Engaging Person with Disabilities in Urban Transportation Service
This article is currently only available in Indonesian.
Pemaknaan mobilitas tidak terbatas pada perpindahan dari satu titik ke titik lainnya, tetapi juga aktivitas seseorang untuk mengakses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, relasi sosial, dan aktivitas rekreasional. Meskipun mobilitas telah diakui sebagai Hak Asasi Manusia (HAM), pada praktiknya, kebebasan bermobilisasi masih kerap diatur dengan menitikberatkan kelompok dengan status sosial-ekonomi, gender, usia, atau kondisi fisik tertentu (Hidayati dkk, 2021). Hal ini berdampak pada peminggiran akses segelintir kelompok, seperti penyandang disabilitas. Peminggiran mencegah kelompok ini menerima manfaat dari perkembangan dan modernisasi sistem transportasi, satu aspek krusial yang menunjang kehidupan perkotaan.
Dari sudut pandang penyandang disabilitas, kota memiliki banyak fitur tidak kasat mata bagi orang yang tidak menyandang disabilitas. Titchkosky (2011) mendefinisikan disabilitas sebagai konstruksi sosial yang ditentukan oleh interaksi antara individu dan lingkungannya, oleh karenanya pengalaman penyandang disabilitas di kota turut dibentuk oleh perjumpaannya dengan karakteristik kota tersebut.
Pembangunan kota masih mengacu pada ruang untuk identitas tunggal, yakni manusia/kelompok yang tidak berkebutuhan khusus. Belum ada gambaran alternatif yang merefleksikan pembangunan kota berdasarkan kondisi yang beragam. Keberagaman ini merujuk pada bentuk tubuh, cara pikir, indera, emosi, dan bentuk kehidupan yang menjadi kerangka kehidupan dan pembangunan kota. Kerangka berpikir seperti ini menghasilkan pembenaran bahwa peminggiran dan eksklusi segelintir kelompok dari akses mobilitas perkotaan merupakan hal yang lumrah dan alamiah.
Hal ini terefleksikan oleh penulis saat mengikuti tur kota dan diskusi mengenai akses mobilitas kota bersama kelompok penyandang disabilitas di Surabaya pada Hari Disabilitas Internasional 3 Desember 2022 lalu. Kendala bermobilisasi yang dialami penyandang disabilitas utamanya berkutat pada dua hal, yakni akses terhadap transportasi umum dan fitur transportasi itu sendiri.
Perwakilan Perkumpulan Penyandang Cacat Mandiri (PPCM) Sidoarjo dan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) Surabaya selaku peserta acara mengatakan bahwa banyak penyandang disabilitas berstatus sosio-ekonomi rendah dan bertempat tinggal di daerah yang jauh dari transportasi umum. Hal ini membuat penyandang disabilitas harus menempuh jarak perjalanan dan beban biaya yang lebih. Dari segi fasilitas, kami merangkum hasil pengamatan kami terhadap sebagian fitur infrastruktur transportasi umum yang masih perlu diperbaiki agar dapat memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas. Beberapa di antaranya adalah:
- Ramp portabel pada bus yang sulit dibuka sehingga menyulitkan pengguna kursi roda, disabilitas netra, dan disabilitas daksa ketika akan menaiki bus;
-
Bus yang tidak memiliki fitur pemberitahuan terkait halte pemberhentian bus sehingga disabilitas netra kesulitan untuk melakukan drop off;
-
Tidak ada tombol yang dapat mewakilkan kelompok disabilitas rungu untuk meminta berhenti pada halte tertentu;
-
Jalur trotoar yang sempit, terputus-putus, tidak terintegrasi antar titik, tidak memiliki guiding block, serta materialnya yang licin, sehingga berisiko, baik bagi penyandang disabilitas maupun kelompok inklusi (perempuan, anak-anak, lansia, perempuan hamil, dll.) lainnya;
-
Metode pembayaran elektronik yang kurang dapat diakses bagi penyandang disabilitas netra;
-
Durasi penyebrangan zebra cross yang singkat tidak sebanding dengan ruas jalan yang lebar; dan
-
Guiding block (ubin pemandu) dan kursi prioritas bus yang tidak memiliki warna mencolok.
Rangkuman di atas tentunya tidak meliputi seluruh fasilitas yang dapat diperbaiki, karena sebagai non-disabilitas, penulis memiliki keterbatasan untuk menangkap detail yang teramati oleh penyandang disabilitas.
Di samping itu, sisi sosial menjadi hal lain yang turut menghambat kebebasan bermobilisasi penyandang disabilitas. Hasil pengamatan dan diskusi hari itu menunjukkan kebiasaan orang non-disabilitas untuk menduduki kursi prioritas, panik ketika melihat/merespons/berinteraksi dengan penyandang disabilitas yang mengakses transportasi umum, dan tidak responsifnya pengemudi/kernet transportasi umum saat mengangkut penumpang disabilitas.
“Pandangan yang harus dikembangkan adalah normalisasi penyandang disabilitas, atau kelompok inklusi lainnya, dalam bermobilisasi. Pandangan ini perlu diwujudkan dengan melibatkan kami dalam perencanaan pembangunan, serta memberikan akses dan fasilitas bermobilisasi,” respons Pak Atung selaku perwakilan LPT Surabaya.
Ucapannya mengingatkan penulis dengan makna peringatan Hari Penerimaan Internasional (International Acceptance Day) 20 Januari 2022 dan menjadi refleksi kritis pembangunan kota yang inklusif; bahwa yang diperlukan saat ini adalah paradigma yang menormalisasi para penyandang disabilitas untuk bermobilisasi secara aktif layaknya non-disabilitas guna memenuhi hak dan kesejahteraannya.
Seraya pengalaman ketimpangan bermobilisasi dialami secara berbeda oleh tiap orang atau kelompok, maka pendekatan untuk menyelesaikannya memerlukan kontekstualisasi untuk menerima, merayakan, serta memberdayakan keragaman abilitas tiap individu. Pendekatan konvensional yang berpusat pada tempat (place-based), dibandingkan manusia (human-centered), seringkali bersifat diskriminatif atau mengasumsikan tiap individu memiliki tingkat mobilitas yang sama sehingga pengalaman kelompok-kelompok khusus terabaikan dan mengakibatkan permasalahan ketimpangan yang lebih luas (Hidayati dkk, 2021). Di titik ini, alternatif perancangan kota yang inklusif perlu memberikan intervensi.
Memberikan alternatif intervensi tidak hanya soal menciptakan cara kerja maupun hal baru, tetapi juga upaya memunculkan ide, gagasan, dan perbaikan terhadap ruang dan sumber daya yang ada, serta terbuka dengan segala kemungkinan yang konstruktif. Diperlukan kerja-kerja bersama untuk mengumpulkan ide dan gagasan yang menyambungkan keberagaman warga kota (baik penyandang disabilitas dan non-penyandang disabilitas, laki-laki, perempuan, non-biner, trans, anak kecil, dan kelompok lanjut usia) ke dalam desain pembangunan dan pengembangan kota yang inklusif.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) menjadi salah satu langkah mewujudkan pembangunan kota yang inklusif, seperti halnya di Surabaya. Tetapi, wawancara kami dengan kelompok penyandang disabilitas pada 12 Januari 2023 lalu menunjukkan pelaksanaan Musrenbang kerap tidak efektif.
“Kalau masalah Musrenbang memang hampir semua komunitas disabilitas diundang. Tetapi, ketika Musrenbang itu tidak efektif karena yang diundang terlalu banyak, tidak hanya penyandang disabilitas saja. Semuanya disuruh memberikan masukan bagaimana pembangunan kota ke depannya. Jadi akhirnya kami teman-teman disabilitas memiliki kesempatan berbicara lebih sedikit. Dan akhirnya kesempatan untuk direspons juga tenggelam karena ada isu-isu lain,” ujar Pak Joko selaku Ketua PPCM Sidoarjo.
Kurang inklusifnya pembangunan kota juga dijelaskan melalui pengalaman Pak Tutus dan Pak Atung selaku perwakilan LPT Surabaya, yakni adanya ketidaksesuaian antara fasilitas penyandang disabilitas dengan peraturan yang berlaku.
“Di Kota Surabaya memang sudah mulai ada perkembangan ke arah yang positif, hanya saja masih ada beberapa hal yang kami anggap belum mengakomodasi kepentingan teman-teman disabilitas. Beberapa fasilitas yang disediakan memang sudah ada tetapi tidak memenuhi standar undang-undang yang ada,” terang Pak Tutus.
“Yang selama ini kami rasakan, kami belum banyak dilibatkan dalam penyusunan kebijakan. Contohnya seperti yang disampaikan Mas Tutus, penyediaan ubin pemandu di jalur pedestrian yang tidak sesuai dengan standar Permen PUPR. Kami dari LPT mengadakan riset dan hasilnya menunjukkan ini tidak sesuai yang kita harapkan dan sebagaimana yang ditetapkan peraturan yang ada. Artinya memang selama ini kami pun merasa tidak dilibatkan. Padahal pelibatan kelompok disabilitas dalam penyusunan kebijakan itu sudah diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities),” tambah Pak Atung.
Pengalaman penulis di Surabaya menjadi sebuah pengingat tersendiri bahwa masih banyak PR dalam mewujudkan kota yang inklusif, termasuk dalam hal penataan akses mobilitas. Hanya dengan kota yang mudah diakses, penyandang disabilitas bisa keluar dari rumah, menggunakan kendaraan umum, mengenyam pendidikan, melakukan pekerjaan, mendapatkan layanan kesehatan, dan menunaikan ragam aktivitas lain seperti halnya mereka yang non-disabilitas.