Tumbang Imas: Peat-friendly Land Clearing Practices from Permata Village
This article is currently only available in Indonesian.
Betapa bahagianya ketika kami mendengar kabar bahwa pembatasan perjalanan akibat pandemi COVID-19 sudah mulai dilonggarkan. Melihat luasnya hamparan sungai Kapuas serta berbagai aktivitas yang dilakukan di sekitarnya cukup mengobati kerinduan kami akan kegiatan lapangan. Tentunya pembatasan akibat pandemi tersebut cukup mengganggu kegiatan di bawah naungan konsorsium People for Peat yang banyak membutuhkan kunjungan ke lapangan, seperti kegiatan Peat Ranger Training yang kami lakukan di Kalimantan Barat beberapa waktu lalu.
Setelah pada hari pertama dan kedua kami habiskan di dalam ruangan dengan berbagai materi tentang pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, pada hari ketiga kami berkesempatan untuk mengunjungi desa di mana para peserta training berasal. Desa Permata, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Terentang, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat adalah tujuan kami. Satu jam perjalanan darat dengan menggunakan mobil dan dilanjutkan dengan satu jam perjalanan menggunakan speed boat adalah waktu yang dibutuhkan jika kita berangkat dari Kota Pontianak.
Selama berlangsungnya kegiatan, kami tertarik dengan cerita salah satu peserta pelatihan mengenai praktik pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) yang dilakukan olehnya dan masyarakat lain di desa tersebut. Edi Haryanto, seorang transmigran asal Brebes, menceritakan dengan gamblang mengenai praktik pembukaan lahan dengan cara dibakar yang kini mulai ditinggalkan masyarakat Desa Permata.
Desa Permata merupakan salah satu desa yang menjadi lokasi program transmigrasi dari pemerintah pusat. Berawal dari tekad ingin hidup mandiri, Edi memulai kehidupan sebagai transmigran di desa ini pada tahun 2012. Lahan usaha seluas 2,5 hektare, lahan pekarangan seluas setengah hektare, rumah, serta jaminan kebutuhan pokok selama setahun pertama yang dijanjikan pemerintah dalam program transmigrasi, cukup membuat Edi dan keluarga memantapkan hati untuk berpindah ke desa ini. Seiring berjalannya waktu, kini Edi memiliki lahan seluas 8 hektare di Dusun Setia Jaya, Desa Permata. Dalam mengelola lahannya, Edi tahu betul betapa buruknya dampak dari membakar lahan saat proses pembukaan lahan. Tidak dapat dipungkiri, dahulu Edi pernah melakukan praktik pengelolaan lahan gambut yang tidak berkelanjutan ini. Tapi saat ini ia bersama masyarakat lainnya sudah meninggalkan praktik tersebut dengan berbagai alasan.
Pertama, adanya ancaman hukuman dari pemerintah cukup efektif menekan praktik membakar lahan di desa ini. Kedua, masyarakat sudah menyadari bahwa membakar lahan dapat memberikan dampak negatif dalam jangka panjang. Mereka mendapati bahwa ‘kesuburan lahan’ setelah dibakar hanya dirasakan di awal pertumbuhan tanaman saja (sekitar satu tahun setelah dibakar). Setelah itu, pertumbuhan tanaman tidak maksimal. Hal ini tentunya sejalan dengan bukti ilmiah bahwa dampak pembakaran lahan yang dapat menurunkan tingkat kemasaman tanah hanya dapat dirasakan dalam jangka pendek, akan hilang seiring dengan hilangnya abu bekas pembakaran. Selebihnya, membakar lahan gambut akan banyak menimbulkan dampak negatif bagi kondisi biofisik lahan gambut itu sendiri. Ketiga, meningkatnya wawasan masyarakat tentang pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan, salah satunya melalui pelatihan, turut berkontribusi pada berkurangnya praktik pembakaran lahan.
Sebagai gantinya, masyarakat di Desa Permata mempraktikkan metode pembukaan lahan yang ramah gambut, yaitu ‘tumbang imas’. Secara harfiah, tumbang imas berarti menumbangkan pepohonan (tanaman tahunan) dan menebas (imas) pakis-pakis dan tanaman semak lainnya dalam proses pembukaan lahan. Proses tumbang imas diawali dengan cara membatasi lahan dengan tali pancang dan merintis (menebas tanaman) di sepanjang batas lahan. Setelah itu dilakukan penebasan pakis dan tanaman semak lainnya (imas) dan dilanjutkan dengan penebangan tanaman tahunan. Edi sudah mengimplementasikan praktik ini di lahan usaha miliknya seluas 2 hektare. Masyarakat lain juga demikian, terdapat sekitar 10 hektare lahan yang masih dalam proses pembukaan lahan usaha dengan metode tumbang imas.
Dari segi waktu, metode tumbang imas ini memang memerlukan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan pembukaan lahan tanpa bakar lainnya (menggunakan ekskavator) yang hanya membutuhkan waktu satu hari untuk membuka lahan seluas satu hektare. Kegiatan tumbang imas biasanya dikerjakan secara berkelompok yang dilakukan oleh empat orang membutuhkan waktu hingga setengah bulan. Hal ini belum termasuk dengan persiapan lahan untuk ditanam akibat banyaknya batang pohon dan sisa-sisa penebasan tanaman semak. Setelah tumbang imas, terdapat proses lorong pancang, yaitu membuat lorong-lorong untuk titik tanam, dengan jarak antar lorong tergantung jarak tanam yang akan kita gunakan. Sisa-sisa tanaman hasil proses tumbang imas diletakkan diantara lorong pancang sampai melapuk, sehingga dapat menjadi pupuk alami yang menyuburkan tanah. Proses lorong pancang hampir sama lamanya dengan proses tumbang imas, sehingga, jika dilihat dari waktu pengerjaan, akan lebih efektif menggunakan ekskavator. Walaupun demikian, penggunaan ekskavator dapat berakibat buruk yaitu memadatkan tanah dan memicu terjadinya penurunan permukaan tanah gambut (subsiden).
Selain itu, penggunaan ekskavator juga membutuhkan biaya yang lebih besar. Untuk luas lahan satu hektaremembutuhkan biaya sekitar 15 juta rupiah. Tumbang imas hanya membutuhkan biaya sebesar 4,8 juta rupiah saja untuk upah tenaga kerja sebanyak empat orang[ES1] [DS2] (atau dua kali lipatnya jika sampai pembuatan lorong pancang). Sehingga dari segi biaya, tumbang imas lebih efektif jika dibandingkan dengan menggunakan ekskavator.
Mempertimbangkan hal-hal di atas, sudah sepatutnya praktik pembukaan lahan yang ramah gambut dengan metode tumbang imas lebih banyak diterapkan dan pembukaan lahan gambut dengan cara dibakar perlu ditinggalkan. Berkenaan dengan masih banyaknya masyarakat yang melakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar, Edi memiliki pesan bagi mereka untuk meninggalkan praktik tersebut karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan kita.
“Bagi masyarakat yang masih membuka lahan dengan cara dibakar sebaiknya ditinggalkan karena bagaimanapun dampak ke depannya tidak bagus untuk kita.” – Edi Haryanto