Di negara kepulauan seperti Indonesia, laut yang sehat tidak hanya penting untuk keseimbangan ekosistem, tetapi juga bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat. “Kehidupan dan Penghidupan” merupakan tema dalam peringatan Hari Laut Sedunia yang jatuh pada 8 Juni 2021 ini. Namun sayangnya, laut Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, salah satunya masalah penanganan sampah laut, termasuk sampah plastik, yang merupakan agenda penting negara.

Hasil studi terhadap 192 negara pesisir pada tahun 2010 melaporkan Indonesia sebagai penghasil sampah plastik ke laut kedua terbesar di dunia. Sementara negara lain dengan populasi penduduk di pesisir sama besarnya, seperti India, ada di urutan ke 12.

Berdasarkan analisis Global Plastic Action Partnership, kemampuan Indonesia dalam mengumpulkan sampah diperkirakan hanya 39 persen, dengan kapasitas daur ulang hanya 10 persen. Hal ini menjelaskan kebocoran sampah sampai ke laut akibat sampah yang tidak terkelola dari darat.

Di sisi lain, pencemaran plastik di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, sebagai dampak dari pertumbuhan sektor dan industri pengguna plastik, seperti industri makanan dan minuman yang diperkirakan akan tumbuh 5-7 persen dan terus meningkat pesat.

Keberadaan sampah plastik di laut membahayakan kesehatan kita, salah satunya dalam bentuk mikroplastik dalam makanan kita. Studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan, 89 persen ikan teri yang ditangkap di perairan Indonesia telah tercemar mikroplastik dan setiap orang Indonesia dapat menelan hingga 1.500 partikel mikroplastik dari konsumsi ikan setiap tahun. Mikroplastik dan bahan kimia plastik yang masuk ke dalam tubuh akan berdampak secara besar, seperti gangguan metabolisme manusia, dan menimbulkan risiko ekosistem dan kesehatan masyarakat.

Karena permasalahan sampah plastik berdampak besar bagi kehidupan kita, maka transformasi untuk mengurangi penggunaan plastik harus segera dilakukan. Banyak negara dan kota di dunia yang telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengurangi jumlah sampah dan plastik mereka.

Pentingnya pelarangan plastik sekali pakai

Pelarangan plastik sekali pakai adalah salah satu instrumen kebijakan yang paling sering digunakan di dunia, untuk membatasi penggunanya. Penggunaan plastik sekali pakai, yaitu plastik yang langsung dibuang setelah satu kali pemakaian, menimbulkan pertumbuhan sampah plastik secara eksponensial (tidak secara linier). Karena itu, jumlah sampah plastik terjadi semakin cepat dan semakin besar.

Dalam 20 tahun terakhir, jumlah plastik di laut sama dengan total sampah plastik di laut selama 50 tahun sebelumnya. Jenis plastik sekali pakai yang bermasalah, antara lain adalah kantong plastik belanja, pembungkus makanan, kemasan minuman plastik, plastik saset, dan lainnya.

Pelarangan plastik sekali pakai ini adalah implementasi dari hierarki pengelolaan sampah. Hirarki pengelolaan sampah plastik adalah pengelolaan sampah yang berfokus pada menghindari (avoid), memikir ulang (rethink), dan menolak (refuse) pada hirarki utama, sebelum kemudian memakai ulang (reuse), mendaur ulang (recycle). Sementara, pembuangan plastik di tempat pembuangan (disposal) menjadi pilihan terakhir dalam hierarki, dan diusahakan tidak dilakukan. Pendekatan ini merupakan strategi dalam mewujudkan nir-sampah (zero waste).

Karena itu, beberapa kota di Indonesia, termasuk Jakarta, melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai. Jakarta mengambil langkah ini karena 34 persen sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang -pembuangan sampah masyarakat Jakarta dan sekitarnya- merupakan plastik sekali pakai. Selain itu, hasil pemantauan LIPI di Teluk Jakarta, 45 persen sampah dari Jakarta yang berakhir di Teluk Jakarta adalah banyak berupa kemasan sekali pakai berbahan plastik (botol plastik (7%), gelas plastik (9%), penutup plastik (4%), bungkus plastik tipis (7%), bungkus plastik tebal (6%), sedotan (6%), perkakas plastik (6%).

Laporan UNEP dan World Resources Institute (2018) menemukan bahwa setidaknya 127 negara telah mengadopsi regulasi yang ditargetkan untuk mengatur kantong plastik sekali pakai. Kanada melarang plastik sekali pakai mulai tahun 2021 dan Peru melarang plastik sekali pakai di 76 kawasan lindung alam dan budaya. Selain itu, 170 negara anggota PBB, termasuk Indonesia, berjanji untuk mengurangi penggunaan plastik ‘secara signifikan’ pada tahun 2030, meski belum ada target terukur terkait berapa itu signifikan.

Pemerintah Indonesia sendiri telah berkomitmen melarang penggunaan plastik sekali pakai secara nasional. Dimulai 1 Januari 2030 (PermenLHK No.75 Tahun 2019). Plastik sekali pakai yang dilarang termasuk plastik saset, sedotan plastik, kantong plastik, wadah dan alat makan sekali pakai. PermenLHK juga mendorong pendauran ulang sebelum tanggal waktu pelarangan dimulai.

Beberapa penelitian juga telah mendokumentasikan pengurangan polusi kantong plastik di masing-masing negara. Di Cina, penerapan pelarangan pemakaian kantong plastik menyebabkan penurunan 49 persen penggunaan kantong baru. Namun, efek pelarangan berbeda antara kelompok konsumen dan antar wilayah dan tujuan belanja. Sementara, di negara bagian California, Amerika Serikat, pelarangan berdampak pada penurunan sampah kantong plastik sebesar 72 persen di tahun 2017 dibandingkan tahun 2010.

Namun, bagi negara lain, kebijakan pelarangan plastik belum mampu menghilangkan sampah plastik. Di Bangladesh misalnya, meskipun sudah menerapkan kebijakan pelarangan kantong plastik sejak 2002, namun tidak berhasil mengurangi penggunaan plastik secara signifikan karena kurangnya penegakan hukum. Studi menemukan di beberapa kota di California, Amerika Serikat, jika hanya menerapkan larangan kantong plastik saja, terjadi peningkatan pemakaian kantong kertas secara signifikan dibandingkan sebelum pelarangan.

Jadi, selain pelarangan plastik sekali pakai, apa yang perlu Indonesia lakukan untuk mencapai target pengurangan sampah sekali pakai sampai 1 Januari 2030?

Pertama, mendorong transformasi produsen untuk menggunakan kemasan yang mudah dikumpulkan dan didaur ulang, serta mengurangi penggunaan jenis-jenis plastik sekali pakai. Jika pelarangan plastik sekali pakai, terutama kantong plastik, di banyak kota adalah intervensi kepada konsumen, perubahan yang sama juga dibutuhkan dari produsen. Hierarki nir-sampah, yaitu menghindari, memikirkan kembali, dan menolak terlebih dahulu konsumsi plastik, perlu diikuti oleh konsumen, dan aktor kunci lainnya, termasuk produsen dan sektor usaha.

Peta jalan bagi produsen merupakan acuan untuk pihak swasta dalam pengelolaan, pemanfaatan kembali, dan daur ulang sampah plastik.

Beberapa contoh di level global dapat dilihat pada komitmen berbagai perusahaan fast moving consumer goods (FMCG) untuk mengurangi penggunaan plastik melalui inovasi dari desain plastik, meningkatkan kandungan material daur-ulang, serta menggunakan plastik plastik yang digunakan berulang. Komitmen serupa juga mulai muncul dari produsen plastik untuk menggunakan plastik yang dapat digunakan kembali dan dapat didaur ulang. Langkah selanjutnya yang perlu kita tunggu adalah perwujudan dari komitmen-komitmen tersebut.

Kedua, membangun regulasi yang dapat mendukung efisiensi pemakaian dan pemanfaatan kembali plastik secara radikal. Peta jalan bagi produsen adalah langkah awal yang baik dari pemerintah. Namun, perlu pendetilan dalam peta jalan bagi produsen, seperti: penetapan kandungan daur ulang di plastik dan sistem pengambilan kembali plastik (take back system) yang tepat, serta peningkatan kesadaran dan edukasi tentang pengurangan sampah plastik.

Pemerintah sebagai regulator juga perlu mengantisipasi potensi dampak negatif dari kebijakan pelarangan dan pengurangan plastik, misalnya pemecatan buruh, turunnya keuntungan kegiatan ekonomi. Sehingga perlu memastikan transisi yang berkeadilan, yaitu memastikan kelestarian lingkungan, pekerjaan yang layak, juga inklusi sosial dan pengentasan kemiskinan. Kepastian transisi yang berkeadilan, akan membuka pintu koloborasi dan partisipasi para pihak dalam mendorong transisi.

Ketiga, mendorong inovasi pengurangan plastik sekali pakai oleh berbagai pihak. Inovasi bukan saja berkaitan dengan teknologi baru seperti bahan plastik baru, tapi juga inovasi model bisnis, inovasi kebijakan, bahkan inovasi instrumen insentif ekonomi. Misalnya, bisnis baru stasiun pengisian ulang produk rumah tangga yang memperbolehkan konsumen membeli dalam jumlah kecil pada wadah yang dapat digunakan kembali, seperti yang dilakukan oleh Siklus dan Koinpack. Ini adalah contoh langkah tepat dan cepat (quick win) dalam pengurangan sampah plastik.