Sosok RA Kartini telah menggerakkan banyak orang dengan pemikirannya tentang kesetaraan bagi perempuan. Kisah petani perempuan di Gajah Bertalut berikut diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi kesetaraan kepemilikan lahan di Indonesia.

Dengan nada bangga, Ibu Nurjani, penduduk Desa Gajah Bertalut, Kabupaten Kampar, Riau, bercerita “[di sini] seminggu setelah menikah pun sudah ikut pergi kebun karet untuk motong karet, pergi berdua [dengan suami]. Di desa lain, setelah menikah perempuan tidak bekerja. Kalau sudah punya anak ya ngasuh anak, cuci pakaian, ya pokoknya rumah tangga aja.” Ketika Ibu Nurjani menceritakan kehidupan perempuan di desanya, ia terlihat berdaya.

Di Desa Gajah Bertalut, hampir semua penduduk bekerja sebagai petani karet. Baik petani perempuan maupun laki-laki memiliki pembagian kerja yang setara. Terkadang, petani perempuan akan menggantikan petani laki-laki ketika mereka harus bekerja di dalam hutan. Selain bekerja, petani perempuan juga memiliki hak atas kepemilikan lahan. Bagi petani, lahan adalah modal produksi utama dan merupakan tempat menanam, mengumpulkan hasil panen untuk dimakan atau dijual, serta sebagai alat pembayaran kebutuhan sehari-hari dengan tengkulak setempat. Surat kepemilikan lahan juga sering menjadi jaminan dan bukti kepemilikan untuk mengajukan pinjaman atau bantuan pemerintah. Dengan demikian, kepemilikan lahan menjadi salah satu sumber rasa berdaya bagi petani perempuan.

Masyarakat Gajah Bertalut adalah masyarakat adat yang menerapkan sistem matrilineal, yang membuat perempuan berhak mewarisi harta pusako dari orang tuanya, baik harta yang diperoleh secara turun temurun (pusako tinggi) ataupun harta yang diperoleh melalui transaksi jual beli (pusako rendah). Harta ini bisa berupa lahan, kebun karet, rumah, ladang, dan hutan. Sebagai pewaris harta pusako lahan kebun karet, perempuan dapat memutuskan kapan karet akan dipanen dan dijual, kepada siapa karet akan dijual, dan tanaman pangan apa yang akan ditanam di lahan tersebut. Berbeda dari sistem patriarki yang pengambilan keputusannya dilakukan oleh laki-laki, perempuan di Desa Gajah Bertalut dapat mengambil keputusan terkait lahan dan suara mereka didengar oleh masyarakat desa.

Akan tetapi, sistem di Desa Gajah Bertalut yang menjadikan perempuan sebagai pemilik lahan merupakan sebuah anomali di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN), hanya 24,2% dari total lahan di Indonesia yang terdaftar atas nama perempuan. Tren yang sama juga terjadi di tingkat global. Data FAO menunjukkan bahwa kurang dari 13% pemilik lahan pertanian adalah perempuan.

Tren rendahnya angka kepemilikan lahan oleh perempuan terjadi salah satunya karena peraturan dan budaya yang masih bias terhadap perempuan, salah satunya peraturan hukum waris. Ada tiga hukum waris yang diakui di Indonesia: hukum adat yang sistem warisnya mengikuti sistem kekerabatan, hukum Islam yang mengikuti peraturan dalam agama Islam, dan hukum perdata yang mana warisan dibagi rata antar ahli waris. Sebagai negara yang masih bergantung pada hukum adat dan mayoritas beragama Islam, sebagian masyarakat menggunakan hukum adat atau hukum Islam untuk mengatur hak waris mereka. Dalam kedua hukum ini, umumnya pihak laki-laki memperoleh warisan yang lebih besar daripada perempuan. Selain itu, mayoritas masyarakat Indonesia mengikuti garis keturunan laki-laki (patrilineal) yang lebih menonjolkan laki-laki sebagai pewaris.

Perempuan dianggap akan bergantung pada pasangannya ketika menikah, sehingga harta seperti lahan, diprioritaskan kepada laki-laki. Dengan demikian, keputusan terkait lahan dan pertanian pun jatuh kepada laki-laki. Padahal, perempuan juga dapat mempengaruhi kesejahteraan rumah tangga ketika diberikan akses terhadap kepemilikan lahan dan ikut mengambil keputusan. Perempuan berperan besar dalam mengatur ekonomi rumah tangga, termasuk makanan, pendidikan, kesehatan, utang-piutang, dan biaya pertanian. Posisi tersebut membuat perempuan memiliki pemahaman yang unik dan lebih komprehensif, dibandingkan dengan laki-laki, mengenai mekanisme ekonomi rumah tangga. Dengan demikian, melibatkan perempuan dalam memutuskan, misalnya, cara mengelola ladang, komoditas yang ditanam, banyaknya modal untuk mengembangkan kebun, atau harga jual yang pantas untuk hasil panen, dapat mewujudkan ekonomi rumah tangga yang lebih sejahtera.

Jaminan kepemilikan lahan yang setara untuk perempuan dapat dimulai dari sistem yang berlaku di komunitas. Dalam contoh masyarakat Gajah Bertalut, sistem matrilineal menempatkan perempuan sebagai pemilik lahan kebun karet dan harta pusako lainnya. Hak ini tidak akan hilang walaupun perempuan kemudian bercerai atau pindah ke desa lain. Oleh karena itu, sistem nilai yang berlaku di masyarakat sangat berpengaruh terhadap arah pengakuan masyarakat pada hak-hak perempuan dan bagaimana masyarakat tersebut menempatkan perempuan.

Meski demikian, kepemilikan lahan oleh perempuan di Gajah Bertalut bukan tanpa tantangan, karena perubahan komoditas yang ditanam dapat mempengaruhi pola kepemilikan lahan. Beberapa tahun belakangan, harga karet terus turun, sehingga mengancam penghidupan banyak petani di desa. Perempuan masih menoreh karet sambil beradaptasi dengan menanam tanaman sumber pangan (agroforestri) di kebun dan halaman rumah sebagai alternatif baru.

Akan tetapi, harga karet yang semakin menurun dapat menjadi ancaman bagi kepemilikan lahan oleh perempuan jika karet diganti dengan tanaman lain yang menerapkan sistem pola kepemilikan yang berbeda. Beberapa tahun belakangan, semakin banyak desa yang mengubah ladangnya menjadi kebun sawit, termasuk di sekitar Gajah Bertalut. Kebun sawit menggunakan sistem kaveling, yang mana kebun swadaya masyarakat didaftarkan atas nama kepala keluarga.

Padahal, masyarakat bertani di Gajah Bertalut menggunakan sistem waris, yang mana lahan dimiliki bersama dan diwariskan kepada anggota keluarga perempuan. Karena sistem kaveling hanya mengakui lahan individu, ada kecenderungan untuk jual-beli lahan keluarga menjadi lahan pribadi. Nama kepala keluarga, biasanya laki-laki, kemudian dijadikan sebagai pemilik lahan. Jika dikaitkan dengan konteks Gajah Bertalut, perubahan ini dapat menggeser posisi perempuan sebagai pemilik lahan dan mempengaruhi suara mereka dalam mengelola lahan.

Kisah petani perempuan dari Desa Gajah Bertalut menunjukkan kontribusi penting perempuan dalam mengelola lahan. Dengan demikian, pelaksanaan pemberdayaan di level tapak perlu memastikan akses pengelolaan lahan yang setara termasuk bagi kelompok rentan seperti perempuan.

Dalam konteks yang lebih luas, misalnya desain kebijakan Perhutanan Sosial, perlu dipastikan perempuan ikut serta dalam mengelola hutan dan sumber daya alam. Pemahaman yang unik dan komprehensif atas ekonomi rumah tangga yang dimiliki perempuan dapat menjadi masukan dalam mengambil keputusan, sehingga pemanfaatan sumber daya alam mendukung penghidupan rumah tangga maupun komunitas.

Ketika perempuan memiliki kendali atas lahan, modal produksi utamanya, perempuan menjadi lebih berdaya dalam mengambil keputusan untuk kehidupan keluarga dan komunitas yang lebih sejahtera.