This article is currently only available in Indonesian.

Air adalah kebutuhan mendasar setiap makhluk hidup di muka Bumi. Bahkan, lebih dari 60 persen tubuh manusia adalah air. Air juga memberikan dukungan bagi ketersediaan pangan manusia agar dapat memiliki hidup yang sehat dan layak, guna mampu beraktivitas dan mendapatkan taraf kehidupan yang lebih baik. Begitu pentingnya peran air bagi kehidupan, maka mendapatkan akses air bersih adalah hak setiap individu. 

Sayangnya, saat ini lebih dari 800 juta masyarakat dunia masih terkendala untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Mereka harus menempuh perjalanan jauh untuk mengangkut air (water fetching) dari sumber ke tempat tinggal mereka dengan rata-rata jarak tempuh sekitar 30 menit berjalan kaki. Kegiatan mengangkut air dari sumber ke tempat tinggal ini adalah pemandangan yang lumrah terlihat di berbagai belahan dunia seperti di Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. 

Tidak meratanya sumber air serta akses yang terbatas merupakan akar dari permasalahan ini. Permasalahan akses terhadap air bersih ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan di tengah masyarakat, seperti rasa ketidakadilan serta berbagai dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan. Ketimpangan ini rawan menimbulkan konflik dan mengancam perdamaian masyarakat. 

Peringatan Hari Air Sedunia yang jatuh setiap tanggal 22 Maret. Tahun ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa memilih tema "Water for Peace" atau Air Bagi Perdamaian. Tema ini menekankan pentingnya sumber daya air yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan pertikaian atau permasalahan. 

Pengangkutan Air di Indonesia 

Di Indonesia, akses untuk mendapatkan air bersih kerap menjadi permasalahan di tengah masyarakat. Pengangkutan air adalah salah satu bentuk krisis air yang dihadapi masyarakat, saat air harus diangkut dari satu wilayah yang memiliki sumber daya yang memadai ke daerah lain yang kekurangan air. Fenomena pengangkutan air di Indonesia telah menjadi isu sejak beberapa. Pengangkutan air ini masih terjadi hingga saat ini akibat kerusakan maupun belum memadainya infrastruktur, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan

Berdasarkan sebuah studi pada 2019 dengan sampel 115.392 rumah tangga di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, sebagian besar pengangkut air merupakan laki-laki dewasa (54,83%). Namun, perempuan mendominasi pada wilayah Nusa Tenggara dan Papua. Sementara itu, menurut studi yang sama, pengangkut air perempuan dewasa secara nasional adalah 42,3%, anak-anak perempuan 1,57%, dan anak-anak laki-laki 1,31%. 

Studi lainnya pada 2016-2017, menemukan bahwa sebagian penduduk Kabupaten Timor Tengah mengakses air dengan menempuh perjalanan 6 sampai 10 kilometer, serta harus membayar air tersebut seharga Rp2.000untuk 20 liter air. 

Dampak Negatif bagi Pengangkut Air 

Individu pengangkut air berisiko menanggung berbagai permasalahan fisik dan mental. Sebuah kajian pada 2020 mengungkap berbagai cedera yang diakibatkan oleh pengangkutan air seperti patah tulang, luka gores, kelelahan, memar, terbakar matahari, dan lain-lain. Selain itu, mereka juga kehilangan waktu untuk bekerja dan memelihara keluarga. 

Bagi pengangkut air anak-anak, risiko ini ditambah dengan kehilangan waktu bersekolah dan belajar. Lebih lanjut, hal ini akan berdampak pada merosotnya tingkat pendidikan mereka dan merampas hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Akibatnya, secara keseluruhan, hal ini akan berdampak buruk pada kesejahteraan dan ketahanan nasional. 

Terutama bagi perempuan, pengangkutan air ini juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual selama perjalanan tersebut. Selain itu, kelelahan mental serta tidak tuntasnya pekerjaan rumah tangga akibat tersitanya waktu untuk pengangkutan air juga memicu timbulnya kekerasan rumah tangga

Dalam lingkup komunitas, kelangkaan akses air dapat memicu terjadinya konflik sosial-politik, sebagaimana pernah terjadi di beberapa negara. Demonstrasi dengan kekerasan pernah terjadi di Iran. Di India, lebih dari 232 orang meninggal dunia karena konflik yang terkait dengan air hanya dalam kurun 2017 hingga 2019,  dan tercatat lebih dari 2.000 kasus konflik terkait air. Diperkirakan, perempuan di perdesaan India perlu berjalan kaki sejauh 5 hingga 20 kilometer per hari untuk memperoleh air. Tidak jauh dari Indonesia, para perempuan di Myanmar yang menjadi pengangkut air memikul risiko tambahan yaitu terluka bahkan terbunuh karena harus melewati zona perang untuk memperoleh air. 

Potensi Solusi 

Penambahan infrastruktur air perpipaan merupakan salah satu cara meminimalkan pengangkutan air serta mencegah konflik terkait air di masa mendatang. Sejauh ini, pemerintah telah melaksanakan Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) sejak 2008 dan telah mendukung setidaknya belasan ribu desa/kelurahan untuk memiliki infrastruktur air bersih dan sanitasi yang lebih baik. Hal ini merupakan keberhasilan yang perlu diperluas oleh pemerintah Indonesia.  

Infrastruktur lain yang dapat dikelola oleh rumah tangga adalah pengumpulan air hujan dengan teknologi sederhana, misalnya pengaliran air dari talang ke bak penampungan. Solusi ini perlu diperkenalkan dan didukung bagi masyarakat yang kurang dan tidak memiliki akses air yang baik di lingkungan mereka. 

Dalam skala komunitas, organisasi masyarakat sipil dapat mendukung perkembangan pompa air komunal bertenaga surya atau melalui teknologi terbarukan lainnya yang mudah dioperasikan dan diperbaiki sendiri oleh masyarakat. 

Matt Damon dan Gary White dalam bukunya The Worth of Water (2022) menuturkan pembelajaran penting agar infrastruktur lokal dibangun ‘bersama’ masyarakat, bukan ‘untuk’ masyarakat. Artinya, masyarakat perlu dilibatkan dalam pembangunan infrastruktur yang akan mereka operasikan agar masyarakat memiliki rasa memiliki serta paham bagaimana memeliharanya, terutama ketika terjadi kerusakan. Lokalitas juga perlu diterapkan pada material, sehingga masyarakat dapat mengakses material pengganti secara mandiri dalam jangka panjang. 

Upaya pembiayaan juga menjadi tantangan tersendiri dalam perluasan akses air bersih (termasuk sanitasi) layak. Penelitian oleh Hutton dan Varughese (2016), yang kemudian diolah oleh World Bank dan UNICEF mengungkapkan kan bahwa terdapat kekurangan pembiayaan senilai US$96,4 miliar per tahun, sementara  pembiayaan global tahunan yang terpenuhi saat ini baru sebesar US$15,7 miliar. 

Oleh karena itu, mekanisme mikrokredit untuk masyarakat menengah ke bawah dapat menjadi salah satu sumber kekuatan pembiayaan seperti yang telah diterapkan oleh WaterCredit Initiative dengan kucuran kredit setidaknya US$5,2 miliar yang mendukung lebih dari 63 juta jiwa. Dibandingkan dengan mekanisme hibah, mikrokredit dapat menstimulasi rasa kepemilikan yang lebih besar. Meminjam dari Matt dan Gary, mikrokredit memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menuntaskan masalahnya secara bermartabat dengan kekuatannya sendiri. 

Peringatan Hari Air Dunia tahun ini bisa dijadikan sebagai momentum bagi kita untuk mendukung pencapaian cita-cita kesetaraan yang paling mendasar, yaitu kesetaraan akses terhadap air bersih. Dengan begitu, diharapkan Target Pembangunan Berkelanjutan ke-6 mengenai akses terhadap air bersih dapat tercapai tanpa perlu menunggu hingga kondisi sosial dan politik di Indonesia menjadi tidak stabil karena krisis air yang lebih genting.