang terlalu padat, tidak memiliki hak tenurial, buruknya akses terhdap layanan dasar, kualitas kesehatan yang rendah, dan ketergantungan terhadap perekonomian informal.

Krisis Iklim Memperparah Masalah Kota

Berdasarkan laporan IPCC 2023, krisis iklim di wilayah perkotaan telah memberikan dampak buruk bagi kesehatan manusia, mata pencaharian, infrastruktur utama, dan peningkatan suhu secara ekstrem (fenomena urban heat island dan kekeringan). Suhu yang ekstrem kian parah hingga hampir mencapai 40 °C. Hal ini terbukti saat tahun 2023 lalu menjadi tahun terpanas setelah 2016, di mana suhu rata-rata global mencapai 14,98 °C, atau 0,17 °C lebih panas dibandingkan tahun 2016. Sejalan dengan data tersebut, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga mengungkapkan beberapa kota di Indonesia mengalami cuaca panas terik, seperti di Jabodetabek yang mencapai titik maksimumnya berkisar antara 35–37,5 °C. Suhu terpanas dialami Semarang dengan capaian 38 °C.

Selain fenomena suhu ekstrem, data 10 tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan secara signifikan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, peningkatan permukaan air laut) akibat krisis iklim. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sejumlah kota pesisir yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Analisis tahun 2015 menemukan 110 juta penduduk di 60 kota di Indonesia terpapar badai laut, tsunami, gempa bumi, dan kombinasi bencana lainnya.

Ragam bencana tersebut menyebabkan kota menanggung kerugian besar seiring infrastruktur utama perkotaan (transportasi, air, sanitasi, dan sistem energi) terganggu. Kementerian PPN/BAPPENAS memperkirakan Indonesia akan kehilangan PDB akibat krisis iklim sebesar Rp115 triliun pada tahun 2024. Prediksi lainnya mengungkapkan biaya banjir tahunan di ibu kota akan meningkat dari 322% menjadi 402% pada tahun 2050 seiring dampak perubahan iklim diperparah dengan subsidensi lahan, menurunnya ruang terbuka hijau, dan faktor lainnya.

Tidak hanya rugi secara finansial, krisis iklim berimbas negatif bagi layanan dasar publik dan kesejahteraan masyarakat. Berbagai dampak tersebut semakin signifikan dialami oleh masyarakat miskin perkotaan karena sebagian besarnya bertempat tinggal di kawasan yang rentan terhadap banjir dan padat penduduk. Dengan demikian, krisis iklim turut andil dalam memperparah masalah kesenjangan di kota. Pun, laporan IPCC 2023 telah menyoroti bahwa tingkat mortalitas masyarakat rentan akibat krisis iklim 15 kali lebih tinggi.

Kompleksitas dan ragam bencana lingkungan di kota membutuhkan langkah mitigasi dan adaptasi iklim. Analisis Coalition for Urban Transition (CUT) menjelaskan tiga perempat upaya mitigasi iklim perkotaan 2050 lebih potensial di kota-kota dengan jumlah penduduk kurang dari satu juta. Jakarta dengan jumlah penduduk lebih dari 5 juta jiwa hanya memiliki potensi mitigasi iklim 7%. Sementara itu, kota-kota lainnya dengan penduduk 1–5 juta penduduk memiliki potensi mitigasi iklim sebesar 17%. Dengan demikian, diperlukan dukungan dan pemberdayaan dari pemerintah pusat kepada kota-kota kecil yang saat ini masih memiliki minim kapasitas pendanaan dan sumber daya untuk melakukan aksi mitigasi perubahan iklim.

Kerangka Pikir Solusi Perkotaan

Sebagai pusat perkembangan kehidupan, beragamnya potensi kota seharusnya menjadi perhatian pemerintah pusat yang dapat diupayakan melalui intervensi khusus tanpa menihilkan wewenang daerah dan tetap mengedepankan aspek inklisivitas warga. Hal ini bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ramah lingkungan secara inklusif dan kontekstual dengan karakteristik tiap daerah. Berdasarkan permasalahan yang umumnya dihadapi mayoritas kota Indonesia, maka pemerintah pusat dapat melakukan intervensi yang kolaboratif bersama masyarakat dan lembaga nonpemerintah dalam upaya mendorong mobilitas perkotaan yang berkelanjutan serta mengembangkan ketahanan perkotaan dengan mengoptimalkan solusi berbasis alam atau Nature-based Solution (NbS). 

1. Penerapan Avoid Shift Improve (ASI) untuk Mobilitas Kota Indonesia yang Berkelanjutan

Mobilitas berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai penggunaan moda transportasi yang tidak berdampak pada lingkungan dan merupakan pendekatan perencanaan pembangunan wilayah perkotaan dengan mempertimbangkan tujuan keberlanjutan, yaitu memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kesempatan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Dalam upaya mendorong mobilitas berkelanjutan, dibutuhkan pendekatan kebijakan yang komprehensif dan koheren, serta berfokus pada kebutuhan pergerakan manusia, bukan kendaraan bermotor pribadi. Pendekatan ini dikenal sebagai ASI (Avoid, Shift, Improve) yang ditujukan untuk mempromosikan solusi mobilitas alternatif guna mencapai penurunan emisi GRK yang signifikan, mengurangi konsumsi energi, mengurangi kemacetan, dan pada akhirnya menciptakan kota yang lebih layak huni.

  • Avoid

Sebagai sebuah instrumen, avoid mendorong efisiensi sistem transportasi secara keseluruhan dengan mengurangi kebutuhan perjalanan atau meminimalisasi penggunaan kendaraan pribadi. Pertumbuhan kota-kota di Indonesia yang saat ini cenderung horisontal (fenomena urban sprawling) menyebabkan semakin jauhnya jarak tempuh perjalanan masyarakat ke pusat aktivitas kota sehingga mendorong penggunaan transportasi pribadi yang dianggap lebih efisien. Dalam upaya mengurangi kebutuhan perjalanan menggunakan transportasi pribadi, WRI Indonesia mendukung Pemerintah DKI Jakarta dalam implementasi Program Low Emission Zone (LEZ)/Kawasan Rendah Emisi (KRE) di Kawasan Kota Tua, Jakarta. Konsep dari program ini adalah membatasi masuknya kendaraan bermotor berpolusi dengan mendorong masyarakat untuk menggunakan transportasi massal berbasis energi ramah lingkungan pada area penerapan KRE. Program ini diharapkan berkontribusi pada peningkatan kualitas kualitas udara dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan serta kesehatan masyarakat.

  • Shift

Shift merupakan upaya meningkatkan efisiensi perjalanan individu dengan mengalihkan penggunaan moda transportasi perkotaan yang boros energi dan menimbulkan polusi (seperti kendaraan bermotor pribadi) ke moda yang lebih ramah lingkungan seperti jalan kaki, sepeda, dan transportasi publik. WRI Indonesia, melalui Program Kota Masa Depan UK PACT, menekankan transformasi jangka panjang menuju ruang perkotaan yang berorientasi pada mobilitas aktif dan rendah emisi pada wilayah perkotaan metropolitan pesisir. Tujuannya tidak hanya terbatas pada aspek efisiensi, tetapi juga pada pemulihan ruang kota untuk masyarakat dengan memprioritaskan nilai-nilai budaya, sejarah, ekologi, dan mewujudkan mobilitas masyarakat kota pesisir yang rendah emisi.

  • Improve 

Instrumen ini berfokus pada efisiensi kendaraan dan bahan bakar, serta pengoptimalan efisiensi operasional transportasi publik. Saat ini, instrumen improve tengah dikembangkan kota-kota di Indonesia yang sedang bertransisi menuju mobilitas berkelanjutan melalui adopsi Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) dan elektrifikasi transportasi publik seperti bus. WRI Indonesia, melalui program TUMI E-Bus Mission telah membuat peta jalan bus listrik sebagai salah satu langkah untuk mempercepat transisi bus listrik di Indonesia. Dengan adanya transisi menuju adopsi bus listrik sebagai moda transportasi publik, sekitar 15 megaton CO2 akan diturunkan selama masa pakai bus listrik. Ekosistem yang dikembangkan pada program TUMI E-Bus Mission ini dapat membantu upaya elektrifikasi jenis transportasi lainnya di masa mendatang.

Penerapan ASI
2. Pendekatan Solusi Berbasis Alam (SBA) untuk Kota yang Lebih Tangguh terhadap Krisis Iklim

Salah satu dampak krisis iklim bagi perkotaan adalah peningkatan risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan. Pendekatan hibrida berupa integrasi solusi berbasis alam dan infrastruktur tradisional (grey infrastructure) seperti restorasi dataran banjir, pembangunan kolam tampungan air tambahan, hingga pengembangan ruang terbuka hijau multifungsi dapat menjadi langkah terbaik bagi kota meningkatkan ketahanannya terhadap bencana. Melalui program Cities4Forests, WRI Indonesia berupaya membantu kota-kota di Indonesia dalam mengintegrasikan SBA ke dalam perencanaan pembangunan.

Selain peran-peran tersebut, pohon juga mampu mengurangi emisi karbon dengan menyerap sekaligus mengubahnya menjadi biomassa. Meskipun dampaknya dinilai kecil jika dibandingkan dengan banyaknya emisi karbon yang dihasilkan sektor lain di tingkat kota seperti energi dan transportasi, hal ini merupakan SBA yang paling mudah untuk diterappkan dan layak dipriroritaskan dalam strategi iklim di tingkat kota.

Penguatan peran pohon sebagai solusi iklim di tingkat kota dapat didukung oleh berbagai tingkatan pihak, termasuk individu. Hal ini dimulai dari edukasi terkait tingkatan emisi yang dihasilkan dari kehidupan sehari hari dan berpartisipasi pada crowdfunding untuk mendukung restorasi hutan di dalam dan di sekitar perkotaan.

3. Inklusivitas dalam Perencanaan dengan Merangkul Seluruh Lapisan Warga untuk Kota-kota Indonesia yang Aman dan Nyaman

Keberlanjutan pembangunan kota sangat bergantung pada tata kelola kota yang baik, salah satunya dengan mendorong terbentuknya pelibatan publik dan multi-pihak yang kuat dalam perencanaan dan pembangunan kota. Dalam konteks partisipasi publik perkotaan, Sheryl Arnstein (1969) melalui “Ladder of Citizen Participation” membagi ragam bentuk partisipasi yang terbagi menjadi 8 tingkatan; mulai dari sebatas agen yang tersosialisasikan atas inisiatif perencana, pengkonfirmasi, terlibat dalam diskusi tanpa mengambil keputusan, aktif dalam negosiasi dan pengambilan keputusan, hingga partisipasi inklusif di mana kelompok rentan turut mengontrol dan mengambil keputusan.

Semakin tinggi derajat keterlibatan publik, semakin baik tata kelola pembangunan kota. Dalam praktiknya, pelibatan publik dalam perencanaan dan pembangunan kota-kota di Indonesia masih dalam derajat yang cukup rendah. Warga kota, khususnya anak dan anak muda, masih terlibat secara pasif ditandai dengan diundang dan hadirnya perwakilan warga dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di setiap tingkatan dari kelurahan sampai kota tanpa adanya proses konsultasi yang cukup. UNICEF Indonesia menemukan bahwa hanya sekitar 13% anak muda yang terlibat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan forum anak.

Tangga Partisipasi Warga

Melalui kerangka GESI (Gender Equality and Social Inclusion), WRI Indonesia bersama para mitra mengembangkan inisiatif Safe and Sound Cities (S²Cities) untuk mendorong partisipasi aktif warga kota, khususnya anak-anak muda kota, dalam mengembangkan solusi-solusi inovatif guna menciptakan Kota Bandung yang lebih aman dan nyaman. Program S²Cities berupaya mendorong partisipasi anak muda di tingkat anak tangga tertinggi skema Arstein dengan mendorong anak muda menjadi pemimpin dalam solusi permasalahan kota. S²Cities menempatkan anak muda sebagai agen proaktif dalam pembangunan Kota Bandung melalui empat tahapan pelaksanaan program.

Tahapan pertama yang ditempuh adalah identifikasi dan prioritas permasalahan kota dari sudut pandang anak muda dengan melakukan konsultasi bersama entitas anak muda serta pemerintah Kota Bandung. Solusi dari permasalahan dieksplor melalui pengembangan kapasitas anak muda, yaitu inkubasi ide penciptaan inovasi dengan dukungan sistem pengelolaan dan alih pengetahuan, serta pendampingan dari para ahli. Melalui pendanaan terbatas, program ini mendorong anak muda untuk menerapkan ide inovasi dengan program-program tematik yang tersebar di Kota Bandung bersama mitra-mitra yang relevan.

Beberapa inisiatif anak muda dalam program S²Cities yang telah terlaksana adalah placemaking Taman Film dan Lapangan Futsal Bawet, Kota Bandung dan pemberdayaan wirausahawan muda berbasis aplikasi. Sepanjang 2023–2024, S²Cities mendorong solusi atas perundungan, permasalahan sampah, dan penciptaan ruang publik di Kota Bandung.

Urgensi Pembangunan Kota Berkelanjutan

Di tengah tantangan urbanisasi dan pembangunan berkelanjutan, strategi inklusif dan adaptif menjadi esensial untuk transformasi kota-kota di Indonesia. Keberhasilan ini memerlukan keterlibatan komprehensif dari seluruh masyarakat dan sinergi antara pemerintah kota dengan pemerintah nasional. Dengan mendorong partisipasi aktif warga, termasuk kelompok rentan dan anak muda, dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, kita dapat menciptakan kota yang tidak hanya aman dan nyaman tetapi juga tangguh terhadap perubahan iklim dan bencana alam. Kerjasama ini memastikan bahwa pembangunan kota berjalan secara berkelanjutan, memperkuat ekonomi lokal, dan meningkatkan kualitas hidup bagi semua warga.