4 Actions Vulnerable Countries Need from COP28
This article is currently only available in Indonesian.
Global Stocktake di COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab bulan Desember ini akan mengevaluasi kemajuan yang telah dibuat oleh Perjanjian Paris dalam melawan krisis iklim dan apa yang diperlukan untuk mempercepat tindakan iklim ke depannya. Temuan dari evaluasi ini sudah dapat ditebak: dunia sudah keluar jauh dari jalur yang ditetapkan dan dampaknya sudah menghantam hampir semua negara rentan secara tidak proporsional.
Pada akhir 2022, dua per tiga wilayah Sudan Selatan terendam air akibat banjir ekstrem sehingga lebih dari satu juta penduduknya saat ini menghadapi ketidaktahanan pangan yang parah. Pada Maret 2023, Siklon Freddy mengakibatkan hujan lebat di Malawi, Mozambik dan Madagaskar yang merusak lahan pertanian, membebani pusat kesehatan dan berdampak pada lebih dari dua juta orang. Di saat yang sama di Pasifik Selatan, Vanuatu dihantam dua badai siklon dalam waktu tiga hari, memengaruhi 80 persen populasi negara itu. Yang terbaru, Siklon Mocha melanda komunitas pantai di Myanmar dan Bangladesh, menandai salah satu badai terburuk dalam 15 tahun terakhir, menewaskan ratusan orang.
Kita tidak akan melihat kemajuan tindakan iklim yang nyata selama keadilan dan kesetaraan iklim belum menjadi fokus dalam negosiasi iklim internasional. Kabar baiknya, kita sudah tahu apa langkah yang harus diambil oleh negara-negara untuk membatasi dampak iklim yang terburuk bagi masyarakat di seluruh dunia. Para negosiator yang bertemu di Bonn pada awal Juni untuk negosiasi intersesi memiliki kesempatan penting untuk membangun landasan bagi COP28.
Konsorsium Allied for Climate Transformation by 2025 (ACT2025), sekumpulan think tank dari berbagai negara berkembang yang rentan yang berkolaborasi untuk meningkatkan ambisi iklim untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan bagi masyarakat di garis depan dampak iklim, memiliki Call to Action baru yang merinci empat cara yang dapat dilakukan dunia untuk menghasilkan aksi iklim yang lebih signifikan di COP28. Berikut adalah tuntutan ACT2025:
1) Mendorong Ambisi untuk Membatasi Pemanasan di Tingkat 1,5 Derajat C
Dari zaman pra-industri, suhu rata-rata global sudah meningkat sebesar 1,1 derajat C. Komitmen nasional pengurangan emisi yang ada saat ini hanya cukup untuk membatasi pemanasan rata-rata dunia di tingkat 2,8 derajat C, jauh melampaui ambang batas Perjanjian Paris di tingkat 1,5 derajat C. Cuaca ekstrem yang terus meningkat dan ketidakstabilan suhu yang sudah kita alami dengan pemanasan 1,1 derajat C membuktikan bahwa membatasi kenaikan suhu global di tingkat 1,5 derajat C, atau angka berapapun di atas 1 derajat C, tidak cukup untuk melindungi banyak negara rentan dari dampak yang menghancurkan.
Namun, negara-negara ekonomi besar dan industri telah terlalu lama mengabaikan peringatan ilmiah, janji iklim mereka dan panggilan untuk mengambil tindakan dan memberikan dukungan yang lebih besar. G7 baru-baru ini menyatakan bahwa pendanaan bahan bakar fosil di luar negeri sementara ini dapat diterima dengan adanya perang Rusia dan Ukraina setelah sebelumnya berjanji untuk tidak memberikan pendanaan baru. Pada 2022, industri bahan bakar fosil mencatatkan rekor keuntungan di tengah krisis energi global, sementara subsidi global meningkat ke atas US$1 triliun untuk pertama kalinya — lebih dari dua kali lipat tahun sebelumnya.
Untuk membuat perubahan, ada beberapa langkah yang harus diambil COP28 untuk memastikan bahwa masa depan 1,5 derajat C masih dapat terwujud. COP28 harus mengambil tindakan khusus untuk menanggapi temuan Global Stocktake dan memulai ambisi lebih besar di semua elemen aksi iklim — mitigasi, adaptasi, kerugian dan kerusakan serta cara implementasi — dengan mempertimbangkan prinsip keadilan dan kesetaraan. Sebagai contoh, masyarakat global dapat menetapkan target energi terbarukan dan mendorong komitmen iklim ambisius dan rinci, yang dikenal sebagai nationally determined contributions(NDC), yang cukup untuk membatasi pemanasan di angka 1,5 derajat C.
Langkah ini sangat penting bagi ekonomi G7 dan G20, yang merupakan emiter gas rumah kaca tertinggi di dunia. Negara-negara G-20 — negara industri dan pasar berkembang yang hanya mewakili sekitar 10 persen dari semua negara yang ada — bertanggung jawab atas sekitar 75 persen emisi global. Sementara itu, sebagai kontributor emisi terendah, negara-negara yang paling rentan merasakan dampak perubahan iklim yang terburuk. Secara global, kontribusi NDC yang direvisi harus secara kolektif mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 43 persen pada tahun 2030 dan 60 persen pada tahun 2035 dari tingkat emisi tahun 2019.
Selain itu, COP28 harus mampu memperoleh komitmen dari negara-negara untuk secara adil mengurangi penggunaan semua bahan bakar fosil, termasuk minyak, gas dan batu bara. Proses ini mencakup penetapan target global untuk secara adil meningkatkan kapasitas daya terbarukan setidaknya tiga kali lipat dari level 2022 pada tahun 2030 menjadi rata-rata 90 persen dari kapasitas produksi baru setiap tahun. Penting juga bagi negara-negara untuk memastikan ketersediaan pendanaan yang memadai guna mendukung transisi yang adil, yang akan meminimalkan dampak bagi kelompok masyarakat yang bergantung pada industri bahan bakar fosil. Melalui Program Kerja Just Transitions yang didirikan pada COP27, negara-negara dapat mengembangkan dasar untuk pengembangan NDC dan mendorong solusi yang adil dan berfokus pada manusia. Hal ini mencakup pertimbangan mendalam terkait dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari peralihan ke ekonomi rendah karbon dan tahan iklim. Hambatan-hambatan seperti biaya modal, kemiskinan energi, akses energi, ekstraksi mineral dan kebutuhan untuk diversifikasi ekonomi juga harus diperhitungkan untuk memastikan bahwa masyarakat yang paling rentan tidak ditinggalkan.
2) Mendorong Adaptasi Iklim yang Berfokus pada Manusia
Hampir setengah dari populasi global tinggal di daerah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim di seluruh dunia. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan peningkatan suhu bumi. Meskipun penelitian menunjukkan bahwa tindakan adaptasi seperti sistem peringatan dini, manajemen risiko iklim dan agroforestri dapat secara signifikan mengurangi risiko iklim, upaya-upaya global ini masih diterapkan secara bertahap, reaktif dan terfragmentasi karena kekurangan dana adaptasi yang signifikan.
Selain memperkuat upaya mitigasi, semua negara perlu mempercepat dan meningkatkan investasi adaptasi mereka. Sebagai contoh, tindakan adaptasi harus dapat denga segera mengatasi kekeringan, penyakit dan kelaparan yang saat ini memengaruhi lebih dari 800 juta orang di seluruh dunia. Namun, upaya tersebut juga harus meminimalkan dampak tidak diinginkan (maladaptasi), yang dapat secara tidak sengaja meningkatkan kerentanan, terutama bagi mereka yang sudah berada di garis depan.
Di Bangladesh, beberapa masyarakat pesisir mengubah sawah menjadi kolam budidaya udang sebagai bentuk adaptasi terhadap intrusi air laut. Sayangnya, langkah ini malah menguntungkan para pemilik tanah besar dan menyebabkan banyak pekerja kehilangan rumah akibat kehilangan pekerjaan, karena kebutuhan pekerja budidaya udang tidak sebanyak pertanian padi.
Menjelang COP28, diperlukan komitmen politik yang lebih kuat terhadap Global Goal of Adaptation (GGA) yang dibentuk di bawah Perjanjian Paris, namun sejauh ini kemajuannya belum terlihat. Kerangka kerja terkait GGA harus mengakomodasi tindakan yang bersifat holistik dan ambisius, dengan mengutamakan adaptasi transformatif untuk mengatasi akar masalah kerentanan iklim serta menekankan keadilan iklim dan adaptasi yang dipimpin secara lokal.
Hasil dari Global Stocktake juga harus dapat mengakomodasi adaptasi yang kuat dan adil, termasuk dukungan teknis dan transfer teknologi, yang dapat meningkatkan ketahanan global, membangun kapasitas adaptif, mengurangi kerentanan manusia dan alam terhadap perubahan iklim, mengatasi kesenjangan dalam pendanaan dan implementasi adaptasi serta mendukung negara-negara serta masyarakat yang paling rentan.
3) Membangun Institusi Baru untuk Menangani Kerugian dan Kerusakan
Kita kini berada di era kerugian dan kerusakan, suatu istilah yang digunakan dalam perundingan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merujuk pada konsekuensi perubahan iklim di luar kemampuan adaptasi negara-negara. Negara-negara berkembang, dengan kontribusi karbon terendah, seringkali terkena dampak yang paling besar, tanpa sumber daya yang memadai untuk melindungi atau memulihkan diri dari peristiwa-peristiwa yang parah ini.
Setelah COP25 membentuk Santiago Network on Loss and Damage (SNLD) — yang bertujuan untuk memberikan bantuan teknis kepada negara-negara berkembang — dan COP27 membentuk dana khusus dan perjanjian pendanaan yang lebih luas untuk menangani kerugian dan kerusakan, kita perlu mengambil langkah maju dalam pemberian dukungan pendanaan bagi negara-negara berkembang yang terkena dampak kerusakan parah akibat perubahan iklim menjelang COP28. Langkah ini akan menunjukkan solidaritas dan membangun kepercayaan, baik antara negara-negara maju dengan negara berkembang maupun dalam proses negosiasi itu sendiri. Kegagalan untuk menyetujui elemen-elemen operasionalisasi dana di COP28 tidak dapat diterima dan akan merugikan semua negara dan masyarakat di garis depan.
Kesepakatan yang dihasilkan pada COP28 harus memastikan adanya pendanaan baru, tambahan, dapat diprediksi, dapat diakses, memadai dan cepat untuk menanggapi kerugian dan kerusakan; mengoperasikan sepenuhnya SNLD melalui pemilihan tuan rumah dan anggota Dewan Penasihatnya serta dengan jelas menunjukkan peran SNLD dalam dana khusus dan perjanjian pendanaan yang lebih luas (ini dapat mencakup penetapan SNLD sebagai unit teknis dalam evaluasi kebutuhan pendanaan).
Komitmen pendanaan baru yang merupakan pengembangan dari pendanaan iklim dan pembangunan yang ada tanpa mengurangi ketersediaan dana adaptasi juga diperlukan.
Terakhir, memahami kebutuhan akan data tambahan tentang kerugian dan kerusakan, COP28 harus mendorong Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) untuk menghasilkan laporan khusus tentang kerugian dan kerusakan untuk berbagai skenario pemanasan, termasuk biaya ekonomi dan sosial, sebagai dasar bukti yang lengkap untuk mendukung pengambilan keputusan di masa depan terkait kerugian dan kerusakan. Laporan ini sebaiknya disampaikan selambatnya pada COP30.
4) Memberikan Pendanaan yang Memadai untuk Menanggapi Kebutuhan Krisis Iklim
Untuk mencapai transisi sosial dan ekonomi ke suhu 1,5 derajat C, diperlukan mobilisasi triliunan dolar secepatnya. Menurut studi, biaya yang diperlukan antara $1,5 triliun hingga $5,9 triliun setiap tahunnya hingga 2030.
Meskipun estimasi ini tampak menyeramkan, IPCC juga menyatakan bahwa modal dan likuiditas global yang ada sudah dapat menutupi biaya-biaya ini, namun dana-dana ini belum dialokasikan dengan tepat saat ini. Sebagai contoh, Standing Committee on Finance memperkirakan bahwa dari tahun 2019 hingga 2020, dunia menghabiskan $892 miliar untuk investasi bahan bakar fosil dan $450 miliar untuk subsidi bahan bakar fosil. Sebagai perbandingan, pada tahun 2020, total $83.3 miliar dana iklim dimobilisasi dari negara maju ke negara berkembang, dan hanya sekitar sepertiganya digunakan untuk tindakan adaptasi.
Negara-negara rentan menghadapi beban keuangan yang besar, terutama untuk beradaptasi dengan dunia yang terus berubah. Kebutuhan adaptasi saja diperkirakan dapat mencapai $300 miliar setiap tahun pada tahun 2030 dan $565 miliar setiap tahun pada tahun 2050 — jumlah ini akan bertambah dengan setiap derajat pemanasan tambahan. Demikian pula, diperkirakan dibutuhkan $580 miliar setiap tahun pada tahun 2030 dan $1.7 triliun setiap tahun pada tahun 2050 untuk menutup kerugian dan kerusakan. Beban keuangan tambahan ini menambah tingkat utang negara-negara rentan yang sudah tinggi sehingga mereka kesulitan untuk mendapatkan pendanaan lain untuk pembangunan dan peningkatan kehidupan penduduknya.
Negara-negara maju sudah gagal memenuhi komitmen kolektif tahunan $100 miliar, yang dijadwalkan dimulai pada tahun 2020, untuk mendukung negara-negara berkembang. Negara-negara maju harus menutup defisit ini dan menyetujui komitmen minimum $120 miliar per tahun hingga 2025 di COP28 dan menetapkan target pendanaan iklim yang lebih ambisius setelahnya. Pada akhirnya, mempertimbangkan bahwa negara-negara berkembang membutuhkan $1.5 triliun hingga $5.9 triliun untuk melawan krisis iklim, negara-negara harus setuju untuk memobilisasi triliunan — bukan miliaran — dana iklim.
Pemahaman ini juga yang harus menjadi dasar dalam penetapan target pendanaan iklim baru pada tahun 2024. Target ini harus menargetkan pendanaan untuk adaptasi, mitigasi dan kerugian dan kerusakan; mencakup rentang waktu 10 tahun (yaitu 2025 hingga 2035) dan menegaskan kembali peran sentral pendanaan publik dan berbasis hibah, khususnya untuk adaptasi kerugian dan kerusakan.
Terakhir, berkat kepemimpinan advokat-advokat seperti Perdana Menteri Barbados Mia Mottley, reformasi sistem keuangan internasional telah mulai berkembang menjadi topik diskusi utama. COP28 harus mendorong lembaga-lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dll.) untuk mengambil langkah reformasi yang ambisius. Perhatian khusus harus diberikan untuk meningkatkan keuangan public - khususnya keuangan konvensional, mengatasi ketidaksetaraan dalam akses keuangan dan mengurangi hambatan akses.
Tindakan Cepat akan Menyelamatkan Nyawa
Jelas bahwa masih banyak yang harus dilakukan dalam waktu singkat jika negara-negara ingin membawa dunia kembali ke jalur yang tepat untuk mencegah dampak paling berbahaya dari perubahan iklim dan melindungi masyarakat dan populasi yang paling rentan. Meskipun tampak menakutkan, biaya yang harus dikeluarkan jika kita tidak bertindak akan jauh lebih besar: Global Commission on Adaptation memperkirakan bahwa menginvestasikan $1,8 triliun antara 2020 dan 2030 dapat menghasilkan manfaat bersih total sebesar $7,1 triliun.
Jalan menuju COP28 dipenuhi dengan berbagai momen krusial yang akan menentukan keberhasilan konferensi ini. Mulai Mei 2023, G7 akan bertemu di Hiroshima, Jepang untuk menyiapkan komunike yang akan menjadi sinyal penting terkait ambisi negara-negara kaya dan beremisi tinggi ini. Sinyal serupa harus muncul dari KTT G20 pada September tahun ini. Pertemuan-pertemuan penting lainnya termasuk KTT untuk Pakta Keuangan Global Baru pada Juni yang penting bagi reformasi sistem keuangan internasional dan KTT Ambisi Iklim Sekretaris Jenderal PBB pada September, yang seharusnya menghasilkan komitmen tindakan iklim tertinggi dalam sejarah dan pemberian komitmen pendanaan untuk kerugian dan kerusakan guna menjaga momentum yang dihasilkan dari COP27 terkait pendanaan untuk mengatasi kerugian dan kerusakan.
Semakin cepat negara-negara meningkatkan komitmen iklim mereka (dan benar-benar menindaklanjutinya), semakin mudah komitmen-komitmen tersebut akan tercapai, dan semakin banyak nyawa yang akan diselamatkan. Masa depan yang lebih aman dan adil dapat kita wujudkan — tetapi kita harus mulai mengambil langkah sekarang.